Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perjuangan Warga Kampung Long Isun Lawan Alih Fungsi Lahan demi Lestarinya Hutan Adat

Kompas.com - 27/10/2020, 19:39 WIB
Zakarias Demon Daton,
Teuku Muhammad Valdy Arief

Tim Redaksi

Hutan adat Long Isun juga dihuni ribuan spesies langkah seperti orangutan dan berbagai hewan dilingdungi lainnya.

Masyarakat setempat sering berburu babi, rusa dan berbagai hewan hutan lainnya.

Sungai Melaseh, anak sungai Mahakam yang melintas di kampung tersebut pun sering jadi tempat pencarian ikan.

“Hutan Long Isun itu kaya. Air kami tidak beli. Sayuran kami semacam pasar. Musim buah limpah. Banyak hasil yang kami harap dari hutan,” terang Tekwan.

Karena itu, sejak turun temurun, kata Tekwan, masyarakat adat sudah menjaga hutan.

Baca juga: Petani yang Cegah Alih Fungsi Lahan akan Dapat Insentif

Masyarakat yang membuka ladang pun tetap memiliki batasan membuka hutan, tidak sembarangan merusak hutan.

Karena itu, hutan Long Isun menjadi salah satu dari jantung Kaltim.

“Dan itu kami kelola dari turun temurun hasilnya tidak habis-habis. Kami ingin hutan kami tetap lestari,” terang Tekwan.

Warga lain bernama Christina Yeq Lawing menyebut sejak adanya perusahaan kayu tersebut mengancam hutan adat mereka.

Selain khawatir merusak hutan alam, lingkungan sekitar juga rusak seperti pencemaran limbah perusahaan ke sungai.

Selain itu populasi babi dan rusa juga sudah mulai berkurang seiring penebangan hutan orang perusahaan. Hal tersebut membuat warga sekitar menjadi sulit berburu.

“Bagi masyarakat Long Isun, hutan, sungai dan lingkungan yang alami adalah identitas masyarakat Dayak,” terang dia.

Baca juga: Satu Dekade Konflik dengan Perusahaan Kayu, Ini Perjuangan Masyarakat Long Isun Pertahankan Hutan Adat

Sejak dahulu, nenek moyang sudah mewariskan alam yang melimpah untuk dikelola, bukan dirusak.

"Masuknya perusahaan ke situ sangat merugikan kami. Hutan rusak, ruang hidup kami terancam, sumber air hilang, sungai tercemar dan berbagai dampak negatif lain," jelasnya.

Bukan hanya dampak lingkungan, kata Christina, masuk perusahaan juga merusak tatanan sosial masyarakat dan memicu konflik sosial.

Ada pembelahan masyarakat seolah-olah ada kampung yang pro terhadap perusahaan, sementara kampung lain tidak pro.

“Karena itu kami minta pemerintah mengembalikan hutan adat kami. Kami sedang usahakan agar ada pengakuan hukum atas hutan kami,” tegas dia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com