Salin Artikel

Mbo Gentong, Pelestari Adat Kelahiran Anak Suku Bajau di Teluk Tomini

Ombak tipis dan angin segar menyambut ari-ari bayi ini, melayang-layang dalam air sebelum arus membawanya mengelana ke samudera.

Bagi warga Bajau, melepas ari-ari di laut adalah tradisi yang diwarisi dari generasi ke generasi.

Semua prosesinya dilakukan melalui ritual yang dipimpin oleh seorang pangule berpengalaman.

Mbo Gentong adalah seorang pangule atau dukun bayi suku Bajau. Dia dikenal cekatan dan sabar dalam melakukan praktik sangkine (membantu persalinan) wanita suku Bajau yang mendiami pesisir selatan Kabupaten Pohuwato, Gorontalo.

Dari tangannya inilah sudah tidak terhitung lagi berapa jumlah anak-anak Bajau yang lahir di tiga desa Bajau serumpun, Desa Torosiaje, Bumi Bahari dan Torosiaje Jaya.

Mbo Gentong bergembira persalinan Yusda, perempuan paruh baya suku Bajau dari Torosiaje Jaya berlangsung lancar. Sang ibu dan bayinya sehat.

Sejak awal kehamilan, keluarga Yusda memang menyerahkan penanganan perawatannya kepada pangule Mbo Gentong.

Mbo gentong sejak lama mendapat kepercayaan masyarakatnya untuk menangani perawatan ibu hamil hingga proses persalinan.

Di kawasan Bajau Serumpun yang dihuni suku Bajau ini adat kebiasaan masyarakat masih sangat kental.

Mbo Gentong masih ingat menjelang persalinan Yusda. Dia dijemput di rumahnya oleh beberapa orang keluarga Yusda yang menggunakan perahu untuk membantu persalinan.

Yusda dan juga keluarganya merasa nyaman persalinan ini ditangani mbok Gentong.

Hingga akhirnya Yusda melahirkan bayi mungil. Mbo Gentong pun merasa gembira menyambut kehadiran bayi Bajau yang akan membawa kebaikan bagi masyarakatnya. Doa-doa pun dilantunkan untuk kebaikan masa depannya.

“Saya belajar membantu persalinan bayi dari pangule-pangule sebelumnya,” kata Mbok Gentong mengawali pembicaraan yang ditemani Rena Pasandre tetangganya di rumah panggung yang dibuat dari kayu yang berada di atas permukaan laut, awal Oktober 2020.


Mbo Gentong yang memakai baju panjang mengenakan jilbab biru ini menceritakan kisah perjalanannya menjadi pangule.

Dia mewarisi pengetahuan leluhur suku Bajau, termasuk bagaimana proses persalinan dilakukan di zaman orang Bajau masih nomaden di laut, mereka menyusuri lepas pantai hingga menyeberagi laut sepanjang hidupnya.

Mereka tinggal di satu perahu tradisional, perahu inilah rumahnya. Semua aktivitasnya dilakukan di dalam perahu sambil mencari ikan.

Suku Bajau memang dikenal sebagai suku laut yang mengembara dari perairan satu ke tempat lain.

Generasi Bajau saat ini mempercayai jika leluhur mereka hanya turun ke darat pada dua waktu, saat perayaan hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.

“Sepanjang hidupnya leluhur kami, suku Bajau melakukan kegiatan di atas perahu, bahkan saat transaksi hasil tangkapan ikan pun. Hanya Idul Fitri dan hari raya haji mereka turun ke darat,” ujar Latif, warga Bajau yang tinggal di Torosiaje Jaya.

Sebagai suku yang sangat dekat dengan laut, masyarakat Bajau tidak banyak bersentuhan dengan warga yang mendiami daratan. Termasuk layanan yang diberikan oleh pemerintah.

Mereka lebih suka menyusuri tepi pantai yang sepi atau ke tengah laut mengejar kawanan ikan. Tidak heran jika fasilitas pembangunan yang disediakan pemerintah jarang dinikmati.

Mereka merasa lebih nyaman diayun riak gelombang sambil berdendang.

Daya subbatang di billa ka santang

Paboko kami ka lana aloang

Kalau intangku pasang lakuku boe mataku alo-aloang

Sikakatumppa sikakalopa

Paboko kami kasapa Aloang

Kalau intangku pasannu iru boe mataku alo- aloang

Dendang lagu ini mengisahkan pemuda yang pergi mencari ikan di laut, berbekal ikan cakalang asap yang dimasak dengan santan.

Dia berperahu ke gugusan karang di Aloang (sebuah tempat di Teluk Tomini). Pemuda ini selalu teringat pesan kekasih hatinya yang berada di kampung, hatinya tersayat-sayat bercucuran air matanya.


Seiring waktu pemerintah berusaha memukimkan mereka yang masih tinggal di laut secara nomaden.

Setelah berdirinya permukiman suku Bajau di Desa Torosiaje, semakin banyak pengembara laut ini bertempat tinggal di desa ini.

Berlanjut dengan upaya pemerintah (saat itu Gorontalo masih bagian dari Provinsi Sulawesi Utara) membuat rumah untuk mereka di wilayah daratan Sulawesi yang kemudian berkembang menjadi tiga desa seperti saat ini.

“Menurut cerita dari orang-orang tua kami orang Bajau sebelum mengenal rumah hidup di perahu dan melahirkan di perahu juga,” ujar Mbo Gentong sambil menatap pintu rumahnya yang terbuka, di kejauhan tampak sejumlah nelayan melintas di ujung desa.

Dalam kondisi yang serba terbatas menurut pandangan orang lain, warga Bajau justru bangga dengan cara hidupnya ini, mereka bisa ke mana pun mereka suka untuk menangkap ikan atau teripang.

Mereka sangat mahir menangkap ikan, termasuk memiliki keahlian menyelam yang di atas rata-rata orang normal.

Bagi banyak individu dan kelompok masyarakat, kelahiran bayi adalah peristiwa sangat penting, bahkan melebihi peristiwa kematian seseorang.

Kelahiran bayi selalu membawa kebahagiaan, disambut dengan doa dan pengharapan.

Demikian juga bagi masyarakat Bajau menyambut anggota keluarga baru yang dilahirkan dari Rahim wanita-wanita yang Bajau tangguh.

Para perempuan Bajau adalah perempuan perkasa, karena semua pekerjaan laki-laki juga dilakukan oleh mereka.

Mencari ikan, mendayung perahu, mengumpulkan kayu kering untuk perapian, atau bahkan menyelam.

Perempuan Bajau memiliki beban ganda, sebagai orangtua yang mengasuh anak-anaknya dan juga bekerja mencari ikan dilakukan.

Menjalani kehamilan hingga melahirkan adalah kodratnya sebagai wanita, tanpa meninggalkan peran lainnya.

Tidak heran jika pada masa lalu banyak kematian dalam kelahiran orang Bajau, ibu dan anaknya.

“Jika dalam persalinan ada yang meninggal, ibu atau anaknya, atau bahkan keduanya, pulau tempat mereka singgah akan menjadi tempat kubur bagi mereka yang meninggal setelah persalinan. Perahu akan merapat ke tepi pantai dan anggota keluarga akan menguburkan di tepi pulau,” kata Mbo Gentong.

Karena kepercayaan terhadap ilmu pangule yang menangani proses melahirkan sangat tertanam di benak orang Bajau.

Namun, saat ini sesuai anjuran sudah banyak wanita Bajau yang melahirkan di Puskesmas atau rumah sakit.

Mbo Gentong sebagaimana pangule Bajau terdahulu, dia akan menghanyutkan ari-ari bayi Bajau di tengah laut meski sang ibu melahirkan di rumah sakit atau puskesmas.

Dalam percakapan di rumahnya di perkampungan di atas laut, Mbo Gentong menuturkan sejumlah pantangan yang harus ditaati oleh wanita yang tengah hamil, antara lain tidak boleh melilit kain atau selendang di tubuhnya.

“Kalau melilitkan selendang di tubuh bisa mengakibatkan tali pusat bayi terlingkar ke tubuh bayi,” tutur Mbo gentong.

Selain itu juga dilarang keluar rumah menjelang maghrib, apalagi sampai keluar di saat angin kencang tengah melanda perkampungan.

Dalam kondisi ini ari-ari yang masih di dalam tubuh ibu hamil akan memar membiru kehitam-hitaman.

Keadaan ini disebut tasambang, jika hal ini terjadi maka bayi terancam meninggal.

Pantangan seorang ibu setelah melahirkan bayi, terutama kepada sang ayah antara lain tidak boleh membelah kayu dan memompa lampu minyak sebelum tali pusat bayi mengering dan sembuh.

Sang ayah belum boleh beraktivitas keras apalagi sampai berkegiatan yang berhubungan dengan benda tajam selama tali pusat belum kering.

Setelah tali pusat sang bayi kering, pangule akan membubuhi serbuk dari arang tempurung kelapa yang sudah dihaluskan ke pusat bayi. Ini proses terakhir pengobatan tali pusat bayi yang sudah dipotong setelah lahir.

Selain kemampuan teknis bagaimana menolong persalinan wanita Bajau, pangule juga memiliki keahlian lain, yaitu merapalkan mantra-mantra saat bayi baru dilahirkan dan menangis keras.

Ini bagian dari sangkine yang harus dikuasainya agar bayi sehat secara fisik dan tidak diganggu oleh kekuatan jahat.

Sangkine merupakan perawatan kepada wanita sejak kehamilan awal hingga bayi dilahirkan.

Dalam sangkine, seorang pangule memiliki jimat atau yang biasa mereka sebut sebagai susuku, tatali dan ringe yang diwarisi dari leluhurnya.

Susuku ini berupa kepingan uang gulden berangka nominal setengah gulden yang bergambar Ratu Wilhelmina yang sisinya bergambar mahkota dan lambang kerajaan. Uang ini berangka tahun emisi 1930.

Sementara tatali berupa kepingan uang gulden yang berangka tahun emisi 1945 senilai seperempat gulden dengan mahkota dan lambing kerajaan belanda di satu sisi, sementara sisi lainnya berupa aksara jawa dan arab.

Sementara ringge adalah uang keping yang lebih besar diameternya.

Jimat-jimat yang dimiliki Mbo Gentong ini merupakan benda yang langka dan sulit ditemukan.

“Susuku, tatali dan ringge saat ini sulit ditemukan, ketiganya dijadikan benda keramat dalam adat kami, orang Bajau,” kata Rena Pasandre, warga Bajau yang menemani Mbo Gentong.

Sebelum proses sangkine dilakukan, pangule akan melihat keadaan ibu hamil.

Jika dia tidak sehat di awal kehamilannya maka sangkine akan dibarengi dengan adat tiba tuli, pangule akan menyiapkan bahan-bahan untuk sesaji. Biasanya bahan tiba tuli ini adalah kelapa, kunyit, tepung beras.

Bahan-bahan ini dihaluskan dan dipakaikan pada wanita hamil selama tiga hari. Setelah itu pangule akan membersihkannya.

Setelah tiga hari kelahiran, ibu dan bayi akan menjalani ritual bantang.

Ritual bantang ini akan diikuti oleh beberapa wanita yang membantu proses kelahiran.

Di sini, pangule dan para wanita yang membantu proses kelahiran mendapat imbalan oleh keluarga yang melahirkan berupa tanda terima kasih, bisa berbentuk uang atau barang.

Ritual bantang akan diikuti dengan ritual tiba kaka. Hal ini bertujuan agar si bayi tidak akan diganggu oleh kakaknya (ari-ari) yang sudah dihanyutkan di laut.

“Dalam kepercayaan orang Bajau ari-ari adalah saudara bayi yang lahir. Bentuk gangguan yang biasanya terjadi adalah bayi sering sakit atau tertawa sendiri seperti ada seseorang yang mengajaknya bermain,” ujar Mbo Gentong.

Untuk menjaga agar bayi-bayi Bajau ini tidak mendapat gangguan dari kekuatan jahat, pangule Bajau membuat sebuah jimat yang berbentuk gelang.

Gelang ini dibuat Mbo Gentong dari tulang ekor ikan hiu dan lobster.

Dengan mengenakan gelang tulang ekor ikan hiu dan lobster ini bayi Bajau yang mungil ini akan terhindar dari gangguan setan.

Gelang-gelang jimat buatan Mbo Gentong juga dihiasi manik-manik buatan agar terlihat indah dan menarik.

Mbo Gentong menjelaskan, dulu tidak pernah menjumpai kelahiran bayi Bajau yang cacat.

Namun kini, dia akhir-akhir ini menjumpai bayi yang lahir dengan jumlah jari kaki hingga 12, enam jari di masing-masing kaki.

Kelahiran kerdil atau stunting juga ditemukan di Torosiaje, bahkan dia menghitungnya hingga 20 kasus.

Dalam membantu persalinan Mbo Gentong sebagai pengule tidak menetapkan imbalan, semua diserahkan keikhlasan kelurga yang memanggilnya.

Apalagi banyak keluarga Bajau yang hidup sangat sederhana.

Dia mengaku senang dengan program pemerintah yang membantu warga miskin melalui berbagai program bantuan.

Perkampungan suku Bajau di atas laut ini terus berkembang, bayi-bayi mungil terus hadir menyapa dunia.

Anak-anak tumbuh menjadi remaja, para remaja menikah untuk membentuk rumah tangga baru, satu rumah akan berdiri di atas karang yang dipenuhi bulu babi dan ikan-ikan kecil di desa ini.

Angin Oktober seperti malas untuk bertiup di desa ini, udara panas berhasil menggiring warga Bajau ke teras rumah atau jalan desa yang lebih terbuka untuk mendapatkan udara segar.

Sementara di sisi lain di perkampungan ini, sejumlah perempuan tengah menjemur ikan asin di atas kayu di samping rumah.

Namun terik matahari ini seperti diejek ikan batu yang telah dibelah tubuhnya, seakan menantang untuk lebih panas lagi menyinari kampung suku Bajau.

Siang itu tidak banyak ojek laut yang melintas, dari kejauhan dua pulau tidak berpenghuni telah bertahun-tahun menjaga desa sunyi di tengah laut ini.

Mbo Gentong menyimpan kembali jimat-jimat dalam wadahnya, dia akan menjaga susuku, tatali dan ringge sebagaimana dia menjaga adat dan tradisi masyarakat Bajau.

https://regional.kompas.com/read/2020/10/26/09581951/mbo-gentong-pelestari-adat-kelahiran-anak-suku-bajau-di-teluk-tomini

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke