Salin Artikel

Pemuda dan Mangrove, Upaya Penanggulangan Abrasi Pantai di Mempawah

Tempo hari, tiga kepiting bakau, berukuran telapak kaki orang dewasa berusaha lolos dari sergapan.

Sedikitnya, ada dua ruas yang putus. Selain jago jalan miring, buruannya itu juga rajin menggunting.

Tapi usahanya kini jarang mengkhianati hasil. Sebanyak 20 buah bubu yang dipasang jelang malam--ketika air menuju pasang--selalu terisi setelah tiga jam kemudian.

Minimal, dalam sekali angkut, dia bawa tiga sampai lima kilogram setiap hari.

Dari hewan bercangkang tebal itu, kini keluarganya makan. Gumuruh pun tak lagi harus melawan ombak. Cetakan yang jelas terlihat di kulitnya yang kilap.

“Kepiting dijual Rp 60.000 sampai Rp 70.000 per kilogram. Hasilnya cukuplah untuk makan,” kata Gumuruh saat ditemui Kompas.com di rumahnya, Jumat (30/10/2020).

Gumuruh dulunya seorang nelayan handal, asal Desa Penibung, Kecamatan Mempawah Hilir, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat (Kalbar).

Selain turun melaut, dia juga pengepul udang dan ikan bagi sejumlah nelayan lain, yang kemudian dijual kepada tauke. Dari hasil itu, dia menghidupi istri dan menyekolahkan tiga anaknya.

“Setelah semua anak-anak sudah menikah, mereka menyuruh istirahat melaut,” ujar Gumuruh.

Di samping itu, hasil tangkapan udang dengan pukat juga tak menentu. Bagi nelayan udang, kondisi alam dan cuaca sangat berpengaruh.

Mereka baru bisa turun melaut jika kondisi laut tenang. Saat musim hujan dengan disertai angin kencang, yang mengakibatkan gelombang laut tinggi, mereka terpaksa menggalang sampan.

“Sampan nelayan udang berukuran kecil dan tak dirancang untuk gelombang tinggi. Udang pun tidak ada jika gelombang tinggi,” ungkap Gumuruh.

Nasib nelayan semakin pelik dalam satu dekade terakhir, karena cuaca kerap tak menentu. Sekarang sudah sulit menentukan musim panas dan musim hujan.

Jika pagi hari cerah, besok lusa atau bahkan siang hari, bisa saja hujan turun. Akibatnya selain jadwal melaut yang sudah tidak menentu, hasil tangkapan pun merosot.

“Kalau dulu, bisa dapat 10 kilogram per hari, sekarang 2 kilogram pun susah,” ujar Gumuruh.

Akhirnya, pertengahan 2016 lalu, Gumuruh mengiyakan anjuran anak-anaknya dan memutuskan berhenti dari pekerjaan yang telah ia geluti selama lebih dari 30 tahun tersebut. Sampan, mesin dan pukat ia hibahkan kepada kerabat.

Tapi bukan Gumuruh jika tidak dapat melihat potensi lain. Dalam beberapa tahun terakhir, ia melihat hutan mangrove di pesisir pantai telah semakin melebat. Salah satu yang dapat dimanfaatkannya adalah membubu kepiting.

“Setelah berhenti melaut, saya mulai memasang bubu kepiting sampai sekarang,” terang Gumuruh.

Muhammad Syukur, nelayan lainnya mengakui, saat ini sebagian besar pesisir pantai Mempawah sudah dipenuhi mangrove.

Kondisi ini, jauh berbeda dari sebelumnya. Dia mengisahkan, terkikisnya daratan oleh laut, khususnya di Desa Penibung, mulai terjadi akhir era 1980an.

Saat itu, Pulau Penibung perlahan mulai memisahkan diri dari daratan.

“Dulunya, Pulau Penibung ini menyatu dengan daratan. Ada jalan yang bisa langsung ke pulau. Dan akhirnya mulai pisah akhir 1980an, pertama-tama jalan ke pulau diputus oleh laut,” cerita Syukur.

Saat daratan dan pulau belum terpisah jauh, sempat dua kali dibangun jembatan dari daratan ke Pulau Penibung. Tapi kedua jembatan itu tak bertahan lama, karena abrasi semakin menjadi.

“Saat ini, jarak daratan ke Pulau Penibung sudah hampir 1 kilometer,” kata nelayan yang menyambi sebagai sekuriti ini.

Akibat parahnya abrasi itu, awal 1990, pemerintah harus memindahkan ratusan kepala keluarga di sejumlah desa terdampak abrasi.

Pada tahun yang sama pula, dipasang beton pemecah ombak pertama di Desa Penibung. Saat itu, akses Jalan Raya Pontianak-Kota Singkawang terancam putus akibat disapu ombak.

“Sepengetahuan saya, itu pemecah ombak pertama yang dipasang di Kabupaten Mempawah. Kalau saat itu tidak segera dipasang, maka jalan utama pasti putus tergerus ombak,” ucap Syukur.

Sebagaimana dikutip The Conversation, lebih dari setengah pantai berpasir di dunia berisiko hilang pada akhir abad ini jika tidak segera diambil langkah untuk membatasi emisi gas rumah kaca.

Temuan ini berasal dari sebuah penelitian terbaru yang dipublikasikan di Nature Climate Change.

Meski ada usaha lebih untuk mengatasi krisis iklim, di mana emisi global akan memuncak pada tahun 2040, sekitar sepertiga atau 37 persen dari pantai dunia akan tenggelam pada 2100.

Para peneliti telah menganalisis data satelit yang menggambarkan perubahan garis pantai sejak 1984 hingga 2016.

Mereka menemukan sekitar seperempat dari pantai berpasir di seluruh dunia sudah tererosi dengan tingkat kerusakan 0,5 meter per tahun dan menyebabkan sekitar 28.000 kilometer persegi daratan ditelan laut.

Tingkat kenaikan permukaan air laut menunjukkan nilai mengkhawatirkan sekitar 0,1 milimeter per tahun, setiap tahun.

Namun, kenaikan permukaan air laut tidak akan terjadi merata di seluruh dunia. Istilah “permukaan laut” bisa menyesatkan karena ia tidak datar.

Sama seperti atmosfer, permukaan laut memiliki beberapa area dengan tekanan tinggi serta rendah, yang mampu menciptakan gelombang.

Beberapa gelombang ini terjadi karena arus laut yang kuat, sehingga perubahan dapat terjadi ketika laut yang menghangat juga mengubah topografi permukaan laut.

Beberapa area akan mengalami kenaikan lebih rendah dari prediksi rata-rata, namun sebagian besar akan lebih tinggi.

Tapi, perubahan iklim bukan menjadi satu-satunya faktor pendorong.

Aktivitas manusia ikut mempercepat erosi kawasan pesisir melalui tindakan penambangan pasir dalam kecepatan yang tidak bisa diimbangi alam.

Penambangan pasir dan kerikil dari sungai dan pantai untuk kemudian digunakan pada kegiatan konstruksi di beberapa kawasan lebih masif dibandingkan dengan penambangan minyak bumi.

Ekosistem pesisir yang mampu menangkap dan menyimpan sedimen, seperti hutan mangrove, juga ikut rusak.

Upaya penanggulangan abrasi pantai dengan pelestarian ekosistem mangrove di pesisir Kabupaten Mempawah tak dapat dilepaskan dari peran Mempawah Mangrove Conservation (MMC).

Organisasi yang diinisiasi Raja Fajar Azanzyah, Roni Priyadi dan Sap Pardiansyah ini lahir dari keprihatinan kondisi bentang pesisir yang telah mengalami abrasi cukup serius.

Bahkan berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Mempawah tahun 2011, luasan hutan mangrove hanya tersisa sekitar 1.042 hektar.

Sehingga sejak dibentuk 14 Desember 2011 atau selama 9 tahun terakhir ini, mereka secara rutin menggelar kegiatan konservasi, edukasi dan ekowisata mangrove.

Karakteristik wilayah Kabupaten Mempawah yang merupakan kawasan pesisir dan dilalui jalan arteri yang menghubungkan Kota Pontianak dan Kota Singkawang sangat menunjang tumbuhnya pusat-pusat kegiatan baru.

Terlebih perkembangan kawasan industri yang akan berdampak pada kerusakan ekosistem mangrove apabila tidak dikelola dan dikendalikan dengan baik.

“Dalam kurun waktu 9 tahun, MMC telah menanam sebanyak 367 ribu bibit mangrove di hampir 35,7 hektar lahan pesisir pantai Mempawah. Dengan estiminasi keberhasilan tanam 359 ribu bibit,” kata Ketua MMC Raja Fajar Azanzyah, Kamis (29/10/2020).   

Upaya pelestarian ekosistem mangrove pada saat ini telah menjadi suatu isu dan gerakan yang terus berkembang, seiring dengan terus meningkatnya isu kerusakan ekosistem mangrove dan pesatnya pamanfaatan ruang pada wilayah pesisir.

Urgensi pengendalian pemanfaatan ruang kawasan pesisir sangat diperlukan dalam rangka menjaga stabilitas dari tarik-menarik kepentingan antara kebutuhan pelestarian lingkungan hidup dengan kebutuhan peningkatan perekonomian daerah.

Fajar menekankan, dalam setiap kegiatannya, MMC tidak sendiri. Mereka selalu didukung pelbagai pihak, mulai dari instansi pemerintah, komunitas, lembaga swadaya masyarakat, perusahaan swasta dan masyarakat sekitar.

“Kegiatan-kegiatan MMC terus berlangsung. Kami masih akan melakukan penanaman dengan menyasar lokasi-lokasi yang belum terjamah,” ujar Fajar.

Kabupaten Mempawah memiliki garis pantai sepanjang 89 kilometer. Terbentang dari Desa Wajok, Kecamatan Jungkat sampai Desa Sungai Duri II, Kecamatan Sungai Kunyit.

Sepanjang itu, dalam beberapa dekade terakhir, mengalami abrasi pantai yang kian waktu semakin parah.

Abrasi pantai di Mempawah dipicu berbagai macam faktor. Akan tetapi, tingkat keparahan harusnya dapat diminimalisasi dengan adanya tameng penangkal; yakni mangrove.

Selain mengikis daratan, abrasi pantai menimbulkan dampak tidak tergarapnya lahan sawah, karena intrusi air laut masuk ke daratan.

Kondisi itu semakin membuat MMC termotivasi. Lokasi penanaman pertama mereka di Dusun Benteng, Kelurahan tengah, Kecamatan Mempawah Hilir. Selama kurun waktu 2011-2012, sebanyak 7.500 bibit mangorve ditanam di lahan 1 hektar.

Ternyata, keberhasilan itu semakin memicu mereka untuk ekspansi ke tempat lain yang mengalami abrasi pantai. Mereka juga mulai mendapat perhatian publik.

Bantuan bibit, materi dan relawan berdatangan. Penanaman selanjutnya mereka lakukan di Desa Penibung, Desa Sungai Bakau Kecil, Desa Bakau Besar Laut, Desa Pasir, Desa Sengkubang dan Desa Sungai Purun Kecil.

Dijelaskan, kegiatan penanaman MMC tergolong aforestasi, yakni pembentukan hutan atau tegakkan pepohonan di area yang sebelumnya bukan merupakan hutan.

Sebab, sebagian besar kawasan yang ditanam tidak memiliki sejarah sebagai hutan, melainkan pantai berpasir yang terkikis karena abrasi.

“Aforestasi hampir berlaku di semua lokasi penanaman. Kecuali Desa Sungai Bakau Kecil dan Desa Bakau Besar Laut. Di sana lebih pada rehabilitasi kawasan, karena sebelumnya telah ada hutan mangrove, tapi rusak akibat penebangan dan pembukaan lahan untuk tambak,” ungkap Fajar. 

Menurut Fajar, MMC sempat tak mendapat sambutan baik dari masyarakat. Berbagai anggapan miring justru datang.

Bahkan, kegiatan penanaman mangrove pernah dianggap hanya proyek komersial.

Akibatnya, masyarakat tidak mau terlibat jika tak mendapat imbalan materi. Ada juga yang menilai, sia-sia menanam mangorve, karena dapat tumbuh dengan sendirinya.

Fajar mengakui, tidak ada seorang pun dari mereka bertiga yang memiliki latar belakang atau kelimuan tentang mangrove.

Sehingga kondisi alam, ombak besar, pasang surut, sedimentasi lumpur dan angin, menjadi kendala di awal-awal kegiatan.

Bahkan tantangannya jarak tempuh juga. Sebab untuk menuju lokasi penanaman, mereka kadang memikul bibit sejauh ratusan meter.

Meski demikian, semangat mereka tak pernah surut. Secara konsisten MMC tetap menanam mangrove.

Karena keinginan kuat untuk memperbaiki ekosistem pesisir menjadi bahan bakar yang tak tergoyahkan.

“Tanggapan negatif maysarakat diakali dengan diskusi. Kendala pengetahuan diatasi dengan perbanyak membaca buku dan penelurusan internet. Hasilnya, 85 persen bibit yang ditanam berhasil tumbuh,” yakin Fajar.

Wadah edukasi masyarakat

Salah satu upaya penanggulangan abrasi pantai adalah dengan melakukan konservasi mangrove.

Namun untuk menjaga konservasi itu tetap berkesinambungan harus ada sebuah wadah. Pada posisi itu, hadir Mempawah Mangrove Conservation.  

“Dalam upaya konservasi, kami memerlukan sebuah wadah atau organisasi yang berkelanjutan, bukan hanya untuk saat ini, tapi kita harus berkelanjutan dan mengedukasi masyarakat,” jelas Fajar.

Kegiatan kampanye dan edukasi menyasar generasi muda dan pelajar. Diharapkan, dengan pengetahuan tentang lingkungan yang mumpuni, akan lahir kesadaran untuk menghargai dan merawat lingkungan.

Bentuk kampanye mereka adalah dengan mendatangi sekolah-sekolah, memberikan edukasi dan sosialisasi ke pelajar.

“Pendekatan langsung ke pelajar lebih diutamakan, sebab mereka adalah generasi penerus yang memungkinkan pelestarisan alam dan mengrove berkseinambungan sejak tahun 2012 lalu,” terang Fajar.


Pelopor kampanye penyelamatan

Maka dari itu, setelah 9 tahun, seluruh kegiatan fokus pada penanaman, Fajar mencanangkan, mulai tahun depan, kegiatan tidak hanya menanam tapi membuat produk turunan. Selain itu, dalam 10 tahun ke depan, Fajar juga akan meregenerasi organisasi.

“Masyarakat sekitar harus diberdayakan. Tapi dimulai dengan mengubah pola pikir,” terang Fajar.

Jika dulu, masyarakat masih beranggapan, pemanfaatan mangrove hanya dengan menebang pohonnya untuk dijadikan kayu bakar. Namun bini banyak yang telah sadar, karena hutan mangrove memiliki manfaat nyata yang dirasakan masyarakat sekitar.

Hal itu juga ditandai dengan semakin antusiasnya relawan-relawan mangrove dari berbagai komunitas untuk terlibat dalam setiap kegiatan.

Fajar berharap, Kabupaten Mempawah bisa menjadi pelopor, bukan cuma soal kampanye penyelamatan mangrove, tapi juga pengembangan budi daya madu, kepiting, dan udang.

Namun rencana ini masih perlu eksplorasi dan edukasi, belum menjadi bagian strategi utama. Walau peluang untuk menindaklanjutinya sangat terbuka, jika masyarakat fokus dan serius.

“Walaupun perjalanannya terseok-seok. Sekarang kita tinggal menjaga dan melanjutkan. Bahwa kampanye mangrove itu terus digalakkan, kendati di masa pandemi seperti ini,” tutup Fajar.

Memberdayakan pemuda desa

Matahari memang masih belum muncul di ufuk timur, Kamis (29/10/2020) pukul 04.30 WIB.  

Wawan dan belasan teman sebayanya, tampak antusias saat tiba di lokasi pembibitan mangrove yang berada tak jauh dari bibir pantai, Desa Pasir, Kecamatan Mempawah Hilir, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat (Kalbar).

Terang saja, saat itu, mereka mendapat pesanan 1.000 bibit dari sebuah perusahaan swasta, yang tengah menjalankan program corporate social responsibility (CSR).

Dengan terengah-engah, dia bersama belasan temannya, memilih bibit-bibit terbaik dan siap untuk ditanam di kawasan konservasi dan ekowisata: Mempawah Mangrove Park (MMP).

Bagi Wawan dan belasan temannya, yang tergabung dalam Kelompok Sadar Wisata--sebuah organiasi pemuda binaan Mempawah Mangrove Conservation, pesanan penanaman bibit tersebut memberikan dua manfaat sekaligus.

Pertama, mereka mendapat keuntungan dengan menjual bibit, kedua membantu mengembang-luaskan konservasi di Mempawah Mangrove Park (MMP) yang mereka kelola.   

“Kalau untuk umum, kami patok harga Rp 3.000 per bibit. Tapi biasanya ada yang nawar Rp 2.000,” kata Wawan, Ketua Kelompok Sadar Wisata.

Pembibitan telah mereka tekuni sejak 2016. Dalam setahun, rata-rata menjual 15.000 bibit.

Membibit mangrove relatif tidak perlu penanganan khusus. Praktis, mereka hanya perlu menyiapkan polybag dan paranet.

Jenis yang dikembangkan di tahap awal adalah api-api atau Avicennia spp dan bakau atau Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa dan Rhizophora apiculata.

Api-api merupakan jenis yang cepat tumbuh, namun tidak kuat. Sementara bakau, lama tumbuh, tapi jika akarnya sudah menghujam tanah, jadi tidak mudah tumbang.

Karena itu, strategi penanaman adalah api-api lebih dulu, jika usianya cukup untuk melindungi, lalu disusul bakau.

Saat ini, mereka juga berupaya memperkaya vegetasi. Sedikitnya terdapat 12 jenis tanaman magrove yang dapat dijumpai di lokasi pembibitan.

Salah satunya Kandelia candel, yang merupakan jenis unik karena warga putih dan langka.  

Hanya terkadang mereka harus berburu biji dan buah mangrove yang akan dijadikan bibit ke tempat-tempat lain.

“Selain cari bakal bibit di dekat sini, kami juga cari ke hutan mangrove di Sungai Duri, Kabupaten Bengkayang dan di tempat-tempat lain,” ujar Wawan.


Selain pembibitan, Kelompok Sadar Wisata ini, sejak 2016, juga mengelola Mempawah Mangrove Park (MMP), sebuah kawasan konservasi mangrove berbasis ekowisata dan menjadi salah satu yang paling populer di Kabupaten Mempawah.

Tercatat, dalam setahun, tak kurang dari 95.000 wisatawan yang datang ke MMP. Jika dihitung dengan tarif masuk Rp 5.000 per orang, maka per tahun MMP meraup Rp 457 juta.

Setiap rupiah yang didapat dari hasil mengelola MMP digunakan untuk perawatan kawasan.

“Pernah dalam satu hari pengunjung MMP mencapai 4.250 orang. Itu terjadi saat pergantian tahun 2017-2018,” ungkap Wawan semringah.

Di samping itu, tingkat kunjungan wisatawan yang tinggi, setidaknya dalam 4 tahun terakhir.

Tak ayal, MMP sebagai ekowisata memberi manfaat berupa peningkatan finansial secara langsung kepada masyarakat sekitar, seperti pedagang kaki lima, juru parkir dan nelayan.

“Para nelayan ini, jika tidak sedang melaut atau tangkapan udang dan udang lagi sepi, mereka memberikan fasilitas penyeberangan ke Pulau Penibung,” ucap Wawan.

Dalam pelaksanaannya, MMP memiliki konsep dasar edukasi lingkungan, ekonomi lokal, ekologi dan pariwasata, dengan penekanan utamanya pendidikan.

Konsep ini bertujuan membangun kesadaran masyarakat, terutama di daerah pesisir untuk menjaga dan melestarikan hutan mangrove secara terus-menerus.

Pengembangan produk olahan

Saat ini, MMP juga tengah berupaya melakukan pengembangan dan penelitian pemanfaatan buah mangrove guna lebih meningkatkan ekonomi masyarakat pesisir.

Untuk mencapai tujuan itu, beberapa pelatihan pengelolaan buah mangrove digelar.

Salah satunya pengolahan buah kedabu atau berembang (Sonneratia ovata) menjadi dodol. Sedangkan pengolahan tanjung merah (Bruguiera gymnorrhiza) menjadi tepung.

“Namun pengembangan produk olahan saat ini belum menampakkan hasil yang dapat dijadikan indikasi keberhasilan. Ada beberapa kendala. Misalnya, tidak semua jenis mangrove dapat diolah,” jelas Wawan.


Pusat mangrove dunia

Sekretaris Daerah Kalbar AL Leysandri mengklaim, Kalbar ditetapkan sebagai pusat mangrove dunia yang berada di Kabupaten Mempawah dan Kabupaten Kubu Raya.

"Dengan pertimbangan luas hutan mangrove yang cukup besar dan besarnya fungsi hutan ini maka saya mendukung ditetapkannya 'world mangrove centre' di Provinsi Kalbar," kata Leysandri dalam keterangan tertulisnya, Oktober 2020.

Untuk itu, ia berharap pengelolaan hutan di Kalbar tetap dapat memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat baik yang berada di dalam maupun di luar kawasan hutan.

Kemudian peningkatan pelestarian terhadap hutan harus sejalan dengan peningkatan kesejahteraan dan kemandirian desa.

Yang lebih penting, katanya, adalah pengembangan ekowisata, jasa lingkungan, serta program pembayaran karbon dari penurunan emisi dari sektor berbasis hutan merupakan alternatif-alternatif kegiatan yang dapat dikembangkan.

Diharapkan pula dapat memberikan dampak terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat dan perlindungan terhadap hutan.

Leysandri mengatakan hutan mangrove berfungsi sebagai sumber mata pencarian nelayan, tempat rekreasi atau wisata alam, obyek pendidikan pelatihan dan pengembangan ilmu pengetahuan.

"Hutan Mangrove di Kalbar memiliki keunikan dan kekayaan serta keanekaragaman hayati yang khas dan langka seperti bakau mata buaya dan lenggadai betina. Hutan mangrove juga menjadi habitat bagi banyak hewan langka seperti bekantan dan ikan pesut, sehingga harus terus dilestarikan," pungkas Leysandri. 

https://regional.kompas.com/read/2020/12/01/14271391/pemuda-dan-mangrove-upaya-penanggulangan-abrasi-pantai-di-mempawah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke