SUMBAWA, KOMPAS.com - Masyarakat di Pulau Bungin, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), mempunyai tradisi menimbun laut dengan batu-batuan dan tanah sebagai tempat tinggal bagi pasangan yang telah menikah.
"Benar, tradisi itu ada di Pulau Bungin," kata Rahmawati (49), warga Pulau Bungin, Kamis (27/10/2022).
"Sebagai bukti cinta sebelum mempelai pria mempersunting mempelai wanita," imbuh Rahmawati.
Baca juga: Mengenal Pulau Bungin, Kondisi Geografis, Potensi, dan Suku Bajo
Menurutnya, hukum adat perkawinan di Pulau Bungin mengharuskan setiap pasangan yang akan dan telah menikah agar mampu membangun rumah sendiri.
Salah satu caranya memiliki modal untul membeli material bebatuan dan tanah agar terlebih dahulu membuat daratan (reklamasi). Setelah itu, baru dimulai proses membangun, baik bentuknya rumah panggung atau rumah batu. Jarak antar rumah di Pulau Bungin sangat rapat.
Rumah sebagai hadiah atau mahar sebelum menjemput pujaan hati untuk hidup berumah tangga.
Baca juga: Tangis Ibu di Sumbawa, Anaknya Menjadi Korban Pencabulan dan Berhenti Sekolah, Sang Suami Depresi
"Saat laki-laki sudah cukup usia, mereka akan pergi merantau. Ada yang melaut mencari ikan, berlayar, mencari muntahan paus dan mutiara, menjadi nakhoda kapal, pergi ke luar negeri sebagai Pekerja Migran Indonesia (PMI) serta profesi lainnya," sebut Rahmawati.
Suku Bajo asal Sulawesi Selatan yang telah lama menetap di Pulau Bungin, sangat terkenal dengan kepiawaiannya dalam menaklukkan lautan.
Tak heran jika saat ini, mayoritas penduduk Pulau Bungin berpencaharian sebagai nelayan. Oleh sebab itu, merantau dan meninggalkan pulau bukan pilihan hidup bagi masyarakat yang telah menjalin hubungan emosional dan kultural yang kuat dengan laut.