“Kalau sudah air tidak ada, makanan sulit dicari. Tentu kami pindah,” kata Induk Lereh.
Keluarganya, sambung Induk Lereh, akan terus berkelana dalam hamparan kebun sawit untuk menemukan pangan dan sumber air. Padahal anak-anak dalam kelompoknya harus rutin minum obat tuberkulosis.
“Kata dokter kalau tidak minum obat, penyakit anak-anak semakin parah. Kata moyang kami, untuk hidup harus makan. Kalau tidak makan, akan mati,” kata Induk Lereh lirih.
Manager Komunikasi KKI Warsi, Rudi Syaf menuturkan, perubahan iklim telah berdampak serius terhadap masyarakat adat Orang Rimba. Pola migrasi Orang Rimba dominan berhubungan dengan ketersediaan makanan dan sumber air.
Penyusutan tutupan hutan, kata Rudi, membuat Orang Rimba kesulitan beradaptasi dengan perubahan iklim. Pada medio 1970, untuk kepentingan ekonomi kelompok transmigran, hutan Orang Rimba ditebang ribuan hektar.
Selanjutnya, untuk hak guna usaha (HGU) perkebunan sawit dan hutan tanaman industri (HTI), pada 1980 hutan habis dibabat. Biodiversitas juga terancam oleh alih fungsi lahan. Pada 1989 silam, luas ekosistem hutan masih 130.308 hektar.
Namun, dua dekade berselang, luasnya menyusut tajam, tersisa 60.483 hektar pada 2009. Bahkan tahun 2021 luasnya tinggal 48.796 hektar.
Relevan dengan data terakhir KKI Warsi, masyarakat adat paling marjinal ini jumlahnya sekitar 5.270 jiwa. Dari angka itu, lebih dari 60 persen berada di wilayah konsesi HTI dan HGU perkebunan sawit yaitu 3.162 orang. Sisanya berada dalam kawasan hutan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) sebanyak 2.108 orang.
Perubahan pola hujan melenyapkan musim pertahunan agung atau puncak musim buah yang tumpah ruah. Dari awalnya sekali dalam setahun, bergeser menjadi empat tahun sekali. Pada musim hujan terjadi panas, sebaliknya dalam musim panas terjadi hujan ekstrem.
Putik bunga gugur sebelum menjadi buah. Bunga-bunga yang gugur sepanjang tahun berpengaruh juga pada lebah. Sehingga sarang-sarang lebah dalam hutan kehilangan madu. “Madu dari dulu salah satu makanan utama Orang Rimba,” kata Rudi.
Baca juga: Studi: Hutan Dijadikan Alat Perdagangan Karbon Lemahkan Peran Rimba
Interaksi Orang Rimba dengan satwa termasuk monyet ekor panjang sekarang mulai tinggi. Orang Rimba yang kehilangan hutan dan tinggal di kebun sawit, juga rentan berinteraksi dengan monyet. Bahkan hidup Orang Rimba di luar hutan jauh lebih rentan.
“Sumber air mereka itu air kubangan limbah pupuk atau pestisida di kebun sawit. Ketika panas lebih dari sepekan, sumber air itu kering,” kata Rudi.
Minim makanan dan air bersih membuat daya tahan tubuh mereka lemah. Penyakit yang menjangkiti Orang Rimba pun beragam. Mulai dari demam berdarah dan malaria. Terakhir terdeteksi tuberkulosis.
Ada banyak faktor kasus tuberkulosis muncul di Orang Rimba. Bahkan, menurut Rudi, perubahan iklim berdampak langsung terhadap penularan dan pengobatan.
Parameter iklim seperti perubahan suhu dan kelembapan udara berpengaruh pada pertumbuhan bakteri mycobacterium tuberculosis, bakteri penyebab tuberkulosis.
Penularan tuberkulosis semakin parah, apabila mitigasi perubahan iklim di Orang Rimba belum sempurna dilakukan. Pengobatan yang lazimnya untuk menyembuhkan, justru berbalik dapat merenggut nyawa penyintas tuberkulosis.
Kasus tuberkulosis pada kelompok Tumenggung Minan, harus menjadi fokus perhatian pemerintah. Rudi menuturkan 10 dari 11 anak yang terdeteksi positif, telah berhenti minum obat. Anak-anak hanya sebulan rutin minum obat.
Dengan beragam faktor mulai dari migrasi dampak perubahan iklim, hingga persoalan kepercayaan Orang Rimba yang mengakhiri rutinitas minum obat. Dengan demikian, ancaman resisten obat sudah di depan mata. Secara tidak langsung, perubahan iklim mempercepat migrasi alami Orang Rimba.
Sebelumnya, migrasi karena tradisi melangun atau perpindahan karena ada anggota keluarga yang meninggal dunia. Sekarang kekeringan dan terbatasnya sumber pangan memaksa Orang Rimba bermigrasi. Penularan tuberkulosis pun semakin terbuka, baik antar sesama Orang Rimba, juga dengan orang luar (warga desa).
Bakteri penyebab tuberkulosis menular melalui tetesan air liur atau lendir yang mengandung bakteri dari penderita tuberkulosis. Bahkan saat penderita batuk, bersin, atau air liur terbuang saat tertawa.
Baca juga: Orang Rimba yang Ikut Pemilu Tersesat di Kertas Suara
Pengobatan tuberkulosis menjadi terhambat ketika Orang Rimba berpindah-pindah. Secara budaya, mereka tak mengenal "keteraturan". Patokan waktu ketika bermigrasi adalah siang dan malam. Sedangkan obat tuberkulosis harus dikonsumsi pada jam-jam tertentu.
“Sangat sulit bagi Orang Rimba untuk mengonsumsi obat dalam jumlah tertentu dan waktu yang ditentukan dalam jangka panjang,” kata Rudi.
Waktu dalam minum obat tuberkulosis adalah harga mati. Artinya tidak boleh lebih awal atau mundur terlalu lama. Petugas lapangan Warsi memang "alarm berjalan". Intensitas perpindahan yang tinggi dan tersebar di berbagai lokasi membuat petugas lapangan kewalahan.
Rudi mendorong pemerintah untuk menemukan metode pengobatan tuberkulosis khusus pada Orang Rimba. Sehingga pengobatan tidak terpatok pada waktu, tapi efektif menyembuhkan penyintas di komunitas Orang Rimba.
Liputan ini merupakan hasil kolaborasi dengan Internews Earth Journalism Network
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.