Meski begitu, ada beberapa orang yang kemudian membudidayakan semanggi di lahan persawahan.
Para pemilik lahan inilah yang kemudian memasok kebutuhan sehari-hari para pedagang.
Mereka berkeliling di setiap rumah para penjaja semanggi untuk mengirim semanggi dan ketela yang dibutuhkan para penjaja.
Baca juga: Masih Zona Merah, 13 RT di Surabaya Tidak Diizinkan Gelar Shalat Idul Fitri di Masjid
Setiap siang, Jami mendapatkan satu kresek daun semanggi dan empat kilo ketela dari para juragan.
Bahan lainnya; seperempat kilo lombok, setengah kilo gula merah, dan setengah kilo kacang tanah, ia beli sendiri.
“Kalau hari minggu, takarannya bisa lebih dari biasanya,” ujar Jami.
Baca juga: Ini Sanksi bagi Warga yang Nekat Melakukan Takbir Keliling di Surabaya
Jami memulai aktivitasnya mengolah semanggi sejak jam tiga dini hari.
Sebelum dikukus, daun semanggi harus melalui proses pelayuan dahulu dengan disimpan di dalam sebuah kantung plastik.
Proses ini berguna untuk mendapatkan tekstur semanggi yang spesifik
Sedangkan ketela, lombok, gula merah, kacang tanah, dan beberapa bumbu lainnya diolah menjadi sambal padat yang baru akan diencerkan ketika pembeli tiba.
Biasanya, setiap penjaja semanggi memiliki resep sambal yang berbeda-beda. Kualitas dari sambal ketela inilah yang menjadi pembeda antara penjual semanggi yang satu dengan lainnya.
Baca juga: Menyelisik Asal-usul Istilah Lebaran
“Banyak pelanggan saya suka karena sambal saya lebih enak, semangginya pun gurih,” kata Jami.
Pukul tujuh pagi. Para penjaja semanggi, sekumpulan ibu-ibu yang menggendong keranjang besar di punggungnya, berkumpul di tepi lapangan Desa Kendung untuk berangkat bersama menuju pusat kota Surabaya.
Semanggi dan sambalnya siap untuk dijajakan. Mereka kemudian menaiki angkot hingga daerah Kupang.
Di Kupang, mereka akan beristirahat sejenak sembari membeli lembar-lembar daun pisang untuk membuat pincuk. Selanjutnya, dari Kupang, ibu-ibu penjaja semanggi mulai berpencar keliling Surabaya.
Baca juga: Pakar Unair: Asal-usul Tradisi Mudik di Indonesia