Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemuda dan Mangrove, Upaya Penanggulangan Abrasi Pantai di Mempawah

Kompas.com - 01/12/2020, 14:27 WIB
Hendra Cipta,
Teuku Muhammad Valdy Arief

Tim Redaksi

PONTIANAK, KOMPAS.com – Gumuruh (52) mulai menyambung satu per satu temali jaring bubu kepitingnya.

Tempo hari, tiga kepiting bakau, berukuran telapak kaki orang dewasa berusaha lolos dari sergapan.

Sedikitnya, ada dua ruas yang putus. Selain jago jalan miring, buruannya itu juga rajin menggunting.

Tapi usahanya kini jarang mengkhianati hasil. Sebanyak 20 buah bubu yang dipasang jelang malam--ketika air menuju pasang--selalu terisi setelah tiga jam kemudian.

Minimal, dalam sekali angkut, dia bawa tiga sampai lima kilogram setiap hari.

Baca juga: Buah Manis Usaha Suku Bajau Jaga Hutan Bakau untuk Anak Cucu

Dari hewan bercangkang tebal itu, kini keluarganya makan. Gumuruh pun tak lagi harus melawan ombak. Cetakan yang jelas terlihat di kulitnya yang kilap.

“Kepiting dijual Rp 60.000 sampai Rp 70.000 per kilogram. Hasilnya cukuplah untuk makan,” kata Gumuruh saat ditemui Kompas.com di rumahnya, Jumat (30/10/2020).

Gumuruh dulunya seorang nelayan handal, asal Desa Penibung, Kecamatan Mempawah Hilir, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat (Kalbar).

Selain turun melaut, dia juga pengepul udang dan ikan bagi sejumlah nelayan lain, yang kemudian dijual kepada tauke. Dari hasil itu, dia menghidupi istri dan menyekolahkan tiga anaknya.

“Setelah semua anak-anak sudah menikah, mereka menyuruh istirahat melaut,” ujar Gumuruh.

Gumurh, mantan nelayan udang yang kini menjadi pembubu kepiting bakau terlihat merapikan jaring bubunya, Jumat (30/10/2020).KOMPAS.COM/HENDRA CIPTA Gumurh, mantan nelayan udang yang kini menjadi pembubu kepiting bakau terlihat merapikan jaring bubunya, Jumat (30/10/2020).

Di samping itu, hasil tangkapan udang dengan pukat juga tak menentu. Bagi nelayan udang, kondisi alam dan cuaca sangat berpengaruh.

Mereka baru bisa turun melaut jika kondisi laut tenang. Saat musim hujan dengan disertai angin kencang, yang mengakibatkan gelombang laut tinggi, mereka terpaksa menggalang sampan.

“Sampan nelayan udang berukuran kecil dan tak dirancang untuk gelombang tinggi. Udang pun tidak ada jika gelombang tinggi,” ungkap Gumuruh.

Nasib nelayan semakin pelik dalam satu dekade terakhir, karena cuaca kerap tak menentu. Sekarang sudah sulit menentukan musim panas dan musim hujan.

Baca juga: Reklamasi Pantai Belitung Tanpa Izin dan Rusak Hutan Mangrove, Seorang Direktur Diproses Hukum

Jika pagi hari cerah, besok lusa atau bahkan siang hari, bisa saja hujan turun. Akibatnya selain jadwal melaut yang sudah tidak menentu, hasil tangkapan pun merosot.

“Kalau dulu, bisa dapat 10 kilogram per hari, sekarang 2 kilogram pun susah,” ujar Gumuruh.

Akhirnya, pertengahan 2016 lalu, Gumuruh mengiyakan anjuran anak-anaknya dan memutuskan berhenti dari pekerjaan yang telah ia geluti selama lebih dari 30 tahun tersebut. Sampan, mesin dan pukat ia hibahkan kepada kerabat.

Tapi bukan Gumuruh jika tidak dapat melihat potensi lain. Dalam beberapa tahun terakhir, ia melihat hutan mangrove di pesisir pantai telah semakin melebat. Salah satu yang dapat dimanfaatkannya adalah membubu kepiting.

“Setelah berhenti melaut, saya mulai memasang bubu kepiting sampai sekarang,” terang Gumuruh.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com