Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita dari Perbatasan RI-Timor Leste: Antara Memerangi Stunting dan Menghormati Kepercayaan Leluhur

Kompas.com - 19/11/2023, 07:00 WIB
Baharudin Al Farisi,
Fabian Januarius Kuwado

Tim Redaksi

TAK mudah memerangi stunting di Nusa Tenggara Timur (NTT), apalagi di daerah perbatasan Indonesia-Timor Leste. Tenaga kesehatan menghadapi berbagai tantangan, mulai dari minimnya pengetahuan orangtua, hingga kepercayaan leluhur.

Demikian diungkapkan Regina Noni (40), tenaga kesehatan di Puskesmas Wini yang terletak di Kelurahan Humusu C, Kecamatan Insana Utara, Kabupaten Timor Tengah Utara. Jarak antara puskesmas dengan Timor Leste sekitar 2,5 kilometer.

Berdasarkan letak geografis, daerah itu sebenarnya memiliki sumber makanan dengan gizi melimpah, yakni dari laut. Aneka hasil tangkapan mestinya menjadi sumber protein, vitamin, hingga omega 3 yang dibutuhkan oleh tumbuh kembang anak.

Tetapi, faktanya angka stunting alias tengkes di wilayah yang sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai nelayan itu cukup tinggi.

“Data (terakhir) bulan Agustus 2023, ada 274 anak (stunting) di Kecamatan Insana Utara. Kalau khusus di Wini ada sekitar 100 orang,” ujar Regina saat berbincang dengan Kompas.com, Jumat (17/11/2023). 

Baca juga: Berkat PLBN Wini, Muda-mudi Bisa Bekerja, Ekonomi Warga Meningkat

Sekadar catatan, NTT merupakan provinsi yang prevalensi tengkesnya tertinggi di Indonesia, yakni 35,3 persen. Berada di urutan kedua dan ketiga, yakni Sulawesi Barat dengan 35 persen dan Papua dengan 34,6 persen.

Orangtua seringkali tidak menyadari anaknya menderita tengkes. Bahkan, mereka menganggap berat dan tinggi anak yang tidak sesuai dengan seusianya, disebabkan oleh faktor keturunan.

“Sebagian masyarakat di sini bilang, ‘Kami memang pada dasarnya pendek. Anak kami pun pendek.’ Jadi, dianggapnya faktor keturunan,” ujar Regina.

Maka, tak jarang ketika mendapati pertumbuhan anaknya tidak sesuai dengan usianya, orangtua cenderung tidak menindaklanjutinya dengan memenuhi keseimbangan gizi anak.

Selain minimnya pengetahuan orangtua terhadap penanganan tengkes, Regina dan rekan-rekannya tenaga kesehatan menghadapi tantangan lain.

Baca juga: Sepenggal Cerita Perjalanan Menuju Wini, Pelosok yang Kini Jadi Beranda Nusantara

Masyarakat setempat masih kental dengan adat istiadat dan kepercayaan leluhur. Mereka percaya tak boleh mengonsumsi makanan tertentu ketika masa kehamilan. Padahal, dari kacamata kesehatan, makanan itu rupanya baik untuk perkembangan janin.

“Kebanyakan di sini masih ada pantangan, tradisi. Enggak boleh makan cumi, nanti begini, begini. Padahal makanan laut itu gizinya bagus,” ujar Regina.

Kepala Tata Usaha Puskesmas Wini, Regina Noni (40) saat ditemui di Puskesmas Wini, Humusu C, Insana Utara, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur, Jumat (17/11/2023).KOMPAS.com/BAHARUDIN AL FARISI Kepala Tata Usaha Puskesmas Wini, Regina Noni (40) saat ditemui di Puskesmas Wini, Humusu C, Insana Utara, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur, Jumat (17/11/2023).

Walau begitu, Regina dan rekan-rekan tidak pantang menyerah. Melalui pendekatan dari hati ke hati, para tenaga kesehatan terus memberi pemahaman kepada orangtua untuk memenuhi keseimbangan gizi sang anak tanpa harus menempatkan kepercayaan leluhur sebagai seuatu yang buruk.

Setiap bulan, Regina dan rekan-rekan hadir di kelas sosialisasi yang digelar di posyandu.

“Tapi kami juga kunjungan langsung ke rumah pasien stunting. Kami bekerjasama dengan petugas gizi dan bidan,” ujar Regina. 

Baca juga: Malam Mencekam Tahun 1999, Warga Wini Sembunyi di Gunung dan Hanya Makan Ubi Bakar Selama Dua Bulan

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com