Tulisan ini merupakan bagian pertama hasil peliputan Kompas.com bersama Tirto.id, Jaring, Suara.com, dan Project Multatuli dalam proyek Liputan Kolaborasi Investigasi Isu Agraria yang digelar oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta.
YOGYAKARTA, KOMPAS.com – Rabu (21/4/2021) pagi itu tak seperti hari kerja biasa. Mayoritas kepala dusun (kadus) di Kalurahan (Desa) Srimulyo, Kapanewon (Kecamatan) Piyungan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), memilih membangun tanggul di Dusun Cikal ketimbang pergi ke kantor desa.
Mereka memperbaiki saluran drainase yang sudah lama diagendakan karena warga Cikal sering kebanjiran.
Material batuan dipindahkan ke tengah jalan yang menjadi akses menuju pabrik PT Indonesia Green Packaging (IGP) International.
Baca juga: Wajah Keraton dalam Pemanfaatan Tanah di Yogyakarta (2)
Pabrik ini berdiri di tanah Desa Srimulyo yang telah ditetapkan sebagai Kawasan Industri Piyungan (KIP) oleh Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X.
IGP memanfaatkan tanah desa lewat perantara PT Yogyakarta Isti Parama (YIP), perusahaan di bidang pengembangan real estate, kawasan pariwisata, dan kawasan industri yang mendapat izin Sultan untuk mengelola KIP sejak 2015.
YIP diberi keleluasaan menjalin kerja sama dengan investor lain yang mau berinvestasi di KIP.
Namun hingga 2021, baru IGP satu-satunya pabrik di KIP. Kedua perusahaan itu dipimpin pengusaha Eddy Margo Ghozali.
Akibat akses jalan dipenuhi bebatuan, delapan truk kontainer IGP tertahan di dalam pabrik.
Jangankan truk kontainer, mobil biasa pun tidak bisa keluar masuk pabrik. Hanya sepeda motor milik para karyawan pabrik yang diperbolehkan melintas.
Para kadus berjaga di lokasi agar material di tengah jalan tak disingkirkan.
Rupanya perbaikan drainase dengan memblokade jalan itu sekaligus cara protes perangkat desa atas sikap YIP yang menunggak pembayaran sewa tanah desa dan pajak bumi bangunan (PBB) untuk KIP selama tiga tahun (2018-2020).
Baca juga: Wajah Keraton dalam Pemanfaatan Tanah di Yogyakarta (3)
Total nominal Rp 8 miliar untuk sewa tanah desa seluas 105,1299 hektar.
“Ya, sekalian menyelesaikan masalah (tunggakan sewa lahan desa) dengan YIP. Lagi pula, banjir yang terjadi juga karena dampak pembangunan pabrik,” kata Kadus Cikal, Setyo Handoko (44), Rabu (21/4/2021) pukul 13.00 WIB.
Aksi penutupan jalan masuk itu pernah juga dilakukan pemdes pada 1 Juni 2020.
Kini terpaksa diulang karena YIP tak kunjung menunjukkan iktikad baik untuk melunasi tunggakan.
Padahal, menurut Setyo, YIP sudah diberi kelonggaran untuk membayar sewa.
Kelonggaran yang dimaksud adalah pengurangan tanggungan sewa berdasarkan kebijakan Pemerintah Daerah (Pemda) DIY.
Berdasarkan Surat Perjanjian Sewa Menyewa tentang Penggunaan Tanah Kas Desa Srimulyo tahap I (tertanggal 3 Februari 2015) dan tahap II (tertanggal 9 Februari 2016), tanah desa yang disewa YIP total seluas 105 hektar.
Baca juga: Lewat Video Rap, Mahasiswa UGM Kritik Pengelolaan Sampah di TPA Piyungan
Tiap tahun, YIP harus membayar sewa senilai Rp 24 juta per hektar yang naik lima persen setiap tahun sesuai kesepakatan.
YIP juga harus membayar semua biaya penerbitan sertifikat, PBB, dan retribusi di atas tanah yang disewa.
Jika dihitung secara kasar, YIP semestinya membayar sewa kurang lebih Rp 2,5 miliar per tahun atas tanah seluas 105 hektar.
Nilai ini belum termasuk dengan PBB. Jika dari 2018-2020 YIP belum membayar sewa, maka total tunggakan mereka mencapai Rp 7,56 miliar ditambah PBB sekitar Rp 400 juta.
Namun, berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dengan Tujuan Tertentu yang dikeluarkan Inspektorat DIY pada 26 Oktober 2020, YIP hanya diharuskan membayar sewa tanah desa senilai Rp 2,9 miliar untuk periode yang sama.
“Kami sudah mencoba menerima keputusan itu (pengurangan sewa) karena menjadi kebijakan Gubernur DIY. Tapi YIP malah tidak juga segera membayar sewa,” ujar Setyo.
Aksi blokade jalan jilid II siang itu juga memanfaatkan momentum pertemuan pemdes dengan YIP atas inisiatif dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bantul pada hari yang sama.
Perwakilan YIP dan Pemdes Srimulyo diundang untuk mengikuti rapat bersama Sekretaris Daerah (Sekda) Bantul Helmi Jamharis dan Wakil Bupati Bantul Joko Purnomo di Ruang Rapat Sekda Bantul.
Pihak desa bersikukuh tidak akan membuka akses jalan sampai pihak YIP membayar sewa.
Akhirnya aksi blokade jilid II membuahkan hasil. Hari itu juga, YIP membayar tunggakan sewa senilai Rp 2,9 miliar.
Baca juga: Sleman Kesulitan Membuang Sampah Setelah TPST Piyungan Ditutup Warga
Usai Lurah Srimulyo, Wajiran memastikan uang senilai itu masuk ke rekening Pemdes Srimulyo, barulah para kadus membuka akses jalan itu.
Namun persoalan antara Pemdes Srimulyo dan YIP belum rampung. Kedua belah pihak belum bersepakat tentang pembayaran sewa untuk 2021 dan tahun-tahun berikutnya.
Pemdes membuka kesempatan ada pembahasan addendum (ketentuan tambahan) perjanjian sewa tanah desa dengan YIP agar tunggakan pembayaran tak berulang.
Pemdes juga tidak mempersoalkan apabila YIP tidak lagi menyewa tanah desa seluas 105 hektar.
Tapi, sejak akhir April hingga pertengahan September 2021, belum ada kesepakatan lagi yang terwujud di antara keduanya.
Kadus Prayan, Kalurahan Srimulyo, Margiyanta, sebenarnya berharap YIP bisa membayar sewa tanah desa sesuai dengan perjanjian awal senilai Rp 8 miliar lebih.
Kini dia pasrah dengan hasil intervensi Pemda DIY melalui LHP yang dibuat Inspektorat DIY untuk meringankan tunggakan YIP menjadi Rp 2,9 miliar.
Mengingat, pemeriksaan oleh inspektorat berdasarkan perintah langsung Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X.
“Kalau Sultan sudah ngendika (bicara), ya kami ikuti. Itu juga mengapa kami akhirnya memblokade jalan lagi. Karena YIP tidak menghargai kebijakan Sultan lewat laporan inspektorat untuk membayar sewa tanah desa,” kata Margiyanta.
Baca juga: Rapat dengan Sultan HB X, Ini Pesan Jokowi untuk Kepala Daerah di DIY
Menurut Kepala Inspektorat DIY, Wiyos Santoso, awal mula inspektorat turun tangan setelah pihak pemdes maupun YIP menghadap Sultan untuk memohon bantuan penyelesaian masalah itu.
“Jadi mereka sebetulnya mengadu ke Gubernur. Ya sudah, kami diminta masuk membantu menyelesaikan masalah,” kata dia saat ditemui di ruang kerjanya, Senin (26/4/2021).
Perintah langsung Sultan itu dituangkan dalam Surat Perintah Gubernur DIY Nomor 700/9368 tertanggal 23 Juli 2020.
Dalam surat itu, Sultan meminta inspektorat untuk melakukan uji pemeriksaan khusus kepada Pemdes Srimulyo terhadap pelaksanaan pengembangan kawasan industri.
Selanjutnya, Inspektorat DIY menerbitkan Surat Perintah Tugas Nomor PM/47/K/INSP/2020 tanggal 25 Juni 2020 tentang Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu Pelaksanaan Pengembangan Kawasan Industri Piyungan pada Pemdes Srimulyo dan Surat Perintah Tugas Nomor PM/47A/K/INSP/2020 tanggal 30 Juli 2020 tentang Pemeriksaan Lanjutan untuk Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu Pelaksanaan Pengembangan Kawasan Industri Piyungan pada Pemdes Srimulyo.
Diakui Wiyos, selama ini inspektorat jarang ikut campur persoalan di desa, melainkan hanya melakukan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
Jika tidak ada perintah dari Sultan, maka pihaknya tidak akan ikut campur persoalan yang dihadapi Pemdes Srimulyo dan YIP.
“Persoalan sewa-menyewa tanah desa itu semestinya menjadi kewenangan kedua belah pihak,” kata Wiyos.
Baca juga: Profil Sri Sultan Hamengku Buwono X
Jika tidak bisa diselesaikan dengan musyawarah, maka persoalan tersebut dapat dibawa ke ranah hukum sesuai perjanjian.
“Seharusnya kan silakan kedua belah pihak musyawarah mufakat. Apabila tidak terjadi kesepakatan, ke jalur hukum. Itu ada di perjanjian. Karena hukum tertinggi itu di perjanjian mereka sendiri sebetulnya,” imbuh dia.
Wiyos menduga, alasan Sultan mengeluarkan perintah kepada inspektorat karena persoalan itu tak kunjung selesai.
Dampaknya dianggap mengganggu pengembangan Kawasan Industri Piyungan ini.
“Bagaimana pun KIP termasuk program Pemda DIY,” kata dia.
Usai pemeriksaan oleh inspektorat, muncul angka kekurangan pembayaran sewa dan PBB yang harus dibayar YIP hanya Rp 2,9 miliar.
Nilai itu jauh di bawah hasil penghitungan dalam perjanjian, yaitu Rp 8 miliar.
Wiyos mengklaim angka nominal itu murni berdasarkan penghitungan tim pemeriksa internal Inspektorat DIY.
Pertimbangannya, luasan 105 hektar tanah desa yang sudah disewa YIP secara riil belum dipakai semua.
“Sebagian tanah diketahui masih atau dimanfaatkan kembali pihak pemdes,” kata dia.
Baca juga: Pemkot Yogyakarta Gencarkan Skrining Ketat Saat Akhir Pekan, Kesulitan Terapkan Ganjil Genap
Atas dasar itu, inspektorat menilai YIP tidak seharusnya membayar sewa untuk semua lahan atau seluas 105 hektar yang disewa pada 2018-2020.
Bahkan inspektorat menganggap YIP kelebihan bayar sewa untuk periode 2015-2017.
Akhirnya, besaran utang sewa YIP berkurang hingga menjadi hanya Rp 2,9 miliar.
“Kami selama melakukan pemeriksaan, berusaha obyektif. Kami tidak berani menguntungkan salah satu pihak,” kata Wiyos.
Wiyos juga mengklaim hasil itu telah diketahui dan disepakati pemdes maupun YIP.
Alasannya, setiap kali diadakan pertemuan dengan agenda pemeriksaan, inspektorat selalu meminta persetujuan tanda tangan dari perwakilan pemdes maupun YIP yang hadir.
“Tidak ada intervensi dari gubernur maupun pihak lain,” sebut dia.
Sementara agenda pisowanan atau menghadap Sultan pernah diupayakan Wajiran untuk meminta dukungan langsung, tapi tidak berhasil bertemu.
Dia meyakini Gubernur DIY yang sekaligus Raja Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat itu tak akan melindungi pihak yang bersalah.
Di sisi lain, Sekretaris Desa (Carik) Srimulyo, Nurjayanto, membenarkan, dari 105 hektar lahan yang disewa, baru dimanfaatkan YIP sekitar 6,5 hektar lahan.
Di situlah Pabrik IGP didirikan. Namun bagi dia, Inspektorat DIY dinilai telah membantu mengabulkan keinginan YIP.
“Dalam perjanjian tidak ada kesepakatan YIP bisa membayar per tahap,” jelas dia.
Semestinya, menurut Nurjayanto, YIP tidak bisa hanya membayar sewa sesuai dengan luas lahan yang telah dimanfaatkan, yaitu 6,5 hektar setiap tahunnya.
Melainkan YIP tetap harus membayar penuh tiap tahun untuk luasan 105 hektar yang telah disewa berdasarkan perjanjian yang telah dibuat.
"Bukankah sebuah kawasan industri sebesar itu seharusnya telah disusun business plan dan feasibility study yang matang dengan melihat kondisi lapangan yang ada? Bahkan YIP juga sudah melakukan observasi terhadap kondisi lahan sebelum ada perjanjian," ujar dia.
Baca juga: Beredar Video Grup Band Dewa-19 Manggung di Sleman, Satpol PP DIY Panggil Penyelenggara
Nurjayanto tidak menampik masih ada perangkat desa yang memanfaatkan sebagian tanah desa yang disewa YIP.
Itu upaya perangkat desa untuk tetap bisa mengais pemasukan setelah YIP tidak membayar sewa.
Namun, inspektorat menganggap penggunaan lahan sewaan YIP oleh perangkat desa adalah wanprestasi.
Sementara menurut Nurjayanto, para perangkat desa siap bertanggung jawab untuk mengosongkan lahan, asalkan YIP juga memenuhi kewajiban membayar sewa.
“Mintanya kami simpel. YIP itu ketika ingin lanjut sewa, oke lanjut dengan gentle. Kalau enggak sanggup, ya sudah selesai. Agar permasalahan ini segera usai, kami sebenarnya tidak masalah dapat (uang sewa) sedikit, yang penting kesepakatannya jelas,” jelas dia.
Pemdes Srimulyo, menurut kuasa hukumnya, Muhammad Yusron Rusdiono, pun berencana menggugat YIP ke meja hijau karena melanggar perjanjian. Namun Sultan melarang.
“Gubernur mengatakan (dalam rapat), jangan digugat, serahkan ke Inspektorat DIY. Inspektorat diminta untuk menghitung besaran sewa yang harus dibayar YIP. Nah dari hasil hitungan inspektorat itulah YIP harus membayar,” papar Yusron, Sabtu (22/5/2021).
Dalam dokumen LHP yang didapat dari Pemdes Srimulyo itu terungkap, penolakan pembayaran sewa tiga tahun itu diduga karena YIP “terbantu” kebijakan Gubernur DIY.
Baca juga: PPKM DI Yogyakarta Turun ke Level 3, Sri Sultan Belum Berani Buka Sekolah
Dalam LHP dijelaskan, Direktur YIP Eddy Margo Ghozali membeberkan alasan perusahaannya belum memenuhi kewajiban membayar sewa lahan sejak 2018, baik sesuai perjanjian pertama atau kedua.
Salah satunya karena ada tiga terbitan Surat Keputusan (SK) Gubernur DIY tentang Penggunaan Tanah Desa.
Ketiga SK yang dimaksud meliputi:
1. SK Gubernur DIY Nomor 69/KEP/2018 tentang Perubahan atas Surat Izin Gubernur DIY Nomor 143/3440 tanggal 8 Desember 2020 tentang Penggunaan Tanah Kas Desa seluas 56,3642 hektar yang diterbitkan pada 14 Februari 2018.
Surat ini diterbitkan karena dianggap ada kesalahan data obyek tanah (nomor persil, luas, dan lokasi) di dalam surat keputusan gubernur sebelumnya.
2. SK Gubernur DIY Nomor 25/IZ/2018 tentang Perubahan atas Surat Izin Gubernur DIY Nomor 84/IZ/2015 tanggal 29 Desember 2015 tentang Pemberian Izin Kepada Pemerintah Desa Srimulyo, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul Menyewakan Tanah Kas Desa kepada PT YIP untuk Pembangunan Kawasan Industri yang diterbitkan pada 27 Februari 2018.
Keputusan ini membuat lahan yang seharusnya dipakai industri di Srimulyo berubah dari 49,2262 hektar jadi 37,9867 hektar.
3. SK Gubernur DIY Nomor 26/IZ/2018 tentang Pemberian Izin kepada Pemerintah Desa Srimulyo, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul menyewakan Tanah Kas Desa kepada PT YIP yang diterbitkan pada 27 Februari 2018.
Surat ini diterbitkan karena adanya lahan yang termasuk kawasan wisata seluas 10,594 hektar di dalam KIP. Ada pemberian izin Gubernur DIY terkait peruntukan tanah untuk kawasan wisata seluas 10,594 hektar dalam surat itu.
Atas dasar surat-surat itu, YIP diduga meminta segera dilakukan addendum perjanjian sewa-menyewa agar dapat melakukan kewajiban pembayaran tahunan sesuai obyek lahan yang benar, sekaligus evaluasi semua aspek secara menyeluruh.
Berdasarkan pertimbangkan ini, Eddy Ghozali pun merasa pihaknya hanya melanjutkan dan memanfaatkan lahan seluas 6,13 hektar.
Jika perjanjian sewa tidak diperbarui, maka YIP enggan membayar sewa.
Baca juga: Buruh Yogya Protes soal UMP, Sultan HB X: Rp 5 Juta Saja Tak Layak, kalau...
Lantaran mengelak membayar sewa sesuai perjanjian awal, YIP kemudian diberi surat peringatan (SP) oleh Pemdes Srimulyo.
Selama 2018, ada tiga SP yang dilayangkan terkait pelaksanaan perjanjian tahap I (terbit pada 3 Mei, 24 Mei, dan 8 Juni) serta dua SP terkait pelaksanaan perjanjian tahap II (terbit pada 24 Mei dan 8 Juni).
Dijelaskan pula dalam LHP, YIP tetap enggan membayar sewa meski pemdes telah mengeluarkan SP.
Pihak perusahaan mengelak karena belum dilakukan addendum atas perjanjian sewa setelah dikeluarkan surat keputusan Gubernur DIY.
“Masalahnya mereka (YIP) yang mendapatkan izin itu sama kelurahan belum bisa menyelesaikan masalah sewa tanah. Gitu lho. Sehingga saya fasilitasi. Ya sudah, sing disewa piro, nek ora semua yo piro. Yo wis bayar kui wae (yang disewa berapa, kalau tidak semua ya berapa. Ya sudah, bayar itu saja). Dan itu sudah dilakukan, berarti sudah selesai,” kata Sultan saat ditemui di Kepatihan, Rabu (4/8/2021).
Eddy enggan berkomentar banyak saat diminta tanggapan terkait sengketa penggunaan tanah desa Srimulyo untuk kepentingan industri.
Baca juga: Pemkot Yogyakarta Akui Kesulitan Terapkan One Gate System untuk Saring Wisatawan Masuk
Saat ditemui pada Jumat (21/5/2021) di Kantor Bupati Bantul, dia mengisyaratkan persoalan itu belum selesai.
“Kami sih berharap semuanya bisa lancar. Artinya kan, ya bisalah. Mohon doanya. Saya butuh bantuan, pokoknya saya minta doanya. Jadi memang masih butuh proses. Tapi tidak apa-apa kok. Tadi lebih ke pada halalbihalal,” jelas Eddy usai bertemu Bupati Bantul.
Ketika diminta tanggapan lebih lanjut mengenai masalah sewa tanah Desa Srimulyo, Eddy belum bersedia diwawancara.
Dalam pesan singkat WhatsApp (WA) pada 5 Juni 2021, Eddy menyatakan belum bisa memberikan informasi karena koordinasi pembahasan persoalan dengan Srimulyo masih berproses di Pemda Bantul.
Setelah beberapa kali dihubungi, dia sempat merespons pesan singkat WA pada Rabu (30/6/2021).
Baca juga: Sapa Aruh Sultan HB X: Pelanggar Prokes Siap-siap Disanksi Sosial dan Hukum
Meski menyatakan tak bisa diwawancara karena kesibukannya, Eddy menjanjikan akan mengabari kembali nanti.
Namun hingga pertengahan September 2021, dia tak juga memberi kabar dan tak merespons pesan maupun panggilan melalui gawai.
Proses surat-menyurat untuk meminta konfirmasi Eddy juga telah dilakukan dua kali. Surat pertama diantarkan ke PT YIP pada 18 Agustus 2021.
Surat kedua diberikan pada 4 September 2021, tetapi ditolak pihak YIP karena belum bisa memberi kepastian waktu wawancara.
“Nanti saya sampaikan dulu kepada timnya Pak Eddy,” kata Koordinator Lapangan YIP, Widodo.
Baca juga: Wajah Keraton dalam Pemanfaatan Tanah di Yogyakarta (2)
Baca juga: Wajah Keraton dalam Pemanfaatan Tanah di Yogyakarta (3)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.