Selain pembibitan, Kelompok Sadar Wisata ini, sejak 2016, juga mengelola Mempawah Mangrove Park (MMP), sebuah kawasan konservasi mangrove berbasis ekowisata dan menjadi salah satu yang paling populer di Kabupaten Mempawah.
Tercatat, dalam setahun, tak kurang dari 95.000 wisatawan yang datang ke MMP. Jika dihitung dengan tarif masuk Rp 5.000 per orang, maka per tahun MMP meraup Rp 457 juta.
Setiap rupiah yang didapat dari hasil mengelola MMP digunakan untuk perawatan kawasan.
“Pernah dalam satu hari pengunjung MMP mencapai 4.250 orang. Itu terjadi saat pergantian tahun 2017-2018,” ungkap Wawan semringah.
Di samping itu, tingkat kunjungan wisatawan yang tinggi, setidaknya dalam 4 tahun terakhir.
Tak ayal, MMP sebagai ekowisata memberi manfaat berupa peningkatan finansial secara langsung kepada masyarakat sekitar, seperti pedagang kaki lima, juru parkir dan nelayan.
“Para nelayan ini, jika tidak sedang melaut atau tangkapan udang dan udang lagi sepi, mereka memberikan fasilitas penyeberangan ke Pulau Penibung,” ucap Wawan.
Baca juga: 573 Anak di Pesisir Kota Tegal Tak Bersekolah, Disdikbud Dirikan Sekolah Laut
Dalam pelaksanaannya, MMP memiliki konsep dasar edukasi lingkungan, ekonomi lokal, ekologi dan pariwasata, dengan penekanan utamanya pendidikan.
Konsep ini bertujuan membangun kesadaran masyarakat, terutama di daerah pesisir untuk menjaga dan melestarikan hutan mangrove secara terus-menerus.
Pengembangan produk olahan
Saat ini, MMP juga tengah berupaya melakukan pengembangan dan penelitian pemanfaatan buah mangrove guna lebih meningkatkan ekonomi masyarakat pesisir.
Untuk mencapai tujuan itu, beberapa pelatihan pengelolaan buah mangrove digelar.
Salah satunya pengolahan buah kedabu atau berembang (Sonneratia ovata) menjadi dodol. Sedangkan pengolahan tanjung merah (Bruguiera gymnorrhiza) menjadi tepung.
“Namun pengembangan produk olahan saat ini belum menampakkan hasil yang dapat dijadikan indikasi keberhasilan. Ada beberapa kendala. Misalnya, tidak semua jenis mangrove dapat diolah,” jelas Wawan.