Merasa jenuh dengan tanggung jawabnya saat itu, Ipin kemudian pergi ke Jakarta untuk bermain musik.
Di sana dia menemukan kesenangan di luar kegiatan yang biasa dia lakukan.
"Jadi musik itu seakan puncak keegoisan saya. Waktu bapak meninggal, saya usia 17 tahun harus ngurusin pekerjaan, harus kuliah. Rasanya kok aku enggak punya waktu untuk me time. Akhirnya aku ngelakuin yang aku senangin deh, ngeband sampai ke Jakarta. Kayak retret, kita menyepi untuk merasakan kehidupan yang enggak ngurusin orang," ujar Ipin.
Hingga suatu hari Ipin memimpikan almarhum ayahnya. Di sana Ipin seperti disadarkan bahwa yang dia lakukan saat itu salah dan harus segera pulang ke Surabaya.
"Karena di mimpi itu seperti pengadilan. Aku ngerasa bersalah kenapa aku se-selfish ini. Dan ketika gua balik, kedaan rumah, adik ada masalah meski usaha jalan. Tapi kan namanya usaha, family bisnis itu enggak gampang ya," ujar Ipin.
Kembali ke Surabaya
Ipin kemudian meninggalkan ibu kota dan kembali ke Surabaya. Di sana dia kembali serius menjalankan bisnis keluarga.
Ipin mulai melakukan transformasi terhadap manajemen perusahannya. Ipin menyadari bisnis dengan pendekatan keluarga bukanlah hal yang baik untuk keberlangsungan sebuah usaha.
Selain itu, tantangan lain dirasakan Ipin saat ada yang mempertanyakan kepemimpinannya yang dinilai masih sangat mudah.
Dengan keputusan yang berat, Ipin akhirnya merombak struktur manajemen di dalam perusahaan. Dia mulai merekrut tenaga profesional.
"Jadi mungkin aku sama adik-adik fair, tapi bapak punya saudara. Dulu bapak punya yang dulu mendukung bapak, tapi kemudian lihat gua enggak yakin, lihat ibu enggak yakin. Makanya aku tunjukin aku involve gitu. Waktu itu gua tantang, ya kayak kita main bola, kalau enggak yakin menang pertadingan, pilih tim lain," ujar Ipin.
Panggilan hati
Dari Surabaya, Ipin kembali ke Trenggalek karena teringat pesan almarhum ayahnya untuk membangun kampung halaman.
Siapa sangka, cikal bakal karir politiknya itu dimulai saat mendirikan sebuah pabrik di Trenggalek.