Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Petani Cap Tikus di Sulut soal RUU Minol: Perlu Dikaji Mendalam

Kompas.com - 16/11/2020, 07:16 WIB
Skivo Marcelino Mandey,
Dony Aprian

Tim Redaksi

MANADO, KOMPAS.com - Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang larangan Minuman Beralkohol (Minol) kembali dibahas di Badan Legislasi (Baleg) DPR.

Jika RUU tersebut disahkan menjadi undang-undang, maka minuman beralkohol seperti cap tikus yang menjadi komoditi andalan petani di Sulawesi Utara (Sulut) ini akan dilarang produksi, disimpan dan dikonsumsi oleh pemerintah.

Menanggapi hal tersebut, petani cap tikus Sulawesi Utara Setli Kohdong mengatakan, pemerintah pusat seharusnya mencarikan solusi bukan melarangnya.

"Perlu dikaji mendalam, karena menyangkut kearifan lokal yang sudah berabad-abad diwariskan para leluhur," kata Setli, Senin (16/11/2020).

Baca juga: Gubernur Bali soal RUU Minol: Masih Jauh, Enggak Akan Jadi Itu

Mantan anggota DPRD Minahasa Selatan itu menambahkan, salah satu mata pencaharian terbanyak di Sulawesi Utara adalah sektor pertanian.

Di dalamnya, banyak warga di beberapa daerah di Sulut mengandalkan pendapatan mereka dari hasil minuman tradisional beralkohol seperti cap tikus.

"Jadi harus dipertahankan minuman tradisional ini. Karena dari hasil cap tikus banyak petani berhasil menyekolahkan anak mereka sampai sarjana, seperti di Minahasa Selatan," ujarnya.

Baca juga: Kritik RUU Minol, Pemprov NTT Sayangkan DPR Hanya Berpikir Dampak Mabuknya Saja

Seperti diketahui, nomenklatur larangan dalam RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol masih menjadi perdebatan.

Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi PDI-P Hendrawan Supratikno mengatakan, sebagian besar fraksi mengusulkan agar sebaiknya digunakan nomenklatur lain, seperti "pengendalian" atau "pengawasan" minuman beralkohol sebagai judul RUU.

"Yang jadi masalah adalah nomenklatur 'larangan' yang tidak disetujui sebagian besar fraksi," kata Hendrawan saat dihubungi, Kamis (12/11/2020).

Hendrawan menyebut Fraksi PDI-P merupakan salah satu fraksi yang tidak sepakat dengan penggunaan kata "larangan".

Beberapa alasannya, pertama, minuman beralkohol menjadi bagian dari budaya kelompok masyarakat di berbagai daerah.

Kedua, banyaknya UMKM yang terlibat dalam industri minuman beralkohol.

Ketiga, agar konsisten dengan UU tentang cukai, khusus yang berkaitan dengan pengendalian minuman beralkohol.

Namun, Hendrawan mengatakan, belum ada sikap tegas fraksi soal urgensi pembahasan RUU Larangan Minuman Beralkohol.

"Soal urgensi nanti kita lihat. Setiap fraksi punya asesmen yang berbeda," ucapnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com