Jika pada 2013 berada di angka 7,2 persen, jumlah perokok anak usia 10-18 tahun pada tahun 2018 menjadi 9,1 persen pada 2018 atau sekitar 3,2 juta anak.
Bahkan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan prevalensi perokok anak akan menjadi 16 persen pada 2030 atau setara dengan enam juta anak tanpa adanya upaya pencegahan yang sistematis dan masif.
Tumenggung Kedundong Mudo, Jalo yang melingkupi Naliti dan Induk Lalang menuturkan, kebiasaan merokok Orang Rimba sudah turun temurun dari nenek moyang. Pada awalnya, Orang Rimba menanam tembakau sendiri di dalam hutan.
Namun setelah muncul interaksi Orang Rimba dengan masyarakat pendatang (transmigrasi) pada medio 1970-1980, mereka mengenal rokok dari luar dan kemudian meninggalkan rokok tradisional mereka.
Menurut data terakhir KKI Warsi, masyarakat adat paling marjinal ini jumlahnya sekitar 5.270 jiwa.
Dari angka itu, lebih dari 60 persen berada di wilayah konsesi hutan tanaman industri (HTI) dan hak guna usaha (HGU) perkebunan sawit yaitu 3.162 orang.
Sisanya berada dalam kawasan hutan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) sebanyak 2.108 orang.
“Rokok tembako (tembakau) pembuatannya lama. Rasanya itu sangat kuat (pedes), jadi dalam sehari mereka cuma sanggup menghabiskan 3-5 batang rokok tembako dalam sehari,” kata Jalo.
Kebiasaan merokok tembakau pada zaman dulu, untuk menghilangkan sakit gigi dan sakit kepala. Menurutnya rokok tembakau memang tujuannya untuk pengobatan kemudian menjadi kebiasaan dalam sehari-hari.
Orang Rimba dari dulu sampai sekarang terbiasa menanam tembakau. Prosesnya ketika sehari selesai membakar lahan, maka biji tembakau ditebarkan di lahan.
Tak berapa lama akan hidup sendiri. Apabila sudah tumbuh dan daunnya tua berwarna kuning mirip daun pisang, maka sudah siap dipetik.
Langkah selanjutnya, kata Jalo merajang daun tipis-tipis, kemudian dijemur sampai dua hari di panas matahari. Setelah kering, tembako dilinting dengan daun lipai.
Tanaman ini merambat di hutan, tidak memiliki batang. Warna daunnya hijau di atas dan warna merah pada bagian bawahnya.
“Prosesnya lama dan sudah sulit menemukan daun lipai. Untuk menanam tembakau sekarang sudah sulit, karena Orang Rimba tidak boleh membakar lahan lagi,” kata Jalo.
Untuk saat ini ada beberapa Orang Rimba yang masih menanam tembakau, karena tidak ada pembakaran lahan maka tumbuhnya juga tidak terlalu banyak. Mereka menanam tembakau karena berada jauh di dalam hutan.
“Kalau kehabisan rokok, mereka bisa membakar rokok tradisional menjelang keluar rimba, untuk membeli rokok di kampung,” kata Jalo.
Ia mengatakan 9 dari 10 Orang Rimba itu merokok. Begitu juga perempuan Orang Rimba juga merokok. Tetapi jumlahnya tidak sebanyak laki-laki. Jalo mengatakan Orang Rimba memang sudah kecanduan rokok dari pabrik dan meninggalkan rokok tradisional mereka.
Alasan meninggalkan rokok tradisional lantaran pembuatannya yang rumit, kemudian rasanya kalah, apabila dibanding rokok pabrik yang dibeli dari warung. Mereka tidak peduli mereknya, yang paling penting harganya murah.
Fenomena kecanduan rokok pada masyarakat adat Orang Rimba dan Suku Anak Dalam (SAD) menguatkan hasil penelitian, bahwa Indonesia memang surga konsumen rokok terbesar dan terus bertumbuh.
Hasil Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021 yang diluncurkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), terjadi penambahan jumlah perokok dewasa sebanyak 8,8 juta orang, yaitu dari 60,3 juta pada 2011 menjadi 69,1 juta perokok pada 2021.
Indonesia belum meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), berupa kesepakatan global untuk pengendalian tembakau.
Rusli Effendi, Tenaga Kesehatan Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi mengatakan kebiasaan merokok menambah beban kelompok rentan. Sehingga Orang Rimba sulit keluar dari lingkaran kemiskinan.
Pendapatan Orang Rimba itu minim, kata Rusli sementara belanja untuk rokok cukup tinggi. Rata-rata Orang Rimba menghabiskan 2-3 bungkus rokok dalam sehari dengan harga Rp 17.000-32.000 per bungkus.
Menurut data KKI Warsi, pada medio 1970 untuk kepentingan ekonomi kelompok transmigran, hutan Orang Rimba ditebang ribuan hektar.
Selanjutnya, untuk hak guna usaha (HGU) perkebunan sawit dan hutan tanaman industri (HTI) pada 1980 hutan habis dibabat.
Biodiversitas juga terancam oleh alih fungsi lahan. Pada 1989 silam, luas ekosistem hutan masih 130.308 hektar.
Dua dekade berselang menyusut tajam, tersisa 60.483 hektar pada 2009. Bahkan tahun 2021 lalu, luasnya tinggal 48.796 hektar.
Rusli mengatakan hutan yang telah menyempit di Orang Rimba membuat kebiasaan mereka berburu untuk mendapatkan protein sudah jarang dilakukan.