Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ancaman Tuberkulosis bagi Anak-anak Orang Rimba...

Kompas.com - 20/07/2023, 18:54 WIB
Suwandi,
David Oliver Purba

Tim Redaksi

JAMBI, KOMPAS.com - Anak-anak Orang Rimba kelompok Tumenggung Minan, Desa Rejosari, Kecamatan Pamenang, Kabupaten Merangin, Jambi, menjalani tes tuberkulosis yang digelar petugas kesehatan gabungan dari Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Dinas Kesehatan Merangin, dan dokter misionaris.

Hasilnya, 11 anak positif menderita tuberkulosis.

Baca juga: Orang Rimba yang Alami Ginjal Bocor, Sebulan Konsumsi Obat TBC

Setelah itu selama sebulan, anak-anak tersebut rutin mengonsumsi obat tuberkulosis.

Baca juga: Orang Rimba di Jambi Terserang Penyakit Ginjal

 

Namun, dari 11 anak penderita, hanya satu yang melanjutkan minum obat secara rutin yang diberikan petugas.

Ini karena mereka harus berpindah atau migrasi ke daerah lain untuk menemukan sumber pangan dan air yang baru karena perubahan iklim.

Ada 35 Orang Rimba dari kelompok Tumenggung Minan yang mendiami kebun sawit di Desa Rejosari.

Mereka sudah kehilangan hutan sehingga ramuan obat dan tradisi besesandingon kehilangan daya untuk menangkal sebaran penyakit.

Untuk menerapkan tradisi besesandingon membutuhkan hutan yang luas.

Tradisi besesandingon dalam kepercayaan Orang Rimba adalah upaya untuk menghentikan penularan penyakit yang mewabah dengan mengasingkan diri ke hutan.

Dalam penerapannya, orang yang sakit (cenenggo) akan dipisahkan dengan orang yang sehat (bungaron) di kawasan hutan yang berbeda.

Meskipun sudah kehilangan hutan, mereka masih meyakini penyakit bersumber dari kutukan Dewo (Tuhan dalam kepercayaan Orang Rimba).

Padahal, ilmu modern menunjukkan penyakit menular disebabkan oleh infeksi mikroorganisme seperti virus, bakteri, jamur, dan parasit.

Penyakit menular ditularkan dari satu orang ke orang lain baik melalui kontak dekat (droplet) seperti kasus tuberkulosis maupun perantara seperti nyamuk dalam kasus demam berdarah.

"11 anak kami terkena tuberkulosis. Kami tidak tahu, kutukan apalagi yang turun dari Dewo,” kata Induk Lereh, kerabat dari Tumenggung Minan, pertengahan Juni 2023 lalu.

Perempuan tertua di kelompok Tumenggung Minan ini mengaku selama hidup, baru pertama kali menyaksikan anak-anak menderita tuberkulosis.

Anik, anak Orang Rimba kini menjalani perawatan medis di RSUD Kolonel Abundjani Bangko karena menderita ginjal bocorSuwandi/KOMPAS.com Anik, anak Orang Rimba kini menjalani perawatan medis di RSUD Kolonel Abundjani Bangko karena menderita ginjal bocor

 

Induk Lereh khawatir nasib mereka serupa dengan pendahulunya yang tutup usia lantaran menderita penyakit seperti cacar, demam berdarah, dan malaria.

Induk Lereh mengatakan, sangat sulit ketika dokter meminta anak-anak rutin mengonsumsi obat tuberkulosis.

Ini karena mereka membutuhkan waktu minimal 6 bulan sampai dinyatakan sembuh total. Kondisi ini menyiksa anak-anak dan orangtua.

“Kata dokter kalau obatnya putus, malah semakin bahaya. Kami ini sering pindah-pindah, untuk melangun, mencari tempat yang mudah mencari makan dan dapat air,” kata Induk Lereh.

Kutukan Dewo

Induk Lereh mengaitkan penyakit yang datang silih berganti di komunitas mereka dengan kutukan Dewo karena hutan telah rusak.

Hal ini yang membuat mereka kekurangan makanan dan kehilangan sumber air bersih.

Untuk mendapatkan air, Orang Rimba harus menempuh perjalanan sampai 2-3 kilometer dari sudong atau rumah beratap terpal.

Sumber air terdekat adalah genangan dalam kebun sawit yang rentan terkontaminasi pupuk dan pestisida.

Air yang mereka dapat berwarna cokelat bercampur lumpur dan berbau.

Perubahan iklim

Lebih dari dua dekade, keluarga Induk Lereh menetap di kebun sawit. Mereka merasa kondisi hujan dan panas terus mengalami perubahan.

Ketika sinar panas datang selama 3-5 hari, sumber air menghilang. Sehingga perpindahan mereka dari satu kebun sawit ke lokasi lainnya lebih banyak disebabkan kekeringan.

Manager Komunikasi KKI Warsi, Rudi Syaf menuturkan, perubahan iklim telah berdampak serius terhadap masyarakat adat Orang Rimba.

Pola migrasi Orang Rimba dominan berhubungan dengan ketersediaan makanan dan sumber air.

Penyusutan tutupan hutan, kata Rudi, membuat Orang Rimba kesulitan beradaptasi dengan perubahan iklim.

Pada medio 1970, untuk kepentingan ekonomi kelompok transmigran, hutan Orang Rimba ditebang ribuan hektar.

Induk Lereh sedang berada di Sudong atau rumah beratap terpal dengan lantai kayu gelondongan di Desa Rejosari, Kecamatan Pamenang, Kabupaten Merangin, Jambi.Suwandi Kompas.com Induk Lereh sedang berada di Sudong atau rumah beratap terpal dengan lantai kayu gelondongan di Desa Rejosari, Kecamatan Pamenang, Kabupaten Merangin, Jambi.

Selanjutnya, untuk hak guna usaha (HGU) perkebunan sawit dan hutan tanaman industri (HTI), pada 1980 hutan habis dibabat. Biodiversitas juga terancam oleh alih fungsi lahan.

Pada 1989 silam, luas ekosistem hutan masih 130.308 hektar. Namun, dua dekade berselang, luasnya menyusut tajam, tersisa 60.483 hektar pada 2009.

Bahkan tahun 2021 luasnya tinggal 48.796 hektar.

Relevan dengan data terakhir KKI Warsi, masyarakat adat paling marjinal ini jumlahnya sekitar 5.270 jiwa.

Dari angka itu, lebih dari 60 persen berada di wilayah konsesi HTI dan HGU perkebunan sawit yaitu 3.162 orang.

Sisanya berada dalam kawasan hutan Taman Nasional Bukit Duabelas ( TNBD) sebanyak 2.108 orang.

Perubahan pola hujan melenyapkan musim pertahunan agung atau puncak musim buah yang tumpah ruah.

Dari awalnya sekali dalam setahun, bergeser menjadi empat tahun sekali.

Pada musim hujan terjadi panas, sebaliknya dalam musim panas terjadi hujan ekstrem. Putik bunga gugur sebelum menjadi buah.

Bunga-bunga yang gugur sepanjang tahun berpengaruh juga pada lebah. Sehingga sarang-sarang lebah dalam hutan kehilangan madu.

“Madu dari dulu salah satu makanan utama Orang Rimba,” kata Rudi.

Konflik dan tuberkulosis

Hidup Orang Rimba di luar hutan jauh lebih rentan. Rudi berkata untuk mencukupi pangan, mereka bekerja memunguti berondolan atau buah sawit yang jatuh saat dipanen.

Sehingga sering terjadi konflik antara Orang Rimba dengan perusahaan atau masyarakat.

Semua konflik bermula dari hilangnya sumber daya penghidupan orang rimba.

Menurut catatan KKI Warsi, selama 20 tahun terakhir (1997-2017) terdapat 25 kali konflik antara orang rimba dengan masyarakat desa dan pihak perusahaan yang menewaskan sedikitnya 18 Orang Rimba.

“Sumber air mereka itu air kubangan limbah pupuk atau pestisida di kebun sawit. Ketika panas lebih dari sepekan, sumber air itu kering,” kata Rudi.

Minim makanan dan air bersih membuat daya tahan tubuh mereka lemah. Penyakit yang menjangkiti Orang Rimba pun beragam. Mulai dari demam berdarah dan malaria. Terakhir terdeteksi tuberkulosis.

Ada banyak faktor kasus tuberkulosis muncul di Orang Rimba. Bahkan, menurut Rudi, perubahan iklim berdampak langsung terhadap penularan dan pengobatan.

Parameter iklim seperti perubahan suhu dan kelembapan udara berpengaruh pada pertumbuhan bakteri mycobacterium tuberculosis, bakteri penyebab tuberkulosis.

Rudi menuturkan berdasarkan riset Warsi, bakteri bertahan lebih lama pada suhu yang lembab di area permukiman Orang Rimba.

Sementara panas yang menyengat dapat melemahkan daya tahan tubuh mereka.

Penularan tuberkulosis semakin parah, apabila mitigasi perubahan iklim di Orang Rimba belum sempurna dilakukan. Pengobatan yang lazimnya untuk menyembuhkan, justru berbalik dapat merenggut nyawa penyintas tuberkulosis.

Kasus tuberkulosis pada kelompok Tumenggung Minan, harus menjadi fokus perhatian pemerintah. Rudi menuturkan 10 dari 11 anak yang terdeteksi positif, telah berhenti minum obat.

Anak-anak hanya sebulan rutin minum obat. Dengan beragam faktor mulai dari migrasi dampak perubahan iklim, hingga persoalan kepercayaan Orang Rimba yang mengakhiri rutinitas minum obat.

Dengan demikian, ancaman resisten obat sudah di depan mata.

Secara tidak langsung, perubahan iklim mempercepat migrasi alami Orang Rimba.

Sebelumnya, migrasi karena tradisi melangun atau perpindahan karena ada anggota keluarga yang meninggal dunia.

Sekarang kekeringan dan terbatasnya sumber pangan memaksa Orang Rimba bermigrasi.

Penularan tuberkulosis pun semakin terbuka, baik antar sesama Orang Rimba, juga dengan orang luar (warga desa).

Behind the scene (BTS) pembuatan film dokumentar Pulang Rimba yang mengisahkan generasi muda Orang Rimba yang menempuh pendidikan untuk bersaing di masa depanDok Kreasi Prasasti Perdamaian Behind the scene (BTS) pembuatan film dokumentar Pulang Rimba yang mengisahkan generasi muda Orang Rimba yang menempuh pendidikan untuk bersaing di masa depan

Bakteri penyebab tuberkulosis menular melalui tetesan air liur atau lendir yang mengandung bakteri dari penderita tuberkulosis. Bahkan saat penderita batuk, bersin, atau air liur terbuang saat tertawa.

Pengobatan tuberkulosis menjadi terhambat ketika Orang Rimba berpindah-pindah.

Secara budaya, mereka tak mengenal "keteraturan". Patokan waktu ketika bermigrasi adalah siang dan malam. Sedangkan obat tuberkulosis harus dikonsumsi pada jam-jam tertentu.

“Sangat sulit bagi Orang Rimba untuk mengonsumsi obat dalam jumlah tertentu dan waktu yang ditentukan dalam jangka panjang,” kata Rudi.

Waktu dalam minum obat tuberkulosis adalah harga mati. Artinya tidak boleh lebih awal atau mundur terlalu lama.

Petugas lapangan Warsi memang "alarm berjalan". Intensitas perpindahan yang tinggi dan tersebar di berbagai lokasi membuat petugas lapangan kewalahan.

Rudi mendorong pemerintah untuk menemukan metode pengobatan tuberkulosis khusus pada Orang Rimba.

Sehingga pengobatan tidak terpatok pada waktu, tapi efektif menyembuhkan penyintas di komunitas Orang Rimba.

Haris, Kepala Bidang Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit pada Dinas Kesehatan Kabupaten Merangin, mengatakan, sedang mencari solusi untuk mengatasi persoalan pengobatan tuberkulosis di kelompok Tumenggung Minan.

Namun, persoalan menjadi tak terkendali ketika perubahan iklim melanda Orang Rimba.

Menurutnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, perubahan iklim memperparah penularan dan menghambat pengobatan tuberkulosis pada Orang Rimba.

Perubahan iklim menghambat strategi pemerintah untuk mengeliminasi tuberkulosis.

Dia mencontohkan petugas yang kesulitan melakukan pemantauan ketika Orang Rimba berpindah-pindah.

“Mereka tidak bisa menetap karena tidak memiliki fasilitas rumah yang layak. Sumber ekonomi yang memadai dan sanitasi air bersih yang sehat,” kata Haris.

Meskipun perpindahan Orang Rimba untuk menemukan pangan dan air, makanan yang diperoleh pun belum memenuhi standar gizi.

Contohnya pada 2015 lalu, belasan Orang Rimba meninggal kekurangan gizi sementara anak-anak mengalami malnutrisi.

Persoalan gizi berkaitan dengan daya tahan tubuh. Dengan daya tahan tubuh yang lemah, maka potensi terinfeksi penyakit semakin tinggi.

Mengobati Orang Rimba

Pemerintah mengalami persoalan beragam pada Orang Rimba dalam konteks pengobatan tuberkulosis.

Para penyintas mengalami resisten obat. Lima tahun terakhir, satu anak Orang Rimba meninggal dunia karena mengalami resisten obat.

Sedangkan dua Orang Rimba dewasa meninggal karena tuberkulosis.

Perpindahan Orang Rimba yang menjauh dari pusat layanan kesehatan memicu resisten obat.

“Mereka lupa bawa obat atau setelah pulang bingung melanjutkan pengobatan,” kata Haris.

Sebagian besar Orang Rimba yang hidup di hutan masih menerapkan tradisi besesandingon.

Kondisi ini justru menutup pintu masuk petugas kesehatan untuk menjangkau mereka.

Menurut data Dinas Kesehatan Provinsi Jambi, kasus tuberkulosis pada 2022 di provinsi ini ada 3.685 orang.

Dari angka itu, Kabupaten Merangin penyumbang tertinggi dengan 606 kasus. Tahun sebelumnya 426 kasus, sedangkan tahun 2020 sebanyak 383 kasus.

Jumlahnya merangkak naik dari tahun 2019 sekitar 315 kasus.

Tuberkulosis masih seperti gunung es, yang tidak terdata angkanya jauh lebih besar. Makanya pemerintah terus meningkatkan pengumpulan sampel dahak dan mendorong penyintas untuk mengakses fasilitas kesehatan dan kunjungan petugas yang ke lapangan,” kata Haris.

Pemerintah sudah menyusun peta jalan eliminasi tuberkulosis pada 2030.

Namun, upaya untuk mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim masih menemui banyak kendala, khususnya pada ranah penyakit menular di Orang Rimba.

Contohnya kasus malnutrisi yang semakin melemahkan daya tahan tubuh di tengah perubahan iklim.

Kondisi itu semakin rumit apabila mengacu pada penelitian KKI Warsi dan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman pada 2015.

Pihaknya mengkaji genetika populasi Orang Rimba dan kaitan terhadap kerentanan mereka akan penyakit.

Mereka mengambil 583 sampel darah Orang Rimba, yang telah mendapatkan persetujuan etik.

Para peneliti mencoba mengkaji seluruh susunan DNA di dalam mitokondria, sebuah organel penghasil energi dalam sel tubuh Orang Rimba.

Menurut Herawati Sudoyo, peneliti utama di Eijkman, terdapat beberapa penemuan menarik dari riset itu.

“Kami menemukan genome Orang Rimba lebih homogen,” katanya.

Kondisi ini menyebabkan Orang Rimba memiliki daya tahan tubuh lebih rendah dalam menangkal penyakit dari dunia luar.

“Mereka kawin mawin dengan sesama hingga daya tahan tubuh seragam,” katanya.

Sementara itu, peneliti dari Monash University Indonesia, Grace Wangge bilang, ada dua dampak perubahan iklim yang secara langsung memicu penyakit tuberkulosis.

Pertama, daya tahan tubuh dan kedua, parameter iklim seperti kelembapan udara dan perubahan suhu yang menguatkan perkembangan bakteri tuberkulosis.

Dalam jurnal Environmental Research, peneliti menemukan bukti perubahan iklim melemahkan daya tahan tubuh, sehingga meningkatkan risiko paparan tuberkulosis.

Dalam paper A Systematic Literatur The Impact Of The Climate To The Case Of Tuberculosis (TB): A Review (2021) juga berkata senada, iklim berkontribusi terhadap kepadatan vektor suhu udara dan iklim musiman menjadi faktor penyebab penyakit tuberkulosis.

“Ada korelasi yang signifikan antara dampak iklim seperti curah hujan dan perubahan suhu dengan terjadinya tuberkulosis,” kata Grace.

Perubahan iklim menciptakan peluang baru infeksi tuberkulosis melalui udara dalam suhu hangat.

Bakteri semakin kuat di udara yang semakin panas. Sebaliknya intensitas hujan yang tinggi membuat bakteri tuberkulosis bertahan lebih lama di udara.

Anisa Fauzia dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMGK) Jambi menuturkan, perubahan iklim sedang terjadi.

Dia memetakan perubahan kenaikan suhu rata-rata siklus satu dekade (2010-2020) angkanya mencapai 0,185 derajat Celsiuc.

“Ketika upaya mitigasi iklim tidak dilakukan, tahun 2030 kondisi kemarau maupun hujan, naik ke tingkat ekstrem dengan kenaikan suhu rata-rata mencapai 0,350 derajat celsius,” kata Anisa.

Pemanasan global membuat wilayah Jambi semakin menghangat.

Pada 1985, suhu maksimum rata-rata harian tercatat di angka 32,1 derajat celsius.

Kemudian pada 1990 angkanya naik menjadi 32,5 derajat. Lalu pada 1995 berada pada angka 32,8 derajat.

Sementara pada 2000 turun menjadi 32,7 derajat. Selanjutnya kembali turun di angka 32,6 derajat pada 2005.

Setelah mengalami penurunan itu, angkanya melejit di angka 33 pada 2010, kemudian meningkat tajam menjadi 35,2 pada 2015 dan terus naik ke angka 35,8 pada 2020 lalu.

“Sepanjang tahun suhu harian maksimum semakin panas. Tercatat beberapa kejadian mendekati kondisi ekstrem,” kata Anisa.

Perubahan suhu dan curah hujan yang sangat cepat dalam rentang waktu tertentu bahkan terkadang mengalami anomali adalah bentuk nyata dari perubahan iklim.

Ia mencontohkan, pada tahun 2021, hujan menghilang pada bulan-bulan yang biasanya terjadi hujan dengan intensitas lebat.

Sebaliknya, pada musim kemarau yang seharusnya tanpa hujan, justru mengalami hujan dengan intensitas di atas normal yakni 150-200 milimeter, nyaris mendekati kondisi ekstrem.

“Kondisi kemarau basah ini dampak dari perubahan iklim,” tegas Anisa.

Kisah kemarau yang bercampur hujan sudah dirasakan Induk Lereh.

Saat mencari berondolan di kebun sawit, Induk Lereh kerap basah kuyup.

Menurutnya itu ganjil, sebab hujan turun di tengah musim kemarau. Pengetahuan tradisional mereka sekarang sulit mendeteksi musim.

“Langit terlihat cerah. Kami cari berondolan, tapi mendadak hujan. Anak-anak kami jadi mudah sakit. Kalau tidak batuk, pasti demam kalau sudah terkena hujan dadakan,” kata dia.

Fenomena yang paling membingungkan bagi Induk Lereh adalah terjadi kekeringan di tengah musim hujan.

Panas yang begitu menyengat selama berhari-hari pada musim hujan membuat sumber air di kebun sawit menghilang.

“Kalau sudah air tidak ada, makanan sulit dicari. Tentu kami pindah,” kata Induk Lereh.

Keluarganya, sambung Induk Lereh, akan terus berkelana dalam hamparan kebun sawit untuk menemukan pangan dan sumber air.

Padahal anak-anak dalam kelompoknya harus rutin minum obat tuberkulosis.

“Kata dokter kalau tidak minum obat, penyakit anak-anak semakin parah. Kata moyang kami, untuk hidup harus makan. Kalau tidak makan, akan mati,” kata Induk Lereh lirih.

Perubahan iklim telah menghambat pengobatan tuberkulosis di anak-anak Orang Rimba.

Sekarang 10 dari 11 anak telah berhenti minum obat. Induk Lereh gelisah dengan masa depan anak-cucu yang menghadapi beragam penyakit.

Sejumlah pihak mendorong pemerintah mengutamakan komunitas Orang Rimba dalam memitigasi dampak perubahan iklim.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pentolan Relawan Jokowi Ramaikan Bursa Pilkada Banyumas, Daftar ke Gerindra dan PKB

Pentolan Relawan Jokowi Ramaikan Bursa Pilkada Banyumas, Daftar ke Gerindra dan PKB

Regional
Kecewa Bonus Porprov Tak Cair, Atlet Binaraga Asal Banyumas Hengkang ke Kabupaten Tetangga

Kecewa Bonus Porprov Tak Cair, Atlet Binaraga Asal Banyumas Hengkang ke Kabupaten Tetangga

Regional
Kasus Mempelai Wanita Ternyata Pria di Halsel, Pasangan Pengantin Ditetapkan Tersangka

Kasus Mempelai Wanita Ternyata Pria di Halsel, Pasangan Pengantin Ditetapkan Tersangka

Regional
Aliran Listrik Belum Stabil, Warga Lampung Borong Genset

Aliran Listrik Belum Stabil, Warga Lampung Borong Genset

Regional
Sore Ini Gunung Lewotobi Laki-laki Meletus Lagi, Tinggi Kolom Abu 900 Meter

Sore Ini Gunung Lewotobi Laki-laki Meletus Lagi, Tinggi Kolom Abu 900 Meter

Regional
Revitalisasi Masjid Agung Solo Segera Dimulai, Gunakan Dana Hibah UEA Rp 15 Miliar

Revitalisasi Masjid Agung Solo Segera Dimulai, Gunakan Dana Hibah UEA Rp 15 Miliar

Regional
Perempuan 19 Tahun Diduga Dicabuli Pimpinan Ponpes sejak di Bangku MTS

Perempuan 19 Tahun Diduga Dicabuli Pimpinan Ponpes sejak di Bangku MTS

Regional
Kasus Wanita Diduga Dibunuh Kekasihnya di Pati, Ibu Korban Bantah Pelaku Pacar Anaknya

Kasus Wanita Diduga Dibunuh Kekasihnya di Pati, Ibu Korban Bantah Pelaku Pacar Anaknya

Regional
Pembangunan Gedung Perpustakaan 3 Lantai Dimulai, Bupati HST: Semoga Tingkatkan Literasi

Pembangunan Gedung Perpustakaan 3 Lantai Dimulai, Bupati HST: Semoga Tingkatkan Literasi

Regional
Cegah 'Blackout' Terulang, Pakar Kelistrikan Itera Lampung Sebut Perlu Peremajaan Aset

Cegah "Blackout" Terulang, Pakar Kelistrikan Itera Lampung Sebut Perlu Peremajaan Aset

Regional
Adik Zulkieflimansyah Nyatakan Siap Maju dalam Pilkada Sumbawa 

Adik Zulkieflimansyah Nyatakan Siap Maju dalam Pilkada Sumbawa 

Regional
Korban Keracunan Makanan di Cibadak Bertambah Jadi 117 Orang

Korban Keracunan Makanan di Cibadak Bertambah Jadi 117 Orang

Regional
Rp 400 Juta Uang Palsu dari Bandung Beredar di Jateng, Polisi: Belum Ada Laporan di Magelang

Rp 400 Juta Uang Palsu dari Bandung Beredar di Jateng, Polisi: Belum Ada Laporan di Magelang

Regional
Warga Aceh Timur Serahkan Pistol dan 10 Peluru ke Polisi

Warga Aceh Timur Serahkan Pistol dan 10 Peluru ke Polisi

Regional
4.620 Barang Pekerja Migran Indonesia Masih Tertahan di Semarang, Ini Penyebabnya

4.620 Barang Pekerja Migran Indonesia Masih Tertahan di Semarang, Ini Penyebabnya

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com