“Pelaku dijerat UU Perlindungan anak dengan ancaman ancaman 15 tahun, tapi kami mendesak tambahan hukuman karena tokoh agama yang melakukan kekerasan seksual kepada santri sehingga bisa dikenakan tambahan 1/3 dari ancaman. Jadi harapannya bisa maksimal 20 tahun,” tegas Nihayatul.
Saat ini pihaknya sedang mengupayakan restitusi bagi para korban dan memastikan kondisi korban dan keluarga tetap aman.
Selain menjadi korban kekerasan seksual, para korban juga megalami kerugian materiil, padahal keluarganya “tidak mampu”.
Baca juga: Pimpinan Ponpes yang Lecehkan Santri di Semarang Ditangkap di Bekasi, Sudah Jadi Tersangka
Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Kemenag Jawa Tengah Musta’in Ahmad menegaskan Hidayatul Hikmah Al Kahfi “bukan pesantren” karena tempat itu tidak “terkonfirmasi” baik oleh Kanwil Kota Semarang maupun Jawa Tengah.
Musta’in menjelaskan tempat itu dijadikan tempat belajar agama oleh warga sekitar.
Sebelumnya, Kepala Kanwil Kemenag Kota Semarang, Ahmad Faris, menyatakan tempat itu tidak memenuhi syarat utama tentang pesantren, yang mencakup jumlah santri mukim, kyai yang bersyahadah, pembelajaran kitab kuning, bangunan asrama yang terpisah untuk santri dan pengasuh, tempat ibadah, dan kurikulum pesantren yang jelas.
Meski demikian, Musta'in mengatakan pihaknya tetap melakukan pendampingan secara psikologis kepada murid-murid yang belajar di sana agar mereka “merasa aman”.
Kasus ini memantik pertanyaan tentang pengawasan yang dilakukan Kemenag terhadap pesantren-pesantren. Mengapa sampai ada tempat yang memakai nama pesantren, padahal bukan pesantren?
Baca juga: Ruang Bawah Tanah Milik Pimpinan Ponpes di Semarang Digunakan untuk Cabuli Santriwati
Dalam hal ini, Musta’in mengatakan pihaknya pun tidak tahu siapa orang pertama yang melabeli tempat itu sebagai pesantren.
“Kalau dia pesantren, mestinya kan komunikasi dengan Kemenag. Kalau kemudian Kemenag yang mencari-cari, setiap ada orang kumpul ditanya.. negara kita kan negara demokrasi," kata Musta’in kepada BBC News Indonesia.
Sehari sebelum kasus pemerkosaan di Semarang diungkap ke media, tepatnya pada Selasa (05/09), Kepolisian Daerah Jawa Tengah (Polda Jateng) menyatakan telah mengambil alih kasus dugaan kekerasan seksual terhadap santriwati di salah satu pondok pesantren di Kabupaten Karanganyar.
Pada Kamis (07/09), polisi sudah menetapkan satu tersangka berinisial DN, dengan jumlah korban mencapai enam orang.
Kepala bidang Humas Polda Jateng, Kombes Satake Bayu Setianto, mengatakan tersangka merupakan salah satu dari pimpinan ponpes, yang awalnya berstatus sebagai saksi.
"Yang bersangkutan ditahan di rutan Polda Jateng," kata Bayu. Pihak kepolisian belum mengungkap modus tersangka.
Kasus-kasus itu baru dikenali publik berkat keberanian korban yang mau bersuara dan juga adanya kesadaran bahwa kekerasan seksual di lingkungan pesantren bukan aib.
Menurut Siti, kekerasan seksual yang kerap terjadi di lingkungan pesantren disebabkan “relasi kuasa yang timpang” antara anak yang berhadapan dengan orang dewasa, perempuan berhadapan dengan laki-laki, murid/santriwati yang berhadapan dengan guru, dan awam berhadapan dengan seseorang dengan otoritas pengetahuan keagamaan.
“Lapisan relasi ini semakin rentan ketika korban berada dalam lingkungan tempat tinggal yang terpisah dari pelindungan orangtua/walinya,” kata Siti kepada BBC News Indonesia, Jumat (08/09).
Baca juga: Minta Pesantren dengan Kasus Pelecehan Seksual Dihabisi, Wapres: Itu Namanya Musang Berbulu Ayam
Dihubungi secara terpisah, Koordinator Nasional Forum Pengada Layanan, Siti Mazuma, menjelaskan para pelaku kekerasan seksual di pesantren, yang umumnya memiliki hierarki yang lebih tinggi dari korban, cenderung “menyalahgunakan kekuasaannya”.