Sejarah awal kopi di Desa Tepal dimulai pada tahun 1915, saat itu masih zaman penjajahan Belanda. Jika dihitung, jaraknya dengan letusan Tambora pada April 1815 maka hampir satu abad baru masuk peradaban kopi di pegunungan Batu Lanteh tersebut.
"50 tahun pasca-letusan Tambora, di Kabupaten Sumbawa itu belum pulih, ada tanaman jenis tertentu yang bisa tumbuh," kata Yadi Surya Diputra, pegiat sejarah dan penulis buku Sumbawa Tahun 1876.
Kisah kopi berawal saat salah satu alim ulama masyhur yaitu Dea Imam Sumbawa dan Dea Imam Tepal pulang ke Indonesia usai melaksanakan ibadah haji.
Baca juga: Kiamat Tambora, April 1815
Saat kapal berlabuh di Jawa (Batavia), mereka bertemu dengan sahabatnya yang juga ulama. Bibit kopi arabika itu diberikan oleh temannya sebagai buah tangan.
Lalu disemai oleh Dea Imam Tepal di lahan satu hektar yang menjadi cikal bakal kebun kopi pertama di desa tersebut.
Ada juga pendapat yang mengatakan bibit kopi itu di bawah oleh Sultan Amrullah saat pulang umroh. Bibit kopi di bawah dari Arab. Bibit kopi itu disebut kopi Belanda yaitu arabica S7 yang berbuah 4 tahun sekali. Karena alasan itu, masyarakat tidak dikembangkan kopi jenis ini.
"Kopi S7 jika pelindungnya kurang, maka buahnya tidak bagus karena banyak yang tanpa biji meski buahnya petik merah," kata Ahdar.
Baca juga: Termahal di Dunia, Ini Sejarah Kopi Luwak di Nusantara
Selanjutnya, pada masa orde lama sekitar tahun 1958, masyarakat mulai menanam kopi robusta. Bagi orang Tepal, lazim disebut kopi Jawa, karena bibitnya dari Jawa. Saat itu, kopi robusta pegunungan Batu Lanteh hanya ada di Desa Tepal.
Setelah desa yang lain di pegunungan Batu Lanteh mengetahui ada kopi robusta, mereka mulai mencari bibit ke tempat lain. Pada tahun 1962, kopi robusta mulai di kembangkan di desa tetangga, yaitu Baturotok.
"Ada bibit dari Tepal juga yang di bawah ke Baturotok. Ada juga bibit dari Jawa tetapi tidak banyak," jelas Ahdar.
Setelah kopi robusta berhasil dikembangkan di Desa Baturotok. Masyarakat Desa Tepal mulai menanam kopi robusta secara masif dan diikuti oleh desa-desa lainnya di Kecamatan Batu Lanteh.
Kopi Arabika jenis Lini S 795 akrab disebut kawa (kopi dalam bahasa Sumbawa) unggul merupakan bibit hasil dari pengembangan kopi yang dilakukan oleh Dinas Perkebunan dan Kehutanan pada tahun 1983. Harapannya, dapat meningkatkan nilai produk masyarakat.
Penyebaran kopi tersebut dimulai di Desa Tepal dan Dusun Punik Desa Batudulang. Saat itu kopi arabika dan robusta memiliki harga sama, hingga petani banyak memilih tanam robusta.
"Kini setelah sekian tahun akhirnya harapan itu terwujud. Saat ini kopi arabika memiliki peningkatan harga lebih signifikan," kata Ahdar.
Sebelum terjun di bisnis kopi, Ahdar pernah merantau di Jakarta. Ia bekerja sebagai sales, pedagang hingga pengrajin pigura.
Namun, mimpi indah di ibu kota harus dikubur ketika terjadi krisis moneter pada tahun 1998. Ia akhirnya kembali ke kampung halaman. Bermodal kebun kopi robusta warisan seluas 2 hektar, ia mulai membangun mimpi yang baru.
Ahdar terus berupaya bagaimana meningkatkan mutu dan membina petani kopi di Tepal. Pada tahun 2000 ia mendirikan koperasi serba usaha Puncak Ngengas. Ia mulai membangun jejaring dan brand kopi Tepal.
"Pada tahun 2003 kita dapat bibit kopi arabika jenis bagus yaitu andung sari," imbuh Ahdar.
Perluasan dan pengembangan area kebun kopi semakin masif, pemerintah melalui Kementerian Koperasi dan UKM memberikan bantuan pada 4 kelompok tani senilai satu miliar dan 4 kelompok di Desa Baturotok dengan nilai yang sama.
Saat itu, kelompoknya mulai dibina oleh Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (Puslitkoka) Indonesia.
Ia mulai menjadi pemateri di acara temu lapangan petani kopi pada tahun 2011. Saat awal bangun brand kopi Tepal, Ahdar mengikuti banyak festival kopi dan kerap memberikan kopi secara gratis. Hal itu dilakukan agar kopi dikenal banyak orang di seluruh Indonesia.
"Saya juga pernah ikuti festival di Arab Saudi. Itu semakin menambah kuat branding kopi Tepal hingga mancanegara," cerita Ahdar.
Sampai hari ini, harga jual kopi arabika Rp 60.000 per kilogram. Sedangkan robusta, tahun ini naik ke harga Rp 30.000 dari sebelumnya Rp 20.000 per kilogram.
Di Desa Tepal, potensi kopi robusta sampai 600 ton, sementara untuk Kecamatan Batulanteh, jika hasil panen bagus bisa 2.000 ton per tahun. Meski begitu, kopi dari Sumbawa belum bisa ekspor karena tingkat produksi masih rendah.
"Kita belum bisa penuhi permintaan pasar internasional. Sekarang kita masih pengembangan dan perluasan kopi arabika," katanya.
Ahdar juga terus berupaya menaikan grade kopi Tepal.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.