Salin Artikel

Cerita Para Perempuan Positif HIV di Papua, Masih Ingin Hidup dan Melihat Anak Beranjak Dewasa

Tes HIV yang ia lakukan enam tahun silam membuka kenyataan pahit yang membuatnya tak dapat lepas dari obat anti-retroviral virus atau ARV sepanjang sisa hidupnya.

Sempat gamang dan putus asa dengan virus yang berkelindan di tubuhnya, ia kini menjadi motivator bagi sesama pengidap HIV di Papua untuk terus berjuang melawan virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh itu.

"Saya mau mendorong mereka untuk ke layanan kesehatan maupun untuk berobat, agar mereka tetap sehat walaupun terinfeksi," aku Konstance ketika berbicara dengan BBC News Indonesia pada pertengahan September silam.

"Walaupun dikatakan kita orang yang hidup dengan HIV, tetapi tetap sehat seperti yang lain," lanjutnya.

HIV/AIDS sudah lama menjadi isu kesehatan utama di Papua, bahkan menjadi ancaman mematikan.

Sayangnya, dua tahun belakangan, isu itu tertimbun oleh pandemi Covid-19 dan konflik tak berkesudahan antara militer Indonesia dan kelompok pro-kemerdekaan Papua.

Tahun lalu, kasus AIDS di Papua ada di urutan teratas nasional dengan 23.629 kasus. Sementara kasus HIV di Papua ada di posisi keempat dengan 37.662 kasus.

Laporan UNAIDS terbaru menunjukkan bagaimana pandemi Covid dan pembatasan yang menyertainya telah mengganggu pengetesan HIV— di banyak negara hal ini telah menyebabkan penurunan tajam dalam diagnosis HIV, rujukan ke layanan perawatan, dan inisiasi pengobatan HIV.

Oleh kakaknya, Konstance segera diboyong ke rumah sakit. Setelah diperiksa di poli paru-paru, dokter memvonisnya mengidap tuberkulosis.

Tak hanya sampai di situ, dokter kemudian mengarahkannya ke layanan konseling dan tes HIV secara sukarela, atau voluntary counseling and testing (VCT).

"Dari situ saya dikatakan positif [HIV]."

"Pokoknya sedih sekali. Saya menangis, sampai tidak mau makan. Sudah putus asa, tidak mau hidup," ujar Konstance, mengungkap apa yang ia rasakan ketika pertama kali mendapati dirinya positif HIV.

Kendati HIV mewabah di Papua, Konstance tak menyangka dirinya bakal terpapar virus itu. Sebab, sepanjang hidup, ia menjalani perilaku seks aman dan tidak berganti-ganti pasangan.

Ia tak tahu menahu dari mana ia terpapar virus itu. Yang ia tahu, selama ini ia hanya melakukan hubungan seksual dengan suaminya semata.

"Tapi pas dikatakan positif, saya berpikir mungkin suami saya tidak setia sama saya, mungkin ada yang lebih dari saya, makanya dia bergaul dengan perempuan yang sakit [HIV] sehingga saya mengalami sakit yang sama," tuturnya.

"Dia tidak percaya. Dia bilang, 'Ah itu salah,' karena memang sampai saat ini dia belum sakit."

Tak lama setelah dinyatakan positif HIV, ia berpisah dengan suaminya. Virus itu merenggut nyawa salah satu anaknya yang kala itu masih bayi.

Ia kini hidup bersama dengan putra semata wayangnya, Alvaro. Berbeda dengan Konstance, putranya dinyatakan negatif HIV.

Ketika dirinya dinyatakan positif HIV, Konstance mengaku "putus asa" dan "tidak mau hidup". Namun sang anak memberinya secercah harapan dan menjadi motivasinya untuk tetap kuat.

"Saya selalu berdoa, 'Tuhan, kuatkan saya karena saya masih mau sama-sama dengan saya pu anak'".

"Walaupun saya sudah tidak sama-sama dengan saya pu suami, sudah ditinggalkan, tapi masih ada satu anak yang saya harus urus," aku Konstance.

Sama seperti orang dengan HIV/AIDS yang lain, stigma dan perlakuan diskriminatif pernah dialami oleh Konstance.

"Macam pas ibadah itu, biasa duduk dengan saya, waktu itu langsung tiba-tiba dong berdiri. Tapi kadang saya rasa trapapa, biasa saja."

"Terus saya cuma bilang, sampai air mata keluar tapi saya tahan, 'Ya Tuhan, saya hanya datang untuk beribadah,' Lagi pula gereja kan bukan dia pu gereja. Kalau dia mau pindah, pindah saja."

"Kalau menurut saya itu tidak perlu, karena sa pikir HIV ada obatnya karena saya datang berobat terus. Ternyata minum obat ARV tidak apa-apa, sehat saja," katanya.

Hingga akhirnya pada 2018, ia bergabung dalam Kelompok Dukungan Sebaya, wadah bagi penderita HIV untuk saling berbagi dan menguatkan satu sama lain.

Sebagai Penjangkau Sebaya, Konstance membantu sesamanya untuk mengakses obat ARV yang begitu penting dalam memperlambat proses replikasi virus HIV yang sangat mudah bermutasi dan menyerang sistem kekebalan tubuh.

"Biasa kalau macam teman-teman tidak datang untuk ambil obat, kalau kita lihat mereka tidak datang, kita cari ke rumah mereka untuk datang ambil obat."

"Kita cari macam teman-teman yang putus obat, yang harus di-follow up, kita ajak ke layanan untuk berobat. Kita cari ke rumah mereka," katanya.

Linggas Buiney, perempuan berusia 36 tahun yang dinyatakan positif HIV sejak 2010, mengaku sering "anggap remeh" minum obat secara teratur, hingga akhirnya dirinya terserang penyakit.

"Dari situ langsung tidak mau putus lagi, karena tanggung jawab masih ada jadi sudah, tidak berani untuk putus lagi," kata Linggas.

Mengikuti aturan minum ARV secara teratur, kata Aloysius, merupakan bagian yang penting dalam memerangi penyakit yang menyerang sistem imun ini.

"Obat ARV ini kan diminum setiap hari, tapi mereka kira minum itu satu bulan-dua bulan lalu sembuh. Tahu-tahu tidak sembuh. Jadi mereka kadang-kadang, 'Ah ini petugas kesehatan dong tipu', macam begitu kepercayaannya, padahal semestinya minum obat terus kan," ujar pria yang pernah menjabat sebagai direktur RSUD Jayapura ini.

Di sisi lain, kata Aloysius, banyaknya penderita HIV di Papua yang tak melanjutkan minum obat karena masih kuatnya resistensi masyarakat Papua tentang wabah tersebut.

Ia mencontohkan, karena keterbatasan pengetahuan, banyak orang Papua yang masih menjauhi anggota masyarakat yang ODHA karena dianggap bisa menularkan virus.

Selain itu, sejumlah orang menganggap HIV sebagai "genosida orang Papua".

"Ini membuat kadang-kadang minum obat ARV itu kurang [teratur], sehingga putus program dan banyak yang meninggal dunia," katanya.

Hingga Maret 2021, tercatat ada 427.201 orang dengan HIV/AIDS di Papua, atau 77% dari jumlah estimasi ODHA hidup sebanyak 543.100 orang.

Dari jumlah itu, sebanyak 365.289 ODHA masih hidup, sementara 61.192 ODHA meninggal dunia, merujuk data Kementerian Kesehatan.

Dari total ODHA yang ada di Indonesia, sebanyak 68.508 orang putus obat atau lost to follow up.

Ini berarti sekitar 60% kasus yang dilaporkan di Papua adalah perempuan, sedangkan jumlah perempuan yang terpapar HIV positif secara nasional hanya 37%.

Siti Nurjaya Soltif, perawat RSUD Jayapura yang rumahnya sempat jadi rumah singgah tempat rawat orang dengan HIV/AIDS di Jayapura, menyebut kebanyakan perempuan Papua terinfeksi HIV dari aktivitas seksual tanpa pengaman.

"Kalau kita lihat rata-rata penularannya adalah lewat hubungan seks. Perempuan mungkin banyak terdeteksi karena perempuan yang mau datang untuk memeriksakan diri," katanya.

Menurut Siti, para perempuan lebih mudah untuk datang ke layanan kesehatan dibanding laki-laki. Sementara resistensi dari kaum laki-laki untuk melakukan tes HIV masih kuat.

"Kalau laki-laki tidak semudah diajak seperti perempuan, dan juga kita lihat ada budaya perempuan tidak berani mengajak laki-laki," kata Siti.

"Kalau laki-laki yang positif dia akan mengajak perempuannya lebih mudah dibandingkan perempuan yang mengajak suaminya untuk tes."

HIV tak hanya menghantui ibu rumah tangga saja, namun juga remaja perempuan usia produktif, menurut Siti Soltif.

"Banyak usia produktif. Remaja pun banyak. Karena kalau yang saya tangani ada yang masih SD sudah melakukan hubungan seksual, [juga] SMP."

Diakui oleh Resti Marina Waro (23) pergaulan bebas menjadi sebab dirinya dinyatakan HIV positif pada 2019.

Ia mengaku sangat sedih telah membuat orang tuanya kecewa. Padahal, kata Resti, mereka memiliki harapan tinggi agar ia menjadi seorang dokter.

"Saya buat mama sedih sekali dan itu saya rasa menyesal, makanya saya kawin, hidup tenang sudah," aku Resti.

"[Saya] tidak kembali ke masa lalu, karena buat mama sedih. Karena mama mau yang terbaik, mau saya kuliah kedokteran, tapi saya buat mama sedih dan itu bikin saya pu hati juga sedih. Saya tidak mau begitu, sekarang saya fokus berobat saja," ujarnya kemudian.

Merujuk survei terpadu biologis dan perilaku di Papua, "banyak sekali perempuan di Tanah Papua itu memulai aktivitas di usia yang sangat muda," kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi.

"Jadi ada yang mulai usia 15 tahun, 16 tahun. Bahkan ada yang begitu dia sudah menstruasi, dia sudah dikatakan siap, artinya sudah melakukan aktivitas seksual," papar Nadia yang juga menjabat sebagai Manajer Program AIDS Nasional Kementerian Kesehatan.

"Laki-laki memiliki banyak pasangan itu menjadi biasa, sehingga kemudian kalau kita bicara reproductive number, dari satu laki-laki itu mungkin dia menyebarkan [HIV] ke beberapa orang sekaligus, karena itu tadi budaya di sana yang kemudian memungkinkan terjadinya hal tersebut," kata Aditya.

Menurut Aditya, inilah yang kemudian membedakan epidemi HIV di Papua dengan daerah lain di Indonesia

Di luar Papua, epidemi HIV terkonsentrasi pada kelompok risiko tinggi, seperti pekerja seks, orang yang memakai narkoba suntik dan hubungan sesama jenis.

Sementara di Papua dan Papua Barat, transmisi HIV terjadi pada populasi perempuan risiko rendah, yang terinfeksi HIV dari pasangannya.

"Jadi sudah layer berikutnya dari kelompok risiko tinggi, dan anak.

"Kami yakin bahwa angka kasus yang ditemukan di Papua itu sebetulnya lebih besar dari yang dilaporkan karena memang harus kita akui persoalan infrastruktur menjadi krusial untuk wilayah seperti Papua," kata Aditya.

Sebab, dibandingkan negara-negara Asia Pasifik lain, tren penularan HIV dan AIDS terus menanjak, sementara banyak negara lain sudah berhasil mengendalikan.

Kendala infrastruktur, kondisi geografis dan banyaknya perilaku berisiko, kata Aditya, membuat penanganan HIV/AIDS di Papua - apalagi di masa pandemi Covid - semakin menantang.

Ia mencontohkan, Kamboja telah berhasil meningkatkan akses pengetesan dan pengobatan dan menurunkan kasus baru. Sementara negara tetangga Malaysia, telah berhasil meniadakan penularan HIV dan ibu ke anak.

Adapun di Indonesia, lanjut Aditya, kasus HIV cenderung naik.

"Itu situasi sebelum pandemi. Nah, ditambah situasi pandemi, semua teralihkan akhirnya. Baik mulai dari perhatian program, perhatian kebijakan, maupun perhatian anggaran, itu semua ter-distract untuk Covid," kata Aditya.

Itu sebabnya, menurut direktur eksekutif Indonesia AIDS Coalition ini, situasi HIV/AIDS di Indonesia di masa pandemi "jauh lebih mengkhawatirkan".

"Bisa dibilang kalau ini tidak dilakukan koreksi oleh pemerintah, otomatis implikasinya akan cukup besar," tuturnya.

Merujuk data Kementerian Kesehatan, jumlah kasus HIV yang dilaporkan dari tahun 2005 sampai dengan Maret 2021 cenderung meningkat setiap tahun. Jumlah kumulatif kasus HIV yang dilaporkan sampai Maret 2021 sebanyak 427.201.

Sama seperti kasus HIV, jumlah kasus AIDS yang dilaporkan dari tahun 2005 sampai dengan Maret 2021 cenderung meningkat setiap tahun.

Jumlah kumulatif AIDS dari tahun 1987 sampai dengan Maret 2021 sebanyak 131.147 orang

Ia menjelaskan sebelum menjalani perawatan medis, mereka yang dinyatakan positif HIV juga harus menjalani tes Covid terlebih dulu.

"Kalau upamanya dia positif Covid, langsung diisolasi Covid. Tetapi kalau pasien negatif Covid berarti langsung masuk ke ruang perawatan," ujar pria yang juga menjadi pengurus Rumah Surya Kasih, rumah singgah bagi ODHA di Waena, Jayapura ini.

Sebelum pandemi, kata Agus, banyak orang dengan HIV/AIDS yang tinggal di pedalaman dan kesulitan mendapatkan akses obat dan perawatan medis, memutuskan tinggal di rumah singgah.

Namun, pandemi Covid-19 selama dua tahun terakhir telah membuat mereka memilih tinggal di rumah mereka. Akibatnya, penanganan HIV/AIDS ia sebut "terbengkalai".

"Dengan adanya Covid mereka tidak berani turun ke Jayapura, sehingga di sana gitu kondisinya, sakit dan keburu meninggal."

Ia menambahkan, selama tiga bulan terakhir sejak Agustus, pemeriksaan HIV terkendala sebab reagen (bahan kimia aktif) yang digunakan untuk pemeriksaan HIV tak tersedia.

"Dengan kasus yang begitu banyak, setiap bulan kita tidak bisa melakukan tindak lanjutnya. Tiga bulan ini ya, Agustus-Oktober. Ada 15 orang yang belum ditangani sampai sekarang," ungkap Agus.

Seseorang dinyatakan positif HIV apabila terdapat hasil dua dari tiga reagen reaktif atau seluruh reagen reaktif. Jika hasil satu reagen reaktif dan dua lainnya non-reaktif, maka perlu pengulangan pemeriksaan.

"[Di] Papua, satu rumah sakit saja ada 15 kasus [baru]. Ini baru satu rumah sakit, belum rumah sakit yang lain. Yang riskan juga ibu hamil, ibu hamil kita tidak melakukan terapi hanya dengan sekali tes karena persyaratan harus tiga reagen."

"Akhirnya penanganan untuk selanjutnya terbengkalai," tegas Agus.

Kelangkaan reagen ini diakui oleh Siti Nurjaya Soltif, perawat yang menangani pasien HIV/AIDS di RSUD Jayapura.

"Reagen ini selama satu tahun terakhir kosong, baik di puskesmas maupun di rumah sakit, sebenarnya ini di seluruh Indonesia," ujar Siti.

"Kalau pun ada, kami suruh pasien pergi ke klinik swasta dan itu bayarnya mahal, Rp300 ribu. Jadi yang mampu saja yang bisa. Jadi ini juga dilema, jadi akhirnya pasien tidak bisa didiagnosis," aku Siti.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, mengakui bahwa sejak pandemi - bukan hanya program HIV, tapi hampir semua program-program esensial, termasuk tuberculosis, imunisasi, dan malaria - "sedikit terganggu".

"Di sisi lain, masyarakat juga agak sedikit takut untuk datang ke layanan fasilitas kesehatan, karena takut tertular Covid dan isu-isu lain, bahwa nanti malah terpapar dan sebagainya. Jadi ini memang tantangan-tantangan yang kita hadapi," kata Nadia.

Salah satunya, untuk menekan intensitas ODHA ke layanan fasilitas kesehatan, pemberian obat ARV dengan jangka waktu lebih lama dari sebelum pandemi.

Jika biasanya obat diberikan dua minggu hingga sebulan sekali, selama pandemi obat ARV diberikan tiap tiga bulan.

"Dan ini masih sampai saat ini walaupun kondisi Covid-19 kita terus membaik," katanya.

Bagi mereka yang khawatir untuk mendatangi fasilitas kesehatan untuk mengakses obat, Nadia mengatakan, petugas di layanan kesehatan akan mengirim obat tersebut.

"Atau alternatif kedua, kalau dia punya dampingan, artinya punya teman-teman kelompok dukungan sebaya, melalui kelompok dukungan sebaya inilah dititipkan obatnya untuk dipastikan juga bahwa mereka betul-betul minum obat," ujar Nadia.

Adapun, bagi ODHA yang akan melakukan pemeriksaan lanjutan - seperti pemeriksaan CD4 (tes darah untuk menentukan seberapa baik kondisi sistem imun orang dengan HIV) atau viral load (tes untuk mengukur jumlah virus HIV dalam darah) - mereka bisa tetap menjalani pemeriksaan sebagaimana mestinya di fasilitas kesehatan, dengan protokol kesehatan yang ketat.

Strategi pelayanan semacam itu, juga diterapkan di RSUD Jayapura, ujar Siti Soltif, perawat di rumah sakit tersebut.

"Jadi obat saya kasih umpamanya biasanya satu bulan, kita kasih jadi dua bulan. Kalau dia sangat sehat sekali dan rumahnya jauh, kita kasih tiga bulan." katanya.

"Tapi kalau yang ada keluhan, ya seperti biasa, ada yang satu minggu, dua minggu, tergantung kebutuhan. Yang pasti dengan adanya pandemi ini, pelayanan kami tetap jalan."

Aditya Wardhana dari Indonesia AIDS Coalition mengatakan pemberian obat multi-bulan, atau dikenal dengan istilah WHO multimonth dispensing, adalah "sebuah pendekatan yang sangat baik".

Ia mengatakan, metode ini sudah dijalankan di luar negeri sebelum Covid, dengan tujuan agar pasien-pasien yang dinilai sudah stabil, artinya mereka sudah tidak lagi banyak membutuhkan monitor dari dokter setiap bulan, itu bisa diberikan obat setiap tiga bulan sampai enam bulan sekali.

"Tujuannya supaya jelas itu memangkas biaya, memangkas waktu. Juga kita tahu bahwa masih tinggi stigma dan diskriminasi di lapangan, kalau dia semakin jarang ke layanan kan semakin baik. Jadi sebenarnya ini strategi yang disarankan WHO," kata Aditya.

Sejak 2002 hingga 2020, Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat telah menerima dana Otsus hingga Rp126,99 triliun yang meningkat dari Rp1,38 triliun pada tahun 2002 menjadi Rp13,05 triliun pada 2020 kemarin.

Dana Otsus itu, diperpanjang hingga 20 tahun ke depan dengan estimasi total Rp234,6 triliun atau hampir dua kali lipat lebih besar dibandingkan sebelumnya.

Alokasi anggaran kesehatan yang sebelumnya dialokasikan sekurang-kurangnya 15% dalam Undang-Undang Otsus Papua, kini direvisi menjadi 20% dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otsus Papua jilid II.

Akan tetapi, menurut mantan kepala dinas kesehatan Papua, Aloysius Giay, dalam implementasi Otsus Papua jilid I, "hanya beberapa kabupaten yang bisa mencapai minimal 15%.

"Di kabupaten tertentu, anggaran di bidang kesehatan kadang-kadang 10%, 8%. Yang mencapai 15% ke atas itu sedikit.

"Pada kabupaten tertentu, saya tidak melihat program prioritas menjawab masalah masyarakat, apalagi yang menghilangkan nyawa masyarakat seperti HIV/AIDS, malaria, atau kurang gizi."

"Saya lihat belum greget untuk menangani ini tuntas secara luar biasa," ungkap Aloysius.

Lantas, bagaimana anggaran kesehatan itu terimplementasi dalam penanganan HIV/AIDS di Papua?

"Sehingga ya paling di dinas kesehatan itu dulu kita sifatnya hanya bimkes, evaluasi. Hanya itu, tidak ada langsung tindakan ke masyarakat."

Adapun, pada akhir Oktober silam, Ketua Harian Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Papua, Yanuel Matuan ditahan setelah ditetapkan sebagai tersangka dugaan kasus korupsi dana hibah AIDS Papua tahun 2019 oleh Kejaksaan Tinggi Papua.

Kasus korupsi yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 7 miliar itu diduga dilakukan dengan modus pembelian obat oleh Ketua KPA Papua pada tahun 2019.

Akan tetapi, obat tersebut memiliki izin edar dan tanpa melalui proses lelang.

Siti Soltif menganggap KPA Papua "mati suri" selama beberapa tahun terakhir. Sebab, dana yang semestinya digunakan untuk penanggulangan HIV/AIDS, justru disalahgunakan untuk membeli obat yang efektivitasnya dipertanyakan.

"Dana yang dikucurkan ke KPA untuk kepentingan penanggulangan, disalahgunakan untuk membeli obat MLM Purtier Placenta. Jadi pasien dikejar untuk minum Purtier Placenta, padahal kita sudah punya ARV," terang Siti.

Jika sebelumnya KPA memfasilitasi sejumlah program dan pelatihan untuk ODHA, lanjut Siti, kini program-program tersebut tak ada lagi.

Sementara itu, Siti Nadia Tarmizi dari Kementerian Kesehatan mengatakan, pemerintah pusat hanya bisa memberikan petunjuk, dan mensinkronkan program di pemerintah pusat dengan program prioritas di daerah, baik di provinsi dan kabupaten kota.

"Saya rasa pemerintah daerah, baik provinsi dan kabupaten kota, sudah sangat paham bahwa HIV/AIDS itu adalah masalah yang memang harus menjadi prioritas di Tanah Papua karena melihat angka kejadian baik kasus HIV, juga kasus AIDS. Kasus AIDS terjadi karena kita sering terlambat," katanya.

Nadia melanjutkan bahwa pemerintah pusat telah mewajibkan kabupaten dan kota melakukan testing secara rutin kepada masyarakat di seluruh wilayah kabupaten kota.

"Ini harapannya kalau kita bisa melakukan testing dengan dini, kita bisa segera mendapatkan kasus orang dengan HIV/AIDS lebih dini," katanya.

Akan tetapi, Agustinus Adil, yang telah lama berkecimpung dalam penanganan HIV/AIDS di Papua, mengatakan kendati alokasi dana untuk kesehatan tersedia, namun seringkali tak dibarengi dengan ketersediaan alat kesehatan, seperti keterbatasan ketersediaan reagen untuk pengetesan HIV yang terjadi beberapa bulan terakhir.

"Yang penting ada reagen. Daripada penanganan sudah baik tiba-tiba terkendala dengan [tidak ada reagen] itu artinya tidak mencapai sasaran."

Tulisan ini merupakan bagian dari liputan khusus Otonomi Khusus Papua di situs BBC News Indonesia.

Laporan tambahan untuk tulisan ini oleh wartawan Alfonso Dimaradi Jayapura.

https://regional.kompas.com/read/2021/12/04/060700878/cerita-para-perempuan-positif-hiv-di-papua-masih-ingin-hidup-dan-melihat

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke