Salin Artikel

Perjuangan Warga Kampung Long Isun Lawan Alih Fungsi Lahan demi Lestarinya Hutan Adat

Sore itu, Theodorus Tekwan Ajat (44) bersama 26 warga kampung mendatangi lokasi hutan adat mereka yang dirusak salah satu perusahaan kayu.

Keberangkatan mereka atas keputusan rapat adat bersama kepala kampung.

“Kami berangkat 26 orang didampingi oleh hansip kampung,” kenang Tekwan kepada Kompas.com saat dihubungi belum lama ini.

Dari kampung mereka menuju lokasi operasi perusahaan kayu ini sekitar empat kilometer.

Rombongan ini berjalan kaki menyusuri hutan adat yang masih primer. Pohon-pohon menjulang tinggi nan hijau. Tutupan hutan masih utuh.

“Sesampai di sana pekerja perusahaan tebang pohon. Saat mereka tahu kami datang. Mereka berhenti kerja, kumpul sama kami,” jelas Tekwan.

Kepada para pekerja, Tekwan menyampaikan tujuan kedatangan mereka meminta agar berhenti menebang kayu-kayu di hutan adat ini.

“Lalu mereka (pekerja) menyerahkan kunci dua unit traktor dan chainsaw secara sukarela ke kami. Kebetulan, operator alat traktor saudara sepupu saya,” terang Tekwan.

Pascakejadian itu, perusahaan membuat laporan ke Polres Kutai Barat. Tepat 1 September 2014, Tekwan ditetapkan tersangka.

Dia dijerat Pasal 368 KUHP Jo Pasal 335 Ayat (1) KUHP dan ditahan.

“Saya dituduh melakukan pemerasan disertai kekerasan. Padahal operator perusahaan kayu itu saudara saya sendiri. Tidak mungkin saya lakukan kekerasan,” terang Tekwan.

Pada Januari 2020, Tekwan mengaku dipanggil penyidik Polres Kutai Barat untuk ambil SP3. Saat tiba di Polres, sudah ada pimpinan perusahaan.

“Saat itu saya dipaksa damai baru keluar SP3. Tapi saya bilang saya harus sampaikan ke masyarakat adat Long Isun dulu. Saya juga diminta jadi koordinator untuk urus upacara adat perdamaian,” jelas Tekwan.

Namun setelah kembali masyarakat adat Long Isun menolak perdamaian tersebut. Kasus kemudian menggantung sampai saat ini.

“Sampai sekarang belum ada SP3. Polisi juga diam saja. Pokoknya kasus saya digantung sampai sekarang,” kisah lelaki yang bekerja sebagai petani kakao ini.

Kasat Reskrim Polres Kutai Barat, Iptu Iswanto menuturkan perusahaan sudah mencabut laporan tersebut.

“Itu kasus lama. Sudah damai kok. Sudah ada pencabutan perkara juga kok. Perusahaan sudah cabut laporan,” ungkap Iswanto.

Muasal konflik warga dan perusahaan

Sudah satu dekade berlalu masyarakat adat kampung Long Isun, masih memperjuangan hutan adat mereka.

Masyarakat kampung ini berkonflik dengan salah satu perusahaan kayu sejak 2008 sampai saat ini.

Kasus bermula saat perusahaan HPH ini mendapat izin perpanjangan operasi di Kecamatan Long Pahangai dengan luas konsesi 82.810 hektar melalui SK Nomor SK.217/MENHUT-II/2008 pada 9 Juni 2008.

Dari total luasan tersebut, 13.150 hektar di antaranya mencaplok hutan adat milik kampung Long Isun.

Sejak itu masyarakat adat melakukan perlawanan karena merasa hutan mereka dirusak.

“Bagi kami hutan itu sumber kehidupan,” tegas Tekwan.

Masyarakat setempat, kata Tekwan, sering mengambil manfaat dari hasil hutan seperti madu, gaharu, kayu, tanaman obat-obatan tradisional dan sumber mata air.

Masyarakat setempat sering berburu babi, rusa dan berbagai hewan hutan lainnya.

Sungai Melaseh, anak sungai Mahakam yang melintas di kampung tersebut pun sering jadi tempat pencarian ikan.

“Hutan Long Isun itu kaya. Air kami tidak beli. Sayuran kami semacam pasar. Musim buah limpah. Banyak hasil yang kami harap dari hutan,” terang Tekwan.

Karena itu, sejak turun temurun, kata Tekwan, masyarakat adat sudah menjaga hutan.

Masyarakat yang membuka ladang pun tetap memiliki batasan membuka hutan, tidak sembarangan merusak hutan.

Karena itu, hutan Long Isun menjadi salah satu dari jantung Kaltim.

“Dan itu kami kelola dari turun temurun hasilnya tidak habis-habis. Kami ingin hutan kami tetap lestari,” terang Tekwan.

Warga lain bernama Christina Yeq Lawing menyebut sejak adanya perusahaan kayu tersebut mengancam hutan adat mereka.

Selain khawatir merusak hutan alam, lingkungan sekitar juga rusak seperti pencemaran limbah perusahaan ke sungai.

Selain itu populasi babi dan rusa juga sudah mulai berkurang seiring penebangan hutan orang perusahaan. Hal tersebut membuat warga sekitar menjadi sulit berburu.

“Bagi masyarakat Long Isun, hutan, sungai dan lingkungan yang alami adalah identitas masyarakat Dayak,” terang dia.

Sejak dahulu, nenek moyang sudah mewariskan alam yang melimpah untuk dikelola, bukan dirusak.

"Masuknya perusahaan ke situ sangat merugikan kami. Hutan rusak, ruang hidup kami terancam, sumber air hilang, sungai tercemar dan berbagai dampak negatif lain," jelasnya.

Bukan hanya dampak lingkungan, kata Christina, masuk perusahaan juga merusak tatanan sosial masyarakat dan memicu konflik sosial.

Ada pembelahan masyarakat seolah-olah ada kampung yang pro terhadap perusahaan, sementara kampung lain tidak pro.

“Karena itu kami minta pemerintah mengembalikan hutan adat kami. Kami sedang usahakan agar ada pengakuan hukum atas hutan kami,” tegas dia.


Konflik Antarkampung

Masuknya perusahaan tersebut tak hanya membuat masyarakat kehilangan hutan. Lebih jauh dari itu, terjadi konflik horizontal antar warga kampung.

Di wilayah tersebut terdapat dua kampung yakni Kampung Long Isun dan Kampung Naha Aruq.

Naha Aruq pecahan dari kampung Long Isun. Kampung Naha Aruq memiliki luasan kurang lebih 9.000 hektar yang merupakan hibah dari kampung Long Isun berdasarkan peta tahun 1966.

Secara adat, kampung Long Isun dan Naha Aruq memiliki hubungan darah. Karena itu mereka hidup rukun berdampingan dan tak pernah berkonflik.

“Tapi sekarang hubungan kedua kampung ini renggang. Karena masyarakat Long Isun menolak kehadiran perusahaan. Sementara kampung Naha Aruq disebut mendukung perusahaan tersebut,” ungkap Koordinator Kelompok Kerja (Pokja) 30 Kaltim, Buyung Marajo yang turut mengadvokasi kasus ini.

Pada 4 November 2011 Bupati Kutai Barat mengeluarkan SK Nomor 136.146.3/K.917/2011 tentang Penetapan dan Pengesahan Batas Wilayah Kampung di Kecamatan Long Pahangai. Waktu itu Mahakam Ulu belum dimekarkan jadi kabupaten sendiri.

SK tersebut, menetapkan sebagian wilayah Long Isun masuk ke wilayah Naha Aruq. Sejak itu perusahaan kayu ini merasa memiliki hak untuk menggarap hutan yang masuk wilayah Long Isun tersebut.

“Padahal berdasarkan peta 1966 hutan itu masih dan sah berada di wilayah kampung Long Isun,” tutur Buyung.

Buyung menarik benang merah seteru dua kampung ini karena ulah perusahaan lewat tangan pemerintah daerah.

“Perusahaan memisahkan masyarakat, membuat masyarakat berkonflik lewat tangan pemerintah daerah,” sambung Buyung.

Pejabat sementara (Pjs) Bupati Mahakam Ulu, Gede Yusa mengaku belum mengetahui persis duduk perkara ini.

“Nanti saya cek dulu ya. Saya ini baru jabat,” ungkap dia.


Upaya Menuju Pengakuan Hutan Adat

Pada 18 Januari 2017 masyarakat Kampung Long Isun membuat pengaduan ke Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) didampingi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kaltim.

Kemudian, 12 April 2017 laporan tersebut ditindaklanjuti Direktorat Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat dengan menggelar pertemuan bersama para pihak terkait di Jakarta.

Enam hari setelah pertemuan tersebut, keluar surat Nomor S.37/PSKL/PKHTA/PSL.1/4/2017 dari KLHK ke Bupati Mahakam Ulu.

Surat tersebut meminta agar Bupati Mahakam Ulu dapat memfasilitasi pertemuan bagi masyarakat dan perusahaan.

Enam bulan kemudian, Kamis 28 September 2017, Bupati Mahakam Ulu mengundang rapat.

Pada 2018, diadakan pertemuan di Hotel Aston Samarinda dengan melibatkan masyarakat dan perusahaan.

Kesepakatan tersebut menghasilkan empat poin di antaranya menetapkan wilayah hutan adat yang masuk konsesi perusahaan ditetapkan sebagai status quo.

Dengan begitu perusahaan tak bisa beroperasi di lapangan sampai kasus selesai.

Kemudian, seteru terkait tata batas antara masyarakat Kampung Long Isun dan masyarakat Naha Aruq dengan perusahaan agar dihentikan.

Dan terakhir, wilayah konsesi perusahaan yang masuk wilayah kampung Long Isun akan diproses menjadi hutan adat.

“Menuju pengakuan hutan adat nanti dibuat peraturan daerah (Perda) dulu di daerah baru keluar SK Bupati,” ungkap Direktur Walhi Kalimantan Timur Yohana Tiko.

Tiko mengatakan perjuangan masyarakat adat mempertahankan hutan adat sudah ada payung hukum lebih tinggi.

“Hanya saja, pemerintah daerah tidak memberi respons baik,” terang dia.

Misalnya, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman dan Pengakuan Masyarakat Hukum Adat.

Kemudian, Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Pedoman dan Pengakuan Masyarakat Hukum Adat Kaltim.

Lalu, Peraturan Daerah Kabupaten Mahakam Ulu Nomor 7 Tahun 2018 Tentang Pengakuan, Perlindungan, Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat dan Lembaga Adat.

Serta, keputusan Bupati Mahakam Ulu nomor 800.05.140.436.1/K.185d/2017 tentang Pembentukan Panitia Masyarakat Hukum Adat.

"Namun faktanya hingga saat ini belum ada perkembangan terkait usulan pengakuan dan perlindungan masyarakat Hukum Adat Kampung Long Isun," jelas Tiko.


Harapan ke Jokowi

Tekwan warga Long Isun meminta Presiden Joko Widodo membantu menyelesaikan hutan adat mereka.

“Kami sampaikan ke Pak Jokowi bahwa tolong bantu hutan adat kami. Dia harus bantu tekan Pemkab Mahulu ini biar cepat diakui sebagai hutan adat,” harap Tekwan.

Tekwan menjelaskan naiknya Jokowi menjadi presiden dua periode tidak luput dari kontribusi masyarakat Long Isun.

“Kami di sini 99 persen pilih Jokowi. Sampaikan ke dia. Kami masyarakat Long Isun dukung dia. Bantu akui hutan adat kami,” terang Tekwan.

“Kami di Long Isun ini juga bagian dari Indonesia,” sambung Tekwan mengakhiri.

https://regional.kompas.com/read/2020/10/27/19393371/perjuangan-warga-kampung-long-isun-lawan-alih-fungsi-lahan-demi-lestarinya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke