Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Para Perempuan Positif HIV di Papua, Masih Ingin Hidup dan Melihat Anak Beranjak Dewasa

Kompas.com - 04/12/2021, 06:07 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - "Saya masih ingin hidup dan ingin lihat anak saya beranjak dewasa," tutur Konstance Raweyai, mengungkapkan harapan akan masa depannya.

Tes HIV yang ia lakukan enam tahun silam membuka kenyataan pahit yang membuatnya tak dapat lepas dari obat anti-retroviral virus atau ARV sepanjang sisa hidupnya.

Sempat gamang dan putus asa dengan virus yang berkelindan di tubuhnya, ia kini menjadi motivator bagi sesama pengidap HIV di Papua untuk terus berjuang melawan virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh itu.

Baca juga: Penularan Infeksi HIV pada Anak Bisa Dicegah Sedari Dini, Seperti Apa?

"Saya mau mendorong mereka untuk ke layanan kesehatan maupun untuk berobat, agar mereka tetap sehat walaupun terinfeksi," aku Konstance ketika berbicara dengan BBC News Indonesia pada pertengahan September silam.

"Walaupun dikatakan kita orang yang hidup dengan HIV, tetapi tetap sehat seperti yang lain," lanjutnya.

HIV/AIDS sudah lama menjadi isu kesehatan utama di Papua, bahkan menjadi ancaman mematikan.

Sayangnya, dua tahun belakangan, isu itu tertimbun oleh pandemi Covid-19 dan konflik tak berkesudahan antara militer Indonesia dan kelompok pro-kemerdekaan Papua.

Baca juga: Akademisi UGM Ajak Masyarakat Hilangkan Stigma Pasien HIV/AIDS

Tahun lalu, kasus AIDS di Papua ada di urutan teratas nasional dengan 23.629 kasus. Sementara kasus HIV di Papua ada di posisi keempat dengan 37.662 kasus.

Laporan UNAIDS terbaru menunjukkan bagaimana pandemi Covid dan pembatasan yang menyertainya telah mengganggu pengetesan HIV— di banyak negara hal ini telah menyebabkan penurunan tajam dalam diagnosis HIV, rujukan ke layanan perawatan, dan inisiasi pengobatan HIV.

'Sudah putus asa, tidak mau hidup'

Ilustrasi HIV pada anak-anak Ilustrasi HIV pada anak-anak
Kala itu, pada suatu hari di tahun 2015, Konstance mengeluh sesak di dadanya. Batuk yang ia derita selama beberapa hari terakhir juga tak kunjung sembuh.

Oleh kakaknya, Konstance segera diboyong ke rumah sakit. Setelah diperiksa di poli paru-paru, dokter memvonisnya mengidap tuberkulosis.

Tak hanya sampai di situ, dokter kemudian mengarahkannya ke layanan konseling dan tes HIV secara sukarela, atau voluntary counseling and testing (VCT).

"Dari situ saya dikatakan positif [HIV]."

Baca juga: Apa Saja Tantangan Merawat Anak dengan HIV?

"Pokoknya sedih sekali. Saya menangis, sampai tidak mau makan. Sudah putus asa, tidak mau hidup," ujar Konstance, mengungkap apa yang ia rasakan ketika pertama kali mendapati dirinya positif HIV.

Kendati HIV mewabah di Papua, Konstance tak menyangka dirinya bakal terpapar virus itu. Sebab, sepanjang hidup, ia menjalani perilaku seks aman dan tidak berganti-ganti pasangan.

Ia tak tahu menahu dari mana ia terpapar virus itu. Yang ia tahu, selama ini ia hanya melakukan hubungan seksual dengan suaminya semata.

"Tapi pas dikatakan positif, saya berpikir mungkin suami saya tidak setia sama saya, mungkin ada yang lebih dari saya, makanya dia bergaul dengan perempuan yang sakit [HIV] sehingga saya mengalami sakit yang sama," tuturnya.

Baca juga: Jumlah Penderita HIV/AIDS di Blora Disebut Turun hingga 50 Persen

Ilustrasi HIV/AIDS, Hari AIDS sedunia. Sejarah AIDS dan penularan HIV AIDS.Shutterstock Ilustrasi HIV/AIDS, Hari AIDS sedunia. Sejarah AIDS dan penularan HIV AIDS.
Ia sempat meminta suaminya untuk melakukan tes HIV, namun sang suami bergeming.

"Dia tidak percaya. Dia bilang, 'Ah itu salah,' karena memang sampai saat ini dia belum sakit."

Tak lama setelah dinyatakan positif HIV, ia berpisah dengan suaminya. Virus itu merenggut nyawa salah satu anaknya yang kala itu masih bayi.

Ia kini hidup bersama dengan putra semata wayangnya, Alvaro. Berbeda dengan Konstance, putranya dinyatakan negatif HIV.

Ketika dirinya dinyatakan positif HIV, Konstance mengaku "putus asa" dan "tidak mau hidup". Namun sang anak memberinya secercah harapan dan menjadi motivasinya untuk tetap kuat.

"Saya selalu berdoa, 'Tuhan, kuatkan saya karena saya masih mau sama-sama dengan saya pu anak'".

Baca juga: Kasus HIV/AIDS di Kabupaten Blitar Turun Signifikan Selama Pandemi Covid-19

"Walaupun saya sudah tidak sama-sama dengan saya pu suami, sudah ditinggalkan, tapi masih ada satu anak yang saya harus urus," aku Konstance.

Sama seperti orang dengan HIV/AIDS yang lain, stigma dan perlakuan diskriminatif pernah dialami oleh Konstance.

"Macam pas ibadah itu, biasa duduk dengan saya, waktu itu langsung tiba-tiba dong berdiri. Tapi kadang saya rasa trapapa, biasa saja."

"Terus saya cuma bilang, sampai air mata keluar tapi saya tahan, 'Ya Tuhan, saya hanya datang untuk beribadah,' Lagi pula gereja kan bukan dia pu gereja. Kalau dia mau pindah, pindah saja."

"Kalau menurut saya itu tidak perlu, karena sa pikir HIV ada obatnya karena saya datang berobat terus. Ternyata minum obat ARV tidak apa-apa, sehat saja," katanya.

Baca juga: Penderita HIV/AIDS di Jatim Capai 2.526 Orang, Surabaya Tertinggi dengan 323 Kasus

Merangkul sesamanya yang putus obat

Sejak 2018, Konstance bergabung dalam Kelompok Dukungan Sebaya, wadah bagi penderita HIV untuk saling berbagi dan menguatkan satu sama lain.ALFONSO DIMARA/BBC Indonesia Sejak 2018, Konstance bergabung dalam Kelompok Dukungan Sebaya, wadah bagi penderita HIV untuk saling berbagi dan menguatkan satu sama lain.
Statusnya sebagai orang dengan HIV (ODHIV), membuat Konstance harus mendatangi layanan VCT di RSUD Jayapura secara berkala untuk konseling dan mengakses obat ARV.

Hingga akhirnya pada 2018, ia bergabung dalam Kelompok Dukungan Sebaya, wadah bagi penderita HIV untuk saling berbagi dan menguatkan satu sama lain.

Sebagai Penjangkau Sebaya, Konstance membantu sesamanya untuk mengakses obat ARV yang begitu penting dalam memperlambat proses replikasi virus HIV yang sangat mudah bermutasi dan menyerang sistem kekebalan tubuh.

"Biasa kalau macam teman-teman tidak datang untuk ambil obat, kalau kita lihat mereka tidak datang, kita cari ke rumah mereka untuk datang ambil obat."

Baca juga: Hari AIDS Sedunia, Kenali Gejala HIV sejak Minggu Pertama Terinfeksi

"Kita cari macam teman-teman yang putus obat, yang harus di-follow up, kita ajak ke layanan untuk berobat. Kita cari ke rumah mereka," katanya.

Linggas Buiney, perempuan berusia 36 tahun yang dinyatakan positif HIV sejak 2010, mengaku sering "anggap remeh" minum obat secara teratur, hingga akhirnya dirinya terserang penyakit.

"Dari situ langsung tidak mau putus lagi, karena tanggung jawab masih ada jadi sudah, tidak berani untuk putus lagi," kata Linggas.

Baca juga: 1.244 Warga Depok Idap HIV/AIDS, Paling Banyak di Pancoran Mas

Ilustrasi HIV/AIDS, penularan HIV, pencegahan HIVShutterstock/alexkich Ilustrasi HIV/AIDS, penularan HIV, pencegahan HIV
Mantan Kepala Dinas Kesehatan Papua, Aloysius Giay, mengatakan banyak dari mereka yang terpapar HIV di Papua tak menyadari pentingnya minum obat ARV secara rutin.

Mengikuti aturan minum ARV secara teratur, kata Aloysius, merupakan bagian yang penting dalam memerangi penyakit yang menyerang sistem imun ini.

"Obat ARV ini kan diminum setiap hari, tapi mereka kira minum itu satu bulan-dua bulan lalu sembuh. Tahu-tahu tidak sembuh. Jadi mereka kadang-kadang, 'Ah ini petugas kesehatan dong tipu', macam begitu kepercayaannya, padahal semestinya minum obat terus kan," ujar pria yang pernah menjabat sebagai direktur RSUD Jayapura ini.

Baca juga: Hari AIDS Sedunia 2020: Mengenal ARV, Obat untuk Pengidap HIV/AIDS

Di sisi lain, kata Aloysius, banyaknya penderita HIV di Papua yang tak melanjutkan minum obat karena masih kuatnya resistensi masyarakat Papua tentang wabah tersebut.

Ia mencontohkan, karena keterbatasan pengetahuan, banyak orang Papua yang masih menjauhi anggota masyarakat yang ODHA karena dianggap bisa menularkan virus.

Selain itu, sejumlah orang menganggap HIV sebagai "genosida orang Papua".

"Ini membuat kadang-kadang minum obat ARV itu kurang [teratur], sehingga putus program dan banyak yang meninggal dunia," katanya.

Baca juga: Obat ARV untuk ODHA Langka, Menteri Kesehatan Diminta Turun Tangan

Hingga Maret 2021, tercatat ada 427.201 orang dengan HIV/AIDS di Papua, atau 77% dari jumlah estimasi ODHA hidup sebanyak 543.100 orang.

Dari jumlah itu, sebanyak 365.289 ODHA masih hidup, sementara 61.192 ODHA meninggal dunia, merujuk data Kementerian Kesehatan.

Dari total ODHA yang ada di Indonesia, sebanyak 68.508 orang putus obat atau lost to follow up.

Baca juga: Mengenal ARV, Obat yang Dapat Turunkan Kematian pada ODHA

Perempuan mendominasi kasus HIV

Ilustrasi HIV/AIDS, HIV dan AIDS, perbedaan HIV dan AIDSShutterstock/PENpics Studio Ilustrasi HIV/AIDS, HIV dan AIDS, perbedaan HIV dan AIDS
Studi yang dilakukan Kementerian Kesehatan pada 2016 menunjukkan bahwa di Papua rasio perempuan dan laki-laki terpapar HIV positif adalah 3:1.

Ini berarti sekitar 60% kasus yang dilaporkan di Papua adalah perempuan, sedangkan jumlah perempuan yang terpapar HIV positif secara nasional hanya 37%.

Siti Nurjaya Soltif, perawat RSUD Jayapura yang rumahnya sempat jadi rumah singgah tempat rawat orang dengan HIV/AIDS di Jayapura, menyebut kebanyakan perempuan Papua terinfeksi HIV dari aktivitas seksual tanpa pengaman.

Baca juga: Cerita Bidan Neni Mendadak Bantu Persalinan Ibu ODHA, Bayi yang Dilahirkan Negatif HIV

"Kalau kita lihat rata-rata penularannya adalah lewat hubungan seks. Perempuan mungkin banyak terdeteksi karena perempuan yang mau datang untuk memeriksakan diri," katanya.

Menurut Siti, para perempuan lebih mudah untuk datang ke layanan kesehatan dibanding laki-laki. Sementara resistensi dari kaum laki-laki untuk melakukan tes HIV masih kuat.

"Kalau laki-laki tidak semudah diajak seperti perempuan, dan juga kita lihat ada budaya perempuan tidak berani mengajak laki-laki," kata Siti.

"Kalau laki-laki yang positif dia akan mengajak perempuannya lebih mudah dibandingkan perempuan yang mengajak suaminya untuk tes."

Baca juga: Stok Kondom KPA Pangkalpinang Menipis, Padahal Dibutuhkan Penyintas HIV/AIDS

Aksi sosialisasi dan tes VCT jemput bola di destinasi wisata Plengsengan, Kampung Mandar, Kecamatan/Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, oleh KPA Banyuwangi, Rabu (1/12/2021). KOMPAS.COM/AHMAD SU'UDI K200-21 Ahmad Su'udi Aksi sosialisasi dan tes VCT jemput bola di destinasi wisata Plengsengan, Kampung Mandar, Kecamatan/Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, oleh KPA Banyuwangi, Rabu (1/12/2021). KOMPAS.COM/AHMAD SU'UDI
Di sisi lain, jika dilihat dari struktur anatomi organ tubuh, lanjut Siti, perempuan lebih riskan terinfeksi HIV dibanding laki-laki.

HIV tak hanya menghantui ibu rumah tangga saja, namun juga remaja perempuan usia produktif, menurut Siti Soltif.

"Banyak usia produktif. Remaja pun banyak. Karena kalau yang saya tangani ada yang masih SD sudah melakukan hubungan seksual, [juga] SMP."

Diakui oleh Resti Marina Waro (23) pergaulan bebas menjadi sebab dirinya dinyatakan HIV positif pada 2019.

Ia mengaku sangat sedih telah membuat orang tuanya kecewa. Padahal, kata Resti, mereka memiliki harapan tinggi agar ia menjadi seorang dokter.

Baca juga: Hari AIDS Sedunia: Sejarah AIDS dari Virus Simpanse hingga Menjadi Pandemi Dunia

"Saya buat mama sedih sekali dan itu saya rasa menyesal, makanya saya kawin, hidup tenang sudah," aku Resti.

"[Saya] tidak kembali ke masa lalu, karena buat mama sedih. Karena mama mau yang terbaik, mau saya kuliah kedokteran, tapi saya buat mama sedih dan itu bikin saya pu hati juga sedih. Saya tidak mau begitu, sekarang saya fokus berobat saja," ujarnya kemudian.

Merujuk survei terpadu biologis dan perilaku di Papua, "banyak sekali perempuan di Tanah Papua itu memulai aktivitas di usia yang sangat muda," kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi.

"Jadi ada yang mulai usia 15 tahun, 16 tahun. Bahkan ada yang begitu dia sudah menstruasi, dia sudah dikatakan siap, artinya sudah melakukan aktivitas seksual," papar Nadia yang juga menjabat sebagai Manajer Program AIDS Nasional Kementerian Kesehatan.

Baca juga: Hari AIDS Sedunia, Twitter Luncurkan Notifikasi Khusus HIV di Indonesia

Banyak sekali perempuan di Tanah Papua itu memulai aktivitas di usia yang sangat muda, kata Siti Nadia Tarmizi.AYOMI AMINDONI/BBC Indonesia Banyak sekali perempuan di Tanah Papua itu memulai aktivitas di usia yang sangat muda, kata Siti Nadia Tarmizi.
Aditya Wardhana dari Indonesia AIDS Coalition menambahkan, budaya yang tidak mengindahkan perilaku seksual yang aman menjadi penyebab mengapa kasus HIV banyak terjadi pada perempuan Papua.

"Laki-laki memiliki banyak pasangan itu menjadi biasa, sehingga kemudian kalau kita bicara reproductive number, dari satu laki-laki itu mungkin dia menyebarkan [HIV] ke beberapa orang sekaligus, karena itu tadi budaya di sana yang kemudian memungkinkan terjadinya hal tersebut," kata Aditya.

Menurut Aditya, inilah yang kemudian membedakan epidemi HIV di Papua dengan daerah lain di Indonesia

Baca juga: 1.244 Warga Depok Idap HIV/AIDS, Paling Banyak di Pancoran Mas

Di luar Papua, epidemi HIV terkonsentrasi pada kelompok risiko tinggi, seperti pekerja seks, orang yang memakai narkoba suntik dan hubungan sesama jenis.

Sementara di Papua dan Papua Barat, transmisi HIV terjadi pada populasi perempuan risiko rendah, yang terinfeksi HIV dari pasangannya.

"Jadi sudah layer berikutnya dari kelompok risiko tinggi, dan anak.

"Kami yakin bahwa angka kasus yang ditemukan di Papua itu sebetulnya lebih besar dari yang dilaporkan karena memang harus kita akui persoalan infrastruktur menjadi krusial untuk wilayah seperti Papua," kata Aditya.

Baca juga: Hari AIDS Sedunia 2021: Fakta tentang HIV, Penularan, dan Risikonya

Sekitar 60% kasus HIV yang dilaporkan di Papua adalah perempuan, sedangkan jumlah perempuan yang terpapar HIV positif secara nasional hanya 37%.GETTY IMAGES Sekitar 60% kasus HIV yang dilaporkan di Papua adalah perempuan, sedangkan jumlah perempuan yang terpapar HIV positif secara nasional hanya 37%.
Lebih jauh, Aditya menjelaskan bahwa sebelum pandemi, situasi HIV/AIDS di Indonesia "cukup mengkhawatirkan".

Sebab, dibandingkan negara-negara Asia Pasifik lain, tren penularan HIV dan AIDS terus menanjak, sementara banyak negara lain sudah berhasil mengendalikan.

Kendala infrastruktur, kondisi geografis dan banyaknya perilaku berisiko, kata Aditya, membuat penanganan HIV/AIDS di Papua - apalagi di masa pandemi Covid - semakin menantang.

Ia mencontohkan, Kamboja telah berhasil meningkatkan akses pengetesan dan pengobatan dan menurunkan kasus baru. Sementara negara tetangga Malaysia, telah berhasil meniadakan penularan HIV dan ibu ke anak.

Baca juga: Kisah Jabat Tangan Putri Diana yang Sukses Hapus Stigma Pengidap AIDS

Adapun di Indonesia, lanjut Aditya, kasus HIV cenderung naik.

"Itu situasi sebelum pandemi. Nah, ditambah situasi pandemi, semua teralihkan akhirnya. Baik mulai dari perhatian program, perhatian kebijakan, maupun perhatian anggaran, itu semua ter-distract untuk Covid," kata Aditya.

Itu sebabnya, menurut direktur eksekutif Indonesia AIDS Coalition ini, situasi HIV/AIDS di Indonesia di masa pandemi "jauh lebih mengkhawatirkan".

"Bisa dibilang kalau ini tidak dilakukan koreksi oleh pemerintah, otomatis implikasinya akan cukup besar," tuturnya.

Baca juga: 1 Desember 1988: Penetapan Hari AIDS Sedunia oleh WHO

Merujuk data Kementerian Kesehatan, jumlah kasus HIV yang dilaporkan dari tahun 2005 sampai dengan Maret 2021 cenderung meningkat setiap tahun. Jumlah kumulatif kasus HIV yang dilaporkan sampai Maret 2021 sebanyak 427.201.

Sama seperti kasus HIV, jumlah kasus AIDS yang dilaporkan dari tahun 2005 sampai dengan Maret 2021 cenderung meningkat setiap tahun.

Jumlah kumulatif AIDS dari tahun 1987 sampai dengan Maret 2021 sebanyak 131.147 orang

Baca juga: Hari AIDS Sedunia 1 Desember 2021: Sejarah, Peringatan, Tema, dan Link Twibbon

Penanganan HIV 'terbengkalai'

Siti Soltif (kiri) menyebut kelangkaan reagen menjadi dilema bagi pengetesan HIV di PapuaALFONSO DIMARA via BBC Indonesia Siti Soltif (kiri) menyebut kelangkaan reagen menjadi dilema bagi pengetesan HIV di Papua
Bruder Agustinus Adil, yang mengabdi di Rumah Sakit Dian Harapan mengungkap setiap bulan ada sekitar 15-20 pasien baru HIV yang dirawat di rumah sakit tersebut.

Ia menjelaskan sebelum menjalani perawatan medis, mereka yang dinyatakan positif HIV juga harus menjalani tes Covid terlebih dulu.

"Kalau upamanya dia positif Covid, langsung diisolasi Covid. Tetapi kalau pasien negatif Covid berarti langsung masuk ke ruang perawatan," ujar pria yang juga menjadi pengurus Rumah Surya Kasih, rumah singgah bagi ODHA di Waena, Jayapura ini.

Sebelum pandemi, kata Agus, banyak orang dengan HIV/AIDS yang tinggal di pedalaman dan kesulitan mendapatkan akses obat dan perawatan medis, memutuskan tinggal di rumah singgah.

Baca juga: Apakah Kondom Dobel Lebih Efektif Cegah Penularan HIV/AIDS?

Namun, pandemi Covid-19 selama dua tahun terakhir telah membuat mereka memilih tinggal di rumah mereka. Akibatnya, penanganan HIV/AIDS ia sebut "terbengkalai".

"Dengan adanya Covid mereka tidak berani turun ke Jayapura, sehingga di sana gitu kondisinya, sakit dan keburu meninggal."

Ia menambahkan, selama tiga bulan terakhir sejak Agustus, pemeriksaan HIV terkendala sebab reagen (bahan kimia aktif) yang digunakan untuk pemeriksaan HIV tak tersedia.

"Dengan kasus yang begitu banyak, setiap bulan kita tidak bisa melakukan tindak lanjutnya. Tiga bulan ini ya, Agustus-Oktober. Ada 15 orang yang belum ditangani sampai sekarang," ungkap Agus.

Baca juga: Susah Payah Transpuan Terhimpit di Pusaran HIV/AIDS dan Covid-19

Ilustrasi HIV/AIDS, gejala HIV, gejala HIV pada pria, gejala HIV pada wanitaShutterstock/mikeforemniakowski Ilustrasi HIV/AIDS, gejala HIV, gejala HIV pada pria, gejala HIV pada wanita
Seperti diketahui, pemeriksaan HIV dilakukan dengan menggunakan tiga reagen yang berbeda. Hal ini dilakukan untuk tujuan diagnosis dan meminimalisir kesalahan hasil.

Seseorang dinyatakan positif HIV apabila terdapat hasil dua dari tiga reagen reaktif atau seluruh reagen reaktif. Jika hasil satu reagen reaktif dan dua lainnya non-reaktif, maka perlu pengulangan pemeriksaan.

"[Di] Papua, satu rumah sakit saja ada 15 kasus [baru]. Ini baru satu rumah sakit, belum rumah sakit yang lain. Yang riskan juga ibu hamil, ibu hamil kita tidak melakukan terapi hanya dengan sekali tes karena persyaratan harus tiga reagen."

"Akhirnya penanganan untuk selanjutnya terbengkalai," tegas Agus.

Baca juga: Pengidap HIV/AIDS Merasa Bugar, Dokter: Jangan Putus Obat

Kelangkaan reagen ini diakui oleh Siti Nurjaya Soltif, perawat yang menangani pasien HIV/AIDS di RSUD Jayapura.

"Reagen ini selama satu tahun terakhir kosong, baik di puskesmas maupun di rumah sakit, sebenarnya ini di seluruh Indonesia," ujar Siti.

"Kalau pun ada, kami suruh pasien pergi ke klinik swasta dan itu bayarnya mahal, Rp300 ribu. Jadi yang mampu saja yang bisa. Jadi ini juga dilema, jadi akhirnya pasien tidak bisa didiagnosis," aku Siti.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, mengakui bahwa sejak pandemi - bukan hanya program HIV, tapi hampir semua program-program esensial, termasuk tuberculosis, imunisasi, dan malaria - "sedikit terganggu".

"Di sisi lain, masyarakat juga agak sedikit takut untuk datang ke layanan fasilitas kesehatan, karena takut tertular Covid dan isu-isu lain, bahwa nanti malah terpapar dan sebagainya. Jadi ini memang tantangan-tantangan yang kita hadapi," kata Nadia.

Baca juga: 4 Perbedaan HIV dan AIDS yang Perlu Diketahui

Strategi pelayanan di tengah pandemi

Selama tiga bulan terakhir sejak Agustus, pemeriksaan HIV terkendala sebab reagen (bahan kimia aktif) yang digunakan untuk pemeriksaan HIV tak tersedia.ULET IFANSASTI/GETTY IMAGES Selama tiga bulan terakhir sejak Agustus, pemeriksaan HIV terkendala sebab reagen (bahan kimia aktif) yang digunakan untuk pemeriksaan HIV tak tersedia.
Betapapun, Nadia menegaskan bahwa pemerintah telah menempuh beberapa langkah untuk menyiasati penanganan HIV/AIDS selama pandemi.

Salah satunya, untuk menekan intensitas ODHA ke layanan fasilitas kesehatan, pemberian obat ARV dengan jangka waktu lebih lama dari sebelum pandemi.

Jika biasanya obat diberikan dua minggu hingga sebulan sekali, selama pandemi obat ARV diberikan tiap tiga bulan.

"Dan ini masih sampai saat ini walaupun kondisi Covid-19 kita terus membaik," katanya.

Bagi mereka yang khawatir untuk mendatangi fasilitas kesehatan untuk mengakses obat, Nadia mengatakan, petugas di layanan kesehatan akan mengirim obat tersebut.

Baca juga: 8 Tahun Didiagnosis dengan HIV, Seorang Wanita Mampu “Sembuh” dari Virus Secara Alami

"Atau alternatif kedua, kalau dia punya dampingan, artinya punya teman-teman kelompok dukungan sebaya, melalui kelompok dukungan sebaya inilah dititipkan obatnya untuk dipastikan juga bahwa mereka betul-betul minum obat," ujar Nadia.

Adapun, bagi ODHA yang akan melakukan pemeriksaan lanjutan - seperti pemeriksaan CD4 (tes darah untuk menentukan seberapa baik kondisi sistem imun orang dengan HIV) atau viral load (tes untuk mengukur jumlah virus HIV dalam darah) - mereka bisa tetap menjalani pemeriksaan sebagaimana mestinya di fasilitas kesehatan, dengan protokol kesehatan yang ketat.

Strategi pelayanan semacam itu, juga diterapkan di RSUD Jayapura, ujar Siti Soltif, perawat di rumah sakit tersebut.

Baca juga: 11 Tahun Hidup dengan HIV/AIDS, Emu Dirikan Rumah Singgah untuk ODHA, Ini Ceritanya

"Jadi obat saya kasih umpamanya biasanya satu bulan, kita kasih jadi dua bulan. Kalau dia sangat sehat sekali dan rumahnya jauh, kita kasih tiga bulan." katanya.

"Tapi kalau yang ada keluhan, ya seperti biasa, ada yang satu minggu, dua minggu, tergantung kebutuhan. Yang pasti dengan adanya pandemi ini, pelayanan kami tetap jalan."

Aditya Wardhana dari Indonesia AIDS Coalition mengatakan pemberian obat multi-bulan, atau dikenal dengan istilah WHO multimonth dispensing, adalah "sebuah pendekatan yang sangat baik".

Ia mengatakan, metode ini sudah dijalankan di luar negeri sebelum Covid, dengan tujuan agar pasien-pasien yang dinilai sudah stabil, artinya mereka sudah tidak lagi banyak membutuhkan monitor dari dokter setiap bulan, itu bisa diberikan obat setiap tiga bulan sampai enam bulan sekali.

Baca juga: Kisah Pria di NTT Divonis Sisa Hidup Hanya 3 Hari akibat HIV/AIDS

"Tujuannya supaya jelas itu memangkas biaya, memangkas waktu. Juga kita tahu bahwa masih tinggi stigma dan diskriminasi di lapangan, kalau dia semakin jarang ke layanan kan semakin baik. Jadi sebenarnya ini strategi yang disarankan WHO," kata Aditya.

Belum ada 'greget' tangani HIV/AIDS di Papua

Ibu hamil dan bayi diperiksa di RS pada 3 Oktober 2009 di Merauke, PapuaULET IFANSASTI/GETTY IMAGES Ibu hamil dan bayi diperiksa di RS pada 3 Oktober 2009 di Merauke, Papua
Kesehatan adalah salah satu dari empat bidang prioritas dalam UU Otonomi Khusus (Otsus) Papua, selain pendidikan, ekonomi kerakyatan dan infrastruktur.

Sejak 2002 hingga 2020, Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat telah menerima dana Otsus hingga Rp126,99 triliun yang meningkat dari Rp1,38 triliun pada tahun 2002 menjadi Rp13,05 triliun pada 2020 kemarin.

Dana Otsus itu, diperpanjang hingga 20 tahun ke depan dengan estimasi total Rp234,6 triliun atau hampir dua kali lipat lebih besar dibandingkan sebelumnya.

Alokasi anggaran kesehatan yang sebelumnya dialokasikan sekurang-kurangnya 15% dalam Undang-Undang Otsus Papua, kini direvisi menjadi 20% dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otsus Papua jilid II.

Baca juga: Orang dengan HIV/AIDS hingga Transpuan Antusias Ikut Vaksinasi di Kota Serang

Akan tetapi, menurut mantan kepala dinas kesehatan Papua, Aloysius Giay, dalam implementasi Otsus Papua jilid I, "hanya beberapa kabupaten yang bisa mencapai minimal 15%.

"Di kabupaten tertentu, anggaran di bidang kesehatan kadang-kadang 10%, 8%. Yang mencapai 15% ke atas itu sedikit.

"Pada kabupaten tertentu, saya tidak melihat program prioritas menjawab masalah masyarakat, apalagi yang menghilangkan nyawa masyarakat seperti HIV/AIDS, malaria, atau kurang gizi."

"Saya lihat belum greget untuk menangani ini tuntas secara luar biasa," ungkap Aloysius.

Lantas, bagaimana anggaran kesehatan itu terimplementasi dalam penanganan HIV/AIDS di Papua?

Baca juga: Selama Pandemi, Layanan HIV/AIDS di Jabar Dilakukan Terbatas

Siswa dididik tentang HIV/AIDS di sebuah sekolah pada tanggal 3 Oktober 2009 di Merauke, Papua.ULET IFANSASTI/GETTY IMAGES Siswa dididik tentang HIV/AIDS di sebuah sekolah pada tanggal 3 Oktober 2009 di Merauke, Papua.
Aloysius mengungkapkan bahwa dana Otsus untuk instansi dinas kesehatan dan rumah sakit terbilang sedikit. Sebab, dana tersebut lebih banyak untuk Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) di daerah.

"Sehingga ya paling di dinas kesehatan itu dulu kita sifatnya hanya bimkes, evaluasi. Hanya itu, tidak ada langsung tindakan ke masyarakat."

Adapun, pada akhir Oktober silam, Ketua Harian Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Papua, Yanuel Matuan ditahan setelah ditetapkan sebagai tersangka dugaan kasus korupsi dana hibah AIDS Papua tahun 2019 oleh Kejaksaan Tinggi Papua.

Kasus korupsi yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 7 miliar itu diduga dilakukan dengan modus pembelian obat oleh Ketua KPA Papua pada tahun 2019.

Baca juga: Pasien Pertama AIDS Diklaim Tentara Perang Dunia I yang Kelaparan

Akan tetapi, obat tersebut memiliki izin edar dan tanpa melalui proses lelang.

Siti Soltif menganggap KPA Papua "mati suri" selama beberapa tahun terakhir. Sebab, dana yang semestinya digunakan untuk penanggulangan HIV/AIDS, justru disalahgunakan untuk membeli obat yang efektivitasnya dipertanyakan.

"Dana yang dikucurkan ke KPA untuk kepentingan penanggulangan, disalahgunakan untuk membeli obat MLM Purtier Placenta. Jadi pasien dikejar untuk minum Purtier Placenta, padahal kita sudah punya ARV," terang Siti.

Jika sebelumnya KPA memfasilitasi sejumlah program dan pelatihan untuk ODHA, lanjut Siti, kini program-program tersebut tak ada lagi.

Baca juga: Bayang-bayang AIDS di Papua Saat Pandemi Corona...

Ilustrasi HIV/AIDSthinkstock/vchal Ilustrasi HIV/AIDS
"Dana itu digunakan oleh segelintir orang di KPA untuk kepentingan mereka," kata Siti.

Sementara itu, Siti Nadia Tarmizi dari Kementerian Kesehatan mengatakan, pemerintah pusat hanya bisa memberikan petunjuk, dan mensinkronkan program di pemerintah pusat dengan program prioritas di daerah, baik di provinsi dan kabupaten kota.

"Saya rasa pemerintah daerah, baik provinsi dan kabupaten kota, sudah sangat paham bahwa HIV/AIDS itu adalah masalah yang memang harus menjadi prioritas di Tanah Papua karena melihat angka kejadian baik kasus HIV, juga kasus AIDS. Kasus AIDS terjadi karena kita sering terlambat," katanya.

Nadia melanjutkan bahwa pemerintah pusat telah mewajibkan kabupaten dan kota melakukan testing secara rutin kepada masyarakat di seluruh wilayah kabupaten kota.

Baca juga: Kisah Rizti, 9 Tahun Dampingi Suami Pengidap HIV/AIDS, hingga Bangun Komunitas Pita Merah

"Ini harapannya kalau kita bisa melakukan testing dengan dini, kita bisa segera mendapatkan kasus orang dengan HIV/AIDS lebih dini," katanya.

Akan tetapi, Agustinus Adil, yang telah lama berkecimpung dalam penanganan HIV/AIDS di Papua, mengatakan kendati alokasi dana untuk kesehatan tersedia, namun seringkali tak dibarengi dengan ketersediaan alat kesehatan, seperti keterbatasan ketersediaan reagen untuk pengetesan HIV yang terjadi beberapa bulan terakhir.

"Yang penting ada reagen. Daripada penanganan sudah baik tiba-tiba terkendala dengan [tidak ada reagen] itu artinya tidak mencapai sasaran."

Tulisan ini merupakan bagian dari liputan khusus Otonomi Khusus Papua di situs BBC News Indonesia.

Laporan tambahan untuk tulisan ini oleh wartawan Alfonso Dimaradi Jayapura.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

[POPULER REGIONAL] Polemik Jam Operasional Warung Madura | Cerita di Balik Doa Ibu Pratama Arhan

[POPULER REGIONAL] Polemik Jam Operasional Warung Madura | Cerita di Balik Doa Ibu Pratama Arhan

Regional
Sebelum Lawan Korsel, Arhan Pratama Sempat 'Video Call' Ibunda

Sebelum Lawan Korsel, Arhan Pratama Sempat "Video Call" Ibunda

Regional
Akhir Pelarian Renternir yang Balik Nama Sertifikat Tanah Peminjamnya untuk Agunan Bank

Akhir Pelarian Renternir yang Balik Nama Sertifikat Tanah Peminjamnya untuk Agunan Bank

Regional
Korsleting Genset, Kapal Nelayan di Bangka Terbakar dan Karam, 5 ABK Lompat ke Laut

Korsleting Genset, Kapal Nelayan di Bangka Terbakar dan Karam, 5 ABK Lompat ke Laut

Regional
Kenal di Facebook, Bocah SMP Dibawa Kabur Seorang Pemuda, Berkali-kali Dilecehkan dan Diajak Ngamen

Kenal di Facebook, Bocah SMP Dibawa Kabur Seorang Pemuda, Berkali-kali Dilecehkan dan Diajak Ngamen

Regional
Gali Tanah untuk Bangun Rumah, Seorang Pekerja Temukan Mortir

Gali Tanah untuk Bangun Rumah, Seorang Pekerja Temukan Mortir

Regional
Serunya Nonton Indonesia Vs Korsel di Pasar Pagi, Pedagang Fokus ke Jualan dan Sepak Bola

Serunya Nonton Indonesia Vs Korsel di Pasar Pagi, Pedagang Fokus ke Jualan dan Sepak Bola

Regional
Kecewa Tuntutan Turunkan UKT Belum Terpenuhi, Mahasiswa Unsoed Lepas Jaket Almamater

Kecewa Tuntutan Turunkan UKT Belum Terpenuhi, Mahasiswa Unsoed Lepas Jaket Almamater

Regional
Polda Aceh Tangkap 2 Pembawa Gading Gajah di Pidie

Polda Aceh Tangkap 2 Pembawa Gading Gajah di Pidie

Regional
Ketahuan Curi Motor, Seorang Residivis Ditelanjangi dan Ditandu Warga Saat Sembunyi di Sungai

Ketahuan Curi Motor, Seorang Residivis Ditelanjangi dan Ditandu Warga Saat Sembunyi di Sungai

Regional
Pemburu Badak Jawa di TNUK, Jual Cula Seharga Rp 525 Juta

Pemburu Badak Jawa di TNUK, Jual Cula Seharga Rp 525 Juta

Regional
Aksi Bejat 3 Pria Paksa Siswi SMP Hubungan Badan dengan Pacar dan Ikut Perkosa Korban

Aksi Bejat 3 Pria Paksa Siswi SMP Hubungan Badan dengan Pacar dan Ikut Perkosa Korban

Regional
Bunuh 6 Badak Jawa di TNUK, Polda Banten Tangkap 1 Pemburu, 5 Buron

Bunuh 6 Badak Jawa di TNUK, Polda Banten Tangkap 1 Pemburu, 5 Buron

Regional
10 Kuliner Salatiga yang Legendaris, Ada Enting-enting Gepuk

10 Kuliner Salatiga yang Legendaris, Ada Enting-enting Gepuk

Regional
Curi Sepeda Motor Petani, 2 Pria di Sumba Timur Ditangkap Polisi

Curi Sepeda Motor Petani, 2 Pria di Sumba Timur Ditangkap Polisi

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com