Rena menjelaskan dalam adat dan tradisi orang Bajau, ketiga jimat ini sangat berperan penting sebagai benda yang dikeramatkan. Ketiganya selalu ada dalam setiap ritual apapun dalam adat Bajau.
Sebelum proses sangkine dilakukan, pangule akan melihat keadaan ibu hamil.
Jika dia tidak sehat di awal kehamilannya maka sangkine akan dibarengi dengan adat tiba tuli, pangule akan menyiapkan bahan-bahan untuk sesaji. Biasanya bahan tiba tuli ini adalah kelapa, kunyit, tepung beras.
Bahan-bahan ini dihaluskan dan dipakaikan pada wanita hamil selama tiga hari. Setelah itu pangule akan membersihkannya.
Setelah tiga hari kelahiran, ibu dan bayi akan menjalani ritual bantang.
Ritual bantang ini akan diikuti oleh beberapa wanita yang membantu proses kelahiran.
Baca juga: Begini Cerita Seorang Santri Nekat Naik Tiang Bendera Saat Upacara Bendera di Gorontalo...
Di sini, pangule dan para wanita yang membantu proses kelahiran mendapat imbalan oleh keluarga yang melahirkan berupa tanda terima kasih, bisa berbentuk uang atau barang.
Ritual bantang akan diikuti dengan ritual tiba kaka. Hal ini bertujuan agar si bayi tidak akan diganggu oleh kakaknya (ari-ari) yang sudah dihanyutkan di laut.
“Dalam kepercayaan orang Bajau ari-ari adalah saudara bayi yang lahir. Bentuk gangguan yang biasanya terjadi adalah bayi sering sakit atau tertawa sendiri seperti ada seseorang yang mengajaknya bermain,” ujar Mbo Gentong.
Untuk menjaga agar bayi-bayi Bajau ini tidak mendapat gangguan dari kekuatan jahat, pangule Bajau membuat sebuah jimat yang berbentuk gelang.
Gelang ini dibuat Mbo Gentong dari tulang ekor ikan hiu dan lobster.
Dengan mengenakan gelang tulang ekor ikan hiu dan lobster ini bayi Bajau yang mungil ini akan terhindar dari gangguan setan.
Gelang-gelang jimat buatan Mbo Gentong juga dihiasi manik-manik buatan agar terlihat indah dan menarik.
Mbo Gentong menjelaskan, dulu tidak pernah menjumpai kelahiran bayi Bajau yang cacat.
Namun kini, dia akhir-akhir ini menjumpai bayi yang lahir dengan jumlah jari kaki hingga 12, enam jari di masing-masing kaki.
Kelahiran kerdil atau stunting juga ditemukan di Torosiaje, bahkan dia menghitungnya hingga 20 kasus.
Dalam membantu persalinan Mbo Gentong sebagai pengule tidak menetapkan imbalan, semua diserahkan keikhlasan kelurga yang memanggilnya.
Apalagi banyak keluarga Bajau yang hidup sangat sederhana.
Dia mengaku senang dengan program pemerintah yang membantu warga miskin melalui berbagai program bantuan.
Perkampungan suku Bajau di atas laut ini terus berkembang, bayi-bayi mungil terus hadir menyapa dunia.
Baca juga: 25 Wisata Gorontalo, Wisata Sejarah hingga Bertemu Hiu Paus
Anak-anak tumbuh menjadi remaja, para remaja menikah untuk membentuk rumah tangga baru, satu rumah akan berdiri di atas karang yang dipenuhi bulu babi dan ikan-ikan kecil di desa ini.
Angin Oktober seperti malas untuk bertiup di desa ini, udara panas berhasil menggiring warga Bajau ke teras rumah atau jalan desa yang lebih terbuka untuk mendapatkan udara segar.
Sementara di sisi lain di perkampungan ini, sejumlah perempuan tengah menjemur ikan asin di atas kayu di samping rumah.
Namun terik matahari ini seperti diejek ikan batu yang telah dibelah tubuhnya, seakan menantang untuk lebih panas lagi menyinari kampung suku Bajau.
Siang itu tidak banyak ojek laut yang melintas, dari kejauhan dua pulau tidak berpenghuni telah bertahun-tahun menjaga desa sunyi di tengah laut ini.
Mbo Gentong menyimpan kembali jimat-jimat dalam wadahnya, dia akan menjaga susuku, tatali dan ringge sebagaimana dia menjaga adat dan tradisi masyarakat Bajau.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.