JAMBI, KOMPAS.com - Anak-anak Orang Rimba kelompok Tumenggung Minan, Desa Rejosari, Kecamatan Pamenang, Kabupaten Merangin, Jambi, menjalani tes tuberkulosis yang digelar petugas kesehatan gabungan dari Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Dinas Kesehatan Merangin, dan dokter misionaris.
Hasilnya, 11 anak positif menderita tuberkulosis.
Baca juga: Orang Rimba yang Alami Ginjal Bocor, Sebulan Konsumsi Obat TBC
Setelah itu selama sebulan, anak-anak tersebut rutin mengonsumsi obat tuberkulosis.
Baca juga: Orang Rimba di Jambi Terserang Penyakit Ginjal
Namun, dari 11 anak penderita, hanya satu yang melanjutkan minum obat secara rutin yang diberikan petugas.
Ini karena mereka harus berpindah atau migrasi ke daerah lain untuk menemukan sumber pangan dan air yang baru karena perubahan iklim.
Ada 35 Orang Rimba dari kelompok Tumenggung Minan yang mendiami kebun sawit di Desa Rejosari.
Mereka sudah kehilangan hutan sehingga ramuan obat dan tradisi besesandingon kehilangan daya untuk menangkal sebaran penyakit.
Untuk menerapkan tradisi besesandingon membutuhkan hutan yang luas.
Tradisi besesandingon dalam kepercayaan Orang Rimba adalah upaya untuk menghentikan penularan penyakit yang mewabah dengan mengasingkan diri ke hutan.
Dalam penerapannya, orang yang sakit (cenenggo) akan dipisahkan dengan orang yang sehat (bungaron) di kawasan hutan yang berbeda.
Meskipun sudah kehilangan hutan, mereka masih meyakini penyakit bersumber dari kutukan Dewo (Tuhan dalam kepercayaan Orang Rimba).
Padahal, ilmu modern menunjukkan penyakit menular disebabkan oleh infeksi mikroorganisme seperti virus, bakteri, jamur, dan parasit.
Penyakit menular ditularkan dari satu orang ke orang lain baik melalui kontak dekat (droplet) seperti kasus tuberkulosis maupun perantara seperti nyamuk dalam kasus demam berdarah.
"11 anak kami terkena tuberkulosis. Kami tidak tahu, kutukan apalagi yang turun dari Dewo,” kata Induk Lereh, kerabat dari Tumenggung Minan, pertengahan Juni 2023 lalu.
Perempuan tertua di kelompok Tumenggung Minan ini mengaku selama hidup, baru pertama kali menyaksikan anak-anak menderita tuberkulosis.
Induk Lereh khawatir nasib mereka serupa dengan pendahulunya yang tutup usia lantaran menderita penyakit seperti cacar, demam berdarah, dan malaria.
Induk Lereh mengatakan, sangat sulit ketika dokter meminta anak-anak rutin mengonsumsi obat tuberkulosis.
Ini karena mereka membutuhkan waktu minimal 6 bulan sampai dinyatakan sembuh total. Kondisi ini menyiksa anak-anak dan orangtua.
“Kata dokter kalau obatnya putus, malah semakin bahaya. Kami ini sering pindah-pindah, untuk melangun, mencari tempat yang mudah mencari makan dan dapat air,” kata Induk Lereh.
Induk Lereh mengaitkan penyakit yang datang silih berganti di komunitas mereka dengan kutukan Dewo karena hutan telah rusak.
Hal ini yang membuat mereka kekurangan makanan dan kehilangan sumber air bersih.
Untuk mendapatkan air, Orang Rimba harus menempuh perjalanan sampai 2-3 kilometer dari sudong atau rumah beratap terpal.
Sumber air terdekat adalah genangan dalam kebun sawit yang rentan terkontaminasi pupuk dan pestisida.
Air yang mereka dapat berwarna cokelat bercampur lumpur dan berbau.
Lebih dari dua dekade, keluarga Induk Lereh menetap di kebun sawit. Mereka merasa kondisi hujan dan panas terus mengalami perubahan.
Ketika sinar panas datang selama 3-5 hari, sumber air menghilang. Sehingga perpindahan mereka dari satu kebun sawit ke lokasi lainnya lebih banyak disebabkan kekeringan.
Manager Komunikasi KKI Warsi, Rudi Syaf menuturkan, perubahan iklim telah berdampak serius terhadap masyarakat adat Orang Rimba.
Pola migrasi Orang Rimba dominan berhubungan dengan ketersediaan makanan dan sumber air.
Penyusutan tutupan hutan, kata Rudi, membuat Orang Rimba kesulitan beradaptasi dengan perubahan iklim.
Pada medio 1970, untuk kepentingan ekonomi kelompok transmigran, hutan Orang Rimba ditebang ribuan hektar.
Selanjutnya, untuk hak guna usaha (HGU) perkebunan sawit dan hutan tanaman industri (HTI), pada 1980 hutan habis dibabat. Biodiversitas juga terancam oleh alih fungsi lahan.
Pada 1989 silam, luas ekosistem hutan masih 130.308 hektar. Namun, dua dekade berselang, luasnya menyusut tajam, tersisa 60.483 hektar pada 2009.
Bahkan tahun 2021 luasnya tinggal 48.796 hektar.
Relevan dengan data terakhir KKI Warsi, masyarakat adat paling marjinal ini jumlahnya sekitar 5.270 jiwa.
Dari angka itu, lebih dari 60 persen berada di wilayah konsesi HTI dan HGU perkebunan sawit yaitu 3.162 orang.
Sisanya berada dalam kawasan hutan Taman Nasional Bukit Duabelas ( TNBD) sebanyak 2.108 orang.
Perubahan pola hujan melenyapkan musim pertahunan agung atau puncak musim buah yang tumpah ruah.
Dari awalnya sekali dalam setahun, bergeser menjadi empat tahun sekali.
Pada musim hujan terjadi panas, sebaliknya dalam musim panas terjadi hujan ekstrem. Putik bunga gugur sebelum menjadi buah.
Bunga-bunga yang gugur sepanjang tahun berpengaruh juga pada lebah. Sehingga sarang-sarang lebah dalam hutan kehilangan madu.
“Madu dari dulu salah satu makanan utama Orang Rimba,” kata Rudi.
Hidup Orang Rimba di luar hutan jauh lebih rentan. Rudi berkata untuk mencukupi pangan, mereka bekerja memunguti berondolan atau buah sawit yang jatuh saat dipanen.
Sehingga sering terjadi konflik antara Orang Rimba dengan perusahaan atau masyarakat.
Semua konflik bermula dari hilangnya sumber daya penghidupan orang rimba.