Salin Artikel

Semanggi Suroboyo, Sisi Lain Kota Surabaya yang Terlupakan

Lirik di atas lagu klasik yang berjudul Semanggi Surboyo yang digubah oleh seorang musisi keroncong, S. Padmini pada tahun 1950-an.

Lagu klasik yang menggambarkan kudapan Semanggi yang dijual dan kerap dikonsumsi oleh warga Surabaya.

Tak hanya dilirik lagu. Gambaran penjual semanggi juga muncul di kesenian ludruk yang membawakan cerita tentang kehidupan sehari-hari warga kampung khususnya di Surabaya.

Biasanya penjual semanggi akan diperankan sosok perempuan yang berjalan kenes dan berteriak-teriak menawarkan dagangannya.

Peran tersebut menjadi sosok figuran yang mampu menghadirkan dialog-dialog ringan di tengah para pemeran utama.

“Dulu, setiap penampilan kelompok ludruknya Markuat, selalu ada tokoh Maryam, si cantik penjual semanggi,” kata Kasmuri.

Kamsuri adalah suami Jami, seorang perempuan yang berjualan semanggi selama 15 tahun. Jami dan Kamsuri adalah suami istri yang tinggal di Desa Kendung, Kecamatan Benowo, Surabaya yang dikenal sebagai "kampung semanggi" karena sebagian warganya berprofesi sebagai penjaja semanggi.

Saat disajikan, semanggi yang direbus dilengkapi dengan kecambah dan kembang turi disiram dengan saus pedas seperti bumbu pecel yang berbahan dasar ketela.

Jika ingin paket lengkap, pembeli dapat meminta tambahn rebusan daun ketela dan tempe.

“Sebetulnya dulu, selain tempe juga bisa dimakan dengan dideh, tetapi karena banyak pelanggan adalah pemeluk Islam yang taat, akhirnya saya disarankan untuk tidak menjualnya lagi” kata seorang ibu penjaja semanggi dikutip dari nationalgeographic.id.

Dideh atau marus adalah olahan darah beku hewan yang cukup populer sebagai penganan di Jawa.

Walapun sederhana, sepincuk semanggi menjadi semacam klangenan pengobat rindu. Karena rasa khasnya tidak bisa ditemukan di daerah lain selain di Surabaya.

Semanggi disajikan secara tradisional di atas pincuk daun pisang. Tanpa sendok, tanpa garpu, tanpa nasi, tanpa lontong. Untuk pengganti sendok, penjual akan memberikan selembar kerupuk puli.

Jika kerupuknya tandas sebelum pecel semangginya habis, maka pembeli bisa meminta selembar lagi kerupuk puli.

Cara makan yang khas memberikan sebuah pengalaman yang melekat kuat pada penikmatnya.

Sayangnya, keberadaan penjual semanggi di Surabaya semakin sulit ditemui. Para penjualnya bersifat dinamis dan bergerak menyusuri ruas-ruas jalan kota di Surabaya.

Yang ia ingat, ibu dan neneknya adalah penjual semanggi yang menjajakan dagangannya dengan jalan kaki pusat kota.

“Nenek saya pernah cerita, dulu untuk berjualan semanggi, mereka harus jalan kaki ke pusat kota. Pulangnya beberapa hari sekali untuk mengambil pasokan semanggi di Benowo,” kata Jami yang saat ini juga berdagang semanggi.

Desa Kendung berada di wilayah pinggiran Kota Surabaya yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Gresik.

Konon, hanya di Desa Kedunf dan beberapa desa sekitarnya seperti Sememi dan Pakal, sawah-sawah yang ditanami semanggi masih bisa ditemukan.

Namun keberadaanya telah berubah karena banyak sawah semanggi yang berganti perumahan.

“Sekarang sawah-sawah semanggi habis berganti menjadi perumahan,” ujar Jami yang merupakan penduduk asli Desa Kendung.

Budayawan Dukut Imam Widodo dalam bukunya Monggo Dipun Badhog yang memuat sketsa-sketsa panganan tradisional Surabaya, juga menulis:

“… dengan banyaknya sawah-sawah yang digusur dibuat perumahan, maka tumbuhan semanggi pun mendekati kepunahan.”

Tumbuhan semanggi yang semula tumbuh bebas dan liar pun semakin tidak mendapat tempat untuk tumbuh.

Keadaan tersebut sejurus dengan munculnya pandangan bahwa semanggi adalah tumbuhan kotor dan penganane wong kere di sebagian benak masyarakat. Stigma tersebut membuat pamor semanggi semakin redup.

Meski begitu, ada beberapa orang yang kemudian membudidayakan semanggi di lahan persawahan.

Para pemilik lahan inilah yang kemudian memasok kebutuhan sehari-hari para pedagang.

Mereka berkeliling di setiap rumah para penjaja semanggi untuk mengirim semanggi dan ketela yang dibutuhkan para penjaja.

Setiap siang, Jami mendapatkan satu kresek daun semanggi dan empat kilo ketela dari para juragan.

Bahan lainnya; seperempat kilo lombok, setengah kilo gula merah, dan setengah kilo kacang tanah, ia beli sendiri.

“Kalau hari minggu, takarannya bisa lebih dari biasanya,” ujar Jami.

Sebelum dikukus, daun semanggi harus melalui proses pelayuan dahulu dengan disimpan di dalam sebuah kantung plastik.

Proses ini berguna untuk mendapatkan tekstur semanggi yang spesifik

Sedangkan ketela, lombok, gula merah, kacang tanah, dan beberapa bumbu lainnya diolah menjadi sambal padat yang baru akan diencerkan ketika pembeli tiba.

Biasanya, setiap penjaja semanggi memiliki resep sambal yang berbeda-beda. Kualitas dari sambal ketela inilah yang menjadi pembeda antara penjual semanggi yang satu dengan lainnya.

“Banyak pelanggan saya suka karena sambal saya lebih enak, semangginya pun gurih,” kata Jami.

Pukul tujuh pagi. Para penjaja semanggi, sekumpulan ibu-ibu yang menggendong keranjang besar di punggungnya, berkumpul di tepi lapangan Desa Kendung untuk berangkat bersama menuju pusat kota Surabaya.

Semanggi dan sambalnya siap untuk dijajakan. Mereka kemudian menaiki angkot hingga daerah Kupang.

Di Kupang, mereka akan beristirahat sejenak sembari membeli lembar-lembar daun pisang untuk membuat pincuk. Selanjutnya, dari Kupang, ibu-ibu penjaja semanggi mulai berpencar keliling Surabaya.

Di kala usianya yang berusia lanjut, Jami sudah tidak mampu berjalan jauh.

Mulanya ia melakukan ini sebagai tambahan ekonomi keluarga, karena upah yang diterima Kasmuri sebagai buruh angkut di Tanjung Perak tak cukup untuk membiayai anak-anaknya sekolah.

Melalui langkah-langkah kecil Jami di tengah panasnya udara Surabaya, hasilnya mampu untuk memberi pendidikan yang layak bagi anak-anaknya.

“Setelah ibu, adakah anak-anak yang akan melanjutkan pekerjaan ini?”. Sambil tersenyum, Jami menggeleng perlahan.

"Kangkung turi cukulan dicampurnya. San tak lupa tempenya. Mari bung, coba beli, sepincuk hanya setali tentu memuaskan hati. Mari beli, sayur semanggi..."

https://regional.kompas.com/read/2021/05/15/090100078/semanggi-suroboyo-sisi-lain-kota-surabaya-yang-terlupakan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke