Tim Kompas.com melakukan Tapak Tilas 208 Tahun Letusan Tambora untuk menelusuri jejak letusan Gunung Tambora di Nusa Tenggara Barat. Nantikan persembahan tulisan berseri kami tentang dampak dahsyatnya letusan Tambora pada April 1815.
SUMBAWA, KOMPAS.com - Tak mudah mencapai Tepal, sebuah desa di Kecamatan Batu Lanteh, Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat (NTB), yang terletak di ketinggian 847 meter di atas permukaan laut.
Desa yang terletak di wilayah pegunungan ini berjarak 67 kilometer sebelah selatan pusat pemerintahan Kabupaten Sumbawa.
Butuh waktu empat jam untuk menempuh perjalanan normal dengan jip, hardtop, atau truk. Sebab, tak ada kendaraan umum menuju desa tersebut.
Baca juga: Kiamat Tambora, April 1815
Sedangkan, jika menggunakan motor butuh waktu tempuh 3,5 jam melewati Desa Batu Dulang.
Namun, saat Kompas.com mengunjungi Tepal, jalur kendaraan bermotor sejauh 12 kilometer masih dalam proses perbaikan sehingga belum bisa dilewati.
Di musim hujan seperti saat ini, jalan menuju Desa Tepal semakin sulit dilalui. Tanjakan licin dan turunan curam menjadi rintangan.
Jurang dengan kemiringan ekstrem di kanan-kiri jalan membuat perjalanan kian memacu adrenalin.
Sepanjang perjalanan terhampar perbukitan dengan pohon-pohon menjulang.
Kerap kali penumpang harus turun di beberapa tanjakan dan berjalan kaki lantaran ban kendaraan beradu dengan lumpur yang tebal dan licin.
Tiba di Desa Tepal, kulit disambut dengan hawa dingin dengan suhu 20 derajat celsius. Bahkan, di pagi hari suhunya 19 derajat celsius.
Kabut tebal menyelimuti desa usai hujan deras mengguyur dari siang hingga sore hari.
Setiap kali berjalan, warga Desa Tepal dengan keramahtamahan mereka, menyapa pendatang. Senyuman hangat selalu tersungging di tengah cuaca yang dingin.
Dalam catatan sejarah, masyarakat yang tinggal di Tepal adalah suku asli Sumbawa.
Sebagai salah satu desa penghasil kopi terbesar di Kabupaten Sumbawa, masyarakat desa ini umumnya berprofesi sebagai petani kopi.
Ladang kopi yang tumbuh subur menjadikan kopi dari Desa Tepal sangat terkenal di Nusa Tenggara Barat, bahkan mancanegara.
Sejauh mata memandang, rumah-rumah warga Tepal menarik perhatian lantaran terbuat dari kayu dan mirip seperti rumah panggung.
Beberapa warga tampak duduk di teras rumah, ada yang menjemur kopi, membuat anyaman tikar dari daun pandan, dan aktivitas lainnya.
Baca juga: Melihat Mata Air Hodo dan Benteng Kerajaan yang Terkubur Letusan Tambora
Desa yang berada di lereng pegunungan ini disebut-sebut menjadi salah satu desa yang selamat saat letusan dahsyat Gunung Tambora pada April tahun 1815.
Hal ini dijelaskan dalam catatan Laporan Zollinger berjudul Verslah Van Eene Reis Naar Bima En Soembawa, En Naar Eenige Plaatsen Op Celebes, Saleijer En Floris, Gedurende De Maanden Mei Tot December, 1847
Hal tersebut juga diaminkan oleh masyarakat setempat.
Kepala Desa Tepal, Sudirman, mengatakan, saat Gunung Tambora meletus, abu vulkanik sampai di Tepal.
"Sempat juga matahari tidak terlihat karena letusan selama berbulan-bulan berdasarkan cerita nenek moyang," kata Sudirman.
Menurut dia, masyarakat Tepal masih selamat.
Padahal, letusan Tambora saat itu berskala 7 Volcanic Explosivity Index (VEI) dan tercatat sebagai salah satu yang terhebat dalam sejarah manusia.