JAMBI,KOMPAS.com – 9 dari 10 Orang Rimba dewasa kecanduan rokok. Warisan kebiasaan merokok turun temurun dari leluhur sampai sekarang. Orang Rimba sulit lepas dari lilitan candu rokok bahkan sejak anak-anak.
Kebiasaan merokok yang menyunat anggaran dapur, telah mengurangi asupan makanan bergizi pada anak-anak. Akibatnya sebagian besar anak-anak Orang Rimba mengalami masalah stunting atau gizi buruk.
Pada sore yang mendung, Naliti duduk termenung di pintu rimba, bagian ujung jalan aspal Desa Bukit Suban, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, Jambi. Ia tengah gelisah menunggu pengepul berondolan sawit yang tak kunjung datang sedari siang.
Baca juga: Ancaman Tuberkulosis bagi Anak-anak Orang Rimba...
“Hari ini dapat dua karung. Belum tau berapa uangnya, biasanya tak sampai Rp 50.000. Hasil menjual berondolan sawit buat makan dan kebutuhan lain,” kata Naliti saat bertemu dengan Kompas.com di pinggir hutan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD), Minggu (3/12/2023).
Kebutuhan lain yang dimaksud Naliti adalah membeli rokok. Ayah enam anak ini, membutuhkan uang sebesar Rp17.000 untuk membeli sebungkus rokok.
Dia mengaku berbeda dengan lelaki Rimba lainnya, yang sanggup menghabiskan 3 bungkus rokok dalam sehari.
Baca juga: Orang Rimba yang Alami Ginjal Bocor, Sebulan Konsumsi Obat TBC
“Saya tidak kuat merokok, sehari habisnya 1-2 bungkus, tergantung aktivitas sehari-hari. Kalau sedang kerja memungut berondolan, itu bisa habis 2 bungkus. Tapi kalau sedang di rumah hanya sebungkus rokok,” kata Naliti menceritakan.
Penghasilan Naliti dalam sehari paling banter Rp 50.000 dari memungut berondolan. Dari pendapatan itu, akan dipotong membeli rokok Rp 17.000.
Kemudian sisanya diserahkan ke isterinya, untuk mencukupi kebutuhan dapur enam orang anaknya yang masih kecil.
Anak sulungnya berusia 16 tahun sudah merokok. Anak keduanya usia 13 tahun juga sudah merokok karena sudah pandai mencari uang sendiri. Naliti mengaku tidak bisa melarang anaknya merokok.
Anak-anak tidak bisa dilarang merokok. Karena anak bakal bilang: ‘Bapak kalau tidak merokok pusing dan tidak bisa kerja, kami juga sama’.
“Kalau mereka sudah bilang begitu saya diam, karena dari orangtua saya dulu juga merokok dan mereka tidak menghalangi saya merokok,” kata Naliti menjelaskan.
Menurut dia, kebiasaan merokok tidak bisa dihalangi oleh siapapun, termasuk isterinya.
Keteguhan Naliti bukan tanpa alasan. Ketika dia tidak mengisap rokok, ia merasa pusing dan tidak semangat bekerja. Bahkan akan lebih banyak tidur di rumah.
“Bukan kami malas, karena banyak tidur kalau tidak merokok. Kami tidur agar tidak memarahi anak-anak atau bahkan memukulnya. Tidak tahu kenapa, kalau tidak merokok jadi mudah marah,” kata lelaki rimba dari kelompok Kedundung Mudo.
Ia mengaku pandangan gelap, seolah sedang malam hari ketika tidak merokok. Jadi memang meskipun akan berutang, rokok tidak boleh putus dalam sehari.
Ketika tidak memiliki uang dan tidak bisa berutang, maka Naliti akan menjual barang berharga yang dimiliki, untuk membeli rokok.
“Saya akan ngutang. Kalau sudah tidak dipercaya pemilik warung, saya akan jual barang yang ada, yang penting bisa beli rokok. Kalau sudah merokok, kami akan semangat kerja,” kata Naliti.
Dia mengaku tidak mengetahui jika merokok dekat dengan anak-anak itu dilarang. Orangtua Naliti dahulu juga sama, merokok dalam rumah, dekat dengannya ketika masih kecil.
Walau begitu, Induk Sanggul Lalang yang berusia lebih setengah abad sudah berhenti merokok selama 4 tahun terakhir. Pertimbangan untuk berhenti merokok karena kesulitan mencari jernang di hutan. Tidak memiliki penghasilan tetap.
“Jernang tidak ada, jadi tidak punya uang beli rokok. Saya berhenti minum (kopi) dan merokok. Anak-anak punya keluarga sendiri, saya tidak bisa minta uang mereka. Lebih baik berhenti merokok,” kata Induk Lalang.
Kecanduan rokok juga terjadi di masyarakat adat lainnya, yakni Suku Anak Dalam (SAD) yang berada Desa Karya Bhakti, Kecamatan Pelepat, Kabupaten Bungo, Jambi. Kelompok ini juga mengorbankan uang belanja dapur untuk membeli rokok.
Ahmad Zulfahmi menuturkan sebanyak 39 kepala keluarga yang berada di wilayahnya, hampir 90 persen merokok. Baik laki-laki maupun perempuan merokok, tetapi memang dominan lelaki yang merokok.
Fahmi mengaku menghabiskan sebungkus rokok dalam sehari dengan harga Rp 15.000-20.000. Menurutnya, angka itu cukup besar apabila dibandingkan kebutuhan sehari-hari yang mencapai Rp 50.000.
Kebutuhan Fahmi memang sedikit karena belum memiliki anak. Isterinya baru hamil enam bulan, ketika berbincang dengan Kompas.com di rumahnya.
Meskipun dia perokok, dia telah berpikir untuk tetap memenuhi kebutuhan gizi isterinya yang sedang hamil. Bahkan ketika merokok, dia keluar rumah.
“Kebutuhan kecil sekitar Rp 50.000, untuk membeli sayuran dan ikan atau tahu tempe untuk lauk makan. Sisanya baru untuk beli rokok. Tapi dalam sehari sudah pasti beli rokok,” kata Fahmi menegaskan.
Anak-anak yang masih sekolah dilarang oleh orangtuanya untuk merokok. Tetapi banyak juga anak-anak mencuri kesempatan untuk merokok.
“Anak-anak kalau ketahuan merokok dimarahi sama orangtuanya. Karena masih usia sekolah, tetapi kalau yang sudah SMK, itu banyak yang sudah kantongi rokok hasil patungan atau beli batangan,” kata lelaki berusia 33 tahun ini.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 yang diselenggarakan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) di mana hasil riset tersebut menemukan jumlah perokok anak usia 10-18 tahun terus meningkat.