Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kasus Pemerkosaan 6 Santriwati di Semarang, Mengapa Kekerasan Seksual di Pesantren Terus Berulang?

Kompas.com - 10/09/2023, 13:19 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Polisi telah menangkap BAA (46) alias Muh Anwar, yang mengaku sebagai pemimpin Pondok Pesantren Hidayatul Hikmah Alkahfi, Semarang, Jawa Tengah, atas dugaan pemerkosaan terhadap enam santriwati.

Sebelumnya, polisi juga menangkap seorang tersangka pelaku kekerasan seksual di pondok pesantren di Karanganyar, Jawa Tengah.

Lalu mengapa kasus-kasus kekerasan seksual di pesantren terus berulang?

Muh Anwar mengaku kepada pihak kepolisian bahwa dirinya telah memperkosa tiga santriwati, salah satunya masih di bawah umur.

Baca juga: Kiai Gadungan yang Perkosa Santri Perempuan di Semarang Terancam Hukuman 15 Tahun Penjara dan Denda Rp 5 Miliar

Polisi mengatakan dia memanfaatkan namanya yang dikenal sebagai kiai untuk mendirikan Pondok Pesantren Hidayatul Hikmah Al Kahfi dan melakukan tindak pidana pemerkosaan dan penipuan.

"Yang bersangkutan ini sering mengikuti atau terlibat dalam kegiatan pengajian yang ada kiai-kiainya di situ, dia mengisi sebagai pembaca puisi ataupun sebagai penyair tetapi kan akhirnya jemaah-jemaah ini tertarik kepada dia kan jadi seolah-olah sudah menganggap dia juga sebagai kiai juga," kata Kasat Reskrim Polrestabes Semarang, AKBP Donny Lumbantoruan, dalam jumpa pers, Jumat (08/09).

Fakta ini mendukung pernyataan pihak Kementerian Agama (Kemenag) yang menyatakan tempat yang disebut pesantren itu “bukan pesantren”.

Kasus pemerkosaan di Hidayatul Hikmah Al Kahfi terungkap setelah psikolog dari Unit Pelaksana Teknis Daerah, Perlindungan Perempuan dan Anak, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (UPTD PPA DP3A) Pemkot Semarang, Iis Amalia, melakukan jumpa pers pada Rabu (06/09).

Baca juga: Pengakuan Pimpinan Ponpes di Semarang, Perkosa Tiga Santriwatinya di Hotel dan Imingi-imingi Korban Beasiswa

Iis mengatakan korban Muh Anwar mencapai enam orang, bukan tiga seperti yang dia akui. Menurut Iis, keenam korban sudah mengadu kepada pihaknya, dua di antara mereka merupakan anak-anak.

Kasus dugaan kekerasan seksual yang terjadi di Semarang ini hanya satu dari sekian banyak kasus kekerasan seksual yang terjadi di pondok pesantren.

Sehari sebelumnya, polisi menangkap seorang tersangka yang diduga sebagai pelaku kekerasan seksual di pondok pesantren di Karanganyar, Jawa Tengah.

Pada awal tahun 2023 saja, setidaknya empat kasus kekerasan seksual terungkap di Lampung dan Jember, Jawa Timur.

Pada November 2022, Pengadilan Negeri (PN) Surabaya menjatuhkan vonis tujuh tahun penjara kepada Moch Subchi Atsal Tsani (MSAT) alias Bechi, anak kiai ternama di Jombang- sebuah kasus yang sempat membuat gempar pada waktu itu.

Baca juga: Tangan Terborgol dan Wajah Menunduk, Ini Tampang Pimpinan Ponpes yang Lecehkan Santriwati di Semarang

Awal mula kasus pelecahan di Semarang

Pimpinan Pondok Pesantren (Ponpes) Hidayatul Hikmah Al Kahfi Semarang, Jawa Tengah, Bayu Aji Anwari ngaku telah memperkosa tiga santriwati. KOMPAS.COM/Muchamad Dafi Yusuf Pimpinan Pondok Pesantren (Ponpes) Hidayatul Hikmah Al Kahfi Semarang, Jawa Tengah, Bayu Aji Anwari ngaku telah memperkosa tiga santriwati. 
Kasus dugaan kekerasan seksual oleh Muh Anwar sebenarnya sudah terungkap sejak 2022 lalu, ketika salah satu korbannya, sebut saja Delima, datang ke UPTD untuk menjalani konseling karena mengalami kekerasan seksual “di tempatnya mondok”.

Hal itu diungkapkan oleh Kepala UPTD PPA DP3A Kota Semarang, Catur Karyanti. Dari pengakuan itu, kasus dikembangkan dan terindentifikasi korban lainnya, sebut saja Dahlia.

“Peristiwa kekerasan itu terjadi di rentang waktu tahun 2020-2021. Selain Delima, dan muncul Dahlia, ada korban satu anak, tapi kami kesulitan menggali karena masih tertutup. Ini kerja kolektif, berangkat dari curhat jemaah,” kata Catur kepada wartawan Noni Arnie yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Jumat (08/09).

Ditemui secara terpisah, perwakilan Jaringan Peduli Perempuan dan Anak (JPPA), Nihayatul Mukaromah— selaku pendamping korban dalam kasus ini— mengatakan jumlah korban ada enam, yaitu dua korban usia anak dan empat korban usia dewasa.

Baca juga: Pimpinan Ponpes di Semarang Jadi Tersangka Pencabulan, Tetangganya: Kaget, Tak Menyangka

“Tapi yang mau melaporkan hanya keluarga Dahlia. Keluarganya mau melaporkan kasus kekerasan seksual ke Polrestabes [Semarang] pada akhir 2022,” jelas Nihayatul.

Penyidik unit PPA Polrestabes Semarang membuat laporan pada 16 Mei 2023 untuk memanggil Muh Anwar sebagai saksi. Dua kali panggilan, dia selalu mangkir sampai pada akhirnya berhasil dijemput paksa di Bekasi pada 31 Agustus 2023, dibawa ke Semarang, dan “ditahan”.

“Pelaku dijerat UU Perlindungan anak dengan ancaman ancaman 15 tahun, tapi kami mendesak tambahan hukuman karena tokoh agama yang melakukan kekerasan seksual kepada santri sehingga bisa dikenakan tambahan 1/3 dari ancaman. Jadi harapannya bisa maksimal 20 tahun,” tegas Nihayatul.

Saat ini pihaknya sedang mengupayakan restitusi bagi para korban dan memastikan kondisi korban dan keluarga tetap aman.

Selain menjadi korban kekerasan seksual, para korban juga megalami kerugian materiil, padahal keluarganya “tidak mampu”.

Baca juga: Pimpinan Ponpes yang Lecehkan Santri di Semarang Ditangkap di Bekasi, Sudah Jadi Tersangka

Bukan pesantren

Ponpes Hidayatul Hikmah Al Kahfi di Kota Semarang, Jawa Tengah (Jateng). KOMPAS.COM/Muchamad Dafi Yusuf Ponpes Hidayatul Hikmah Al Kahfi di Kota Semarang, Jawa Tengah (Jateng). 
Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Kemenag Jawa Tengah Musta’in Ahmad menegaskan Hidayatul Hikmah Al Kahfi “bukan pesantren” karena tempat itu tidak “terkonfirmasi” baik oleh Kanwil Kota Semarang maupun Jawa Tengah.

Musta’in menjelaskan tempat itu dijadikan tempat belajar agama oleh warga sekitar.

Sebelumnya, Kepala Kanwil Kemenag Kota Semarang, Ahmad Faris, menyatakan tempat itu tidak memenuhi syarat utama tentang pesantren, yang mencakup jumlah santri mukim, kyai yang bersyahadah, pembelajaran kitab kuning, bangunan asrama yang terpisah untuk santri dan pengasuh, tempat ibadah, dan kurikulum pesantren yang jelas.

Meski demikian, Musta'in mengatakan pihaknya tetap melakukan pendampingan secara psikologis kepada murid-murid yang belajar di sana agar mereka “merasa aman”.

Kasus ini memantik pertanyaan tentang pengawasan yang dilakukan Kemenag terhadap pesantren-pesantren. Mengapa sampai ada tempat yang memakai nama pesantren, padahal bukan pesantren?

Baca juga: Ruang Bawah Tanah Milik Pimpinan Ponpes di Semarang Digunakan untuk Cabuli Santriwati

Dalam hal ini, Musta’in mengatakan pihaknya pun tidak tahu siapa orang pertama yang melabeli tempat itu sebagai pesantren.

“Kalau dia pesantren, mestinya kan komunikasi dengan Kemenag. Kalau kemudian Kemenag yang mencari-cari, setiap ada orang kumpul ditanya.. negara kita kan negara demokrasi," kata Musta’in kepada BBC News Indonesia.

Kasus serupa di Karanganyar

Sehari sebelum kasus pemerkosaan di Semarang diungkap ke media, tepatnya pada Selasa (05/09), Kepolisian Daerah Jawa Tengah (Polda Jateng) menyatakan telah mengambil alih kasus dugaan kekerasan seksual terhadap santriwati di salah satu pondok pesantren di Kabupaten Karanganyar.

Pada Kamis (07/09), polisi sudah menetapkan satu tersangka berinisial DN, dengan jumlah korban mencapai enam orang.

Kepala bidang Humas Polda Jateng, Kombes Satake Bayu Setianto, mengatakan tersangka merupakan salah satu dari pimpinan ponpes, yang awalnya berstatus sebagai saksi.

"Yang bersangkutan ditahan di rutan Polda Jateng," kata Bayu. Pihak kepolisian belum mengungkap modus tersangka.

Baca juga: Sederet Fakta Pelecehan 6 Santriwati oleh Pimpinan Pondok Pesantren di Semarang, Pelaku Juga Gelapkan Uang

Mengapa selalu terulang?

Ilustrasi kekerasan anak.
DOK. Shutterstock Ilustrasi kekerasan anak.
Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, meyakini kasus-kasus kekerasan seksual yang belakangan ini marak terjadi dipesantren “bukanlah fenomena baru”.

Kasus-kasus itu baru dikenali publik berkat keberanian korban yang mau bersuara dan juga adanya kesadaran bahwa kekerasan seksual di lingkungan pesantren bukan aib.

Menurut Siti, kekerasan seksual yang kerap terjadi di lingkungan pesantren disebabkan “relasi kuasa yang timpang” antara anak yang berhadapan dengan orang dewasa, perempuan berhadapan dengan laki-laki, murid/santriwati yang berhadapan dengan guru, dan awam berhadapan dengan seseorang dengan otoritas pengetahuan keagamaan.

“Lapisan relasi ini semakin rentan ketika korban berada dalam lingkungan tempat tinggal yang terpisah dari pelindungan orangtua/walinya,” kata Siti kepada BBC News Indonesia, Jumat (08/09).

Baca juga: Minta Pesantren dengan Kasus Pelecehan Seksual Dihabisi, Wapres: Itu Namanya Musang Berbulu Ayam

Dihubungi secara terpisah, Koordinator Nasional Forum Pengada Layanan, Siti Mazuma, menjelaskan para pelaku kekerasan seksual di pesantren, yang umumnya memiliki hierarki yang lebih tinggi dari korban, cenderung “menyalahgunakan kekuasaannya”.

Tidak hanya itu, para pelaku bahkan melakukan “manipulasi” terhadap korban.

“Misalkan dipanggil untuk belajar ataupun ada sesi khusus, dengan alasan mungkin upgrade ilmu atau pengetahuan atau hal lain lagi yang dianggap sebagai bonus pembelajaran. Tetapi justru di situlah kemudian praktik-praktik kekerasan seksual itu terjadi,” papar perempuan yang akrab disapa Zuma.

Relasi kuasa yang kemudian disalahgunakan itu diperparah dengan konsep pesantren yang “tertutup”.

Itu membuat kekerasan seksual tidak diketahui siapapun dan para korban juga “mengalami hambatan untuk mengadukannya”, kata Siti Aminah Tardi.

Baca juga: Pimpinan Ponpes di Semarang yang Cabuli 6 Santriwati Dikenal Tertutup dan Jarang Bersosialisasi

Bagaimana agar tidak terus beulang?

Zuma berpendapat kasus kekerasan seksual tidak bisa ditangani oleh satu pihak saja. Menurutnya, semua kalangan, mulai dari para pegiat, pihak pesantren, hingga kepolisian dan Kementerian Agama harus berpartisipasi bersama.

Namun, dalam hal kekerasan seksual di lingkungan pesantren, Zuma berharap Kemenag “benar-benar melakukan monitoring evaluasi untuk setidaknya mengurangi kasus kekerasan seksual di pesantren.

“Karena miris banget kan di pesantren, lembaga pendidikan yang diharapkan menjujung tinggi moral, tapi justru pelaku-pelaku kekerasan itu adalah orang-orang yang tidak kita duga, tidak kita sangka. Itu yang harus kita perhatikan dan Kemenag harus memberikan sanksi selain juga ada upaya sanksi pidana,” ujar Zuma.

Baca juga: Tak Hanya Lecehkan Santriwatinya, Pimpinan Ponpes di Semarang Diduga Gelapkan Sejumlah Uang

Terkait hal itu, sebenarnya sejak tahun lalu, Kemenang sudah mengeluarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 2022 (PMA 73/2022) tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama.

Di dalamnya, diatur tentang definisi, bentuk, hingga kekerasan seksual di lingkup pendidikan keagamaan.

Oleh sebab itu, Siti Aminah Tardi, dari Komnas Perempuan, mengatakan pelaksanaan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di satuan pendidikan pada kementerian agama harus dilakukan secara cepat, terpadu, dan terintegrasi—bersama dengan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang bisa digunakan dalam kasus seperti ini.

“Karenanya melalui kasus ini, selain mendorong penerapan UU TPKS, Kementerian Agama juga harus intensif mnyebarluaskan PMA 73/2022 termasuk ke lingkungan pesantren. Sehingga kemudian akan terjadi perubahan cara pandang tentang kekerasan seksual di lingkungan pesantren dan manajemen pesantren terus membangun ruang pendidikan yang aman dari kekerasan,” kata Siti.

Baca juga: Ada Kamar Bawah Tanah di Ponpes Semarang yang Pimpinannya Diduga Lecehkan Santriwati

Untuk wilayah Jawa Tengah yang menjadi sorotan dalam liputan ini, Kepala Kanwil Kemenag Jawa Tengah Musta’in Ahmad yakin PMA 73/2022 itu sudah sampai ke pesantren-pesantren di wilayahnya dan sudah disosialisasikan.

Namun, memang dia mengatakan dibutuhkan kedisiplinan untuk untuk mematuhi setiap aturan yang tertuang di dalamnya.

“Tidak cukup dengan sosialisasi, kita harus terus melakukan edukasi. Kita harus terus melakukan komunikasi karena kondisi sosial kita seperti itu [masih banyak yang melanggar peraturan],” ujar Musta’in.

Selama dua tahun belakangan, lanjut dia, pihaknya sudah melakukan upaya untuk mencegah kasus kekerasan seksual di ranah pesantren, yaitu dengan menggerakkan apa yang disebut sebagai “sekolah aman dan sehat”.

Kasus-kasus perundungan sampai kekerasan seksual disebut menjadi “PR besar” dan harus menjadi “perhatian” untuk mewujudkan sekolah yang aman dan sehat.

Wartawan Noni Arnie di Semarang berkontribusi dalam artikel ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Sopir Mobil yang Terbakar di Banyumas Masih Misterius, Sempat Terekam Berjalan Santai Menjauhi TKP

Sopir Mobil yang Terbakar di Banyumas Masih Misterius, Sempat Terekam Berjalan Santai Menjauhi TKP

Regional
Pemkab Kediri Alokasikan Dana Hibah Rp 5 Miliar, Mas Dhito: Komitmen Tuntaskan PTSL

Pemkab Kediri Alokasikan Dana Hibah Rp 5 Miliar, Mas Dhito: Komitmen Tuntaskan PTSL

Regional
Kunjungi Korban Banjir Lahar Dingin di Sumbar, Jokowi Bagikan Sembako

Kunjungi Korban Banjir Lahar Dingin di Sumbar, Jokowi Bagikan Sembako

Regional
Masuk Musim Kemarau, 80 KK di Semarang Kekurangan Air Bersih

Masuk Musim Kemarau, 80 KK di Semarang Kekurangan Air Bersih

Regional
Bocah 14 Tahun di Bali Diperkosa 3 Pria Dewasa di Hotel, Korban Kenal Pelaku di Medsos

Bocah 14 Tahun di Bali Diperkosa 3 Pria Dewasa di Hotel, Korban Kenal Pelaku di Medsos

Regional
Viral, Unggahan Website Resmi Pemkot Posting Berita Wali Kota Semarang Maju Pilkada, Ini Penjelasan Kominfo

Viral, Unggahan Website Resmi Pemkot Posting Berita Wali Kota Semarang Maju Pilkada, Ini Penjelasan Kominfo

Regional
Tak Diizinkan Mancing, Pelajar SMP di Kalbar Nekat Bunuh Diri dengan Senapan Angin

Tak Diizinkan Mancing, Pelajar SMP di Kalbar Nekat Bunuh Diri dengan Senapan Angin

Regional
Pedagang di Ambon Plaza Mogok Jualan karena Harga Sewa Kios Naik

Pedagang di Ambon Plaza Mogok Jualan karena Harga Sewa Kios Naik

Regional
Melalui Festival Budaya Isen Mulang 2024, Gubernur Sugianto Kenalkan Potensi dan Budaya Kalteng

Melalui Festival Budaya Isen Mulang 2024, Gubernur Sugianto Kenalkan Potensi dan Budaya Kalteng

Kilas Daerah
Pelajar SMA di Morowali Tega Bunuh Ibunya Saat Tidur, Apa yang Terjadi?

Pelajar SMA di Morowali Tega Bunuh Ibunya Saat Tidur, Apa yang Terjadi?

Regional
Duduk Perkara Malapraktik di Prabumulih, Bidan yang Menjabat sebagai Lurah Jadi Tersangka

Duduk Perkara Malapraktik di Prabumulih, Bidan yang Menjabat sebagai Lurah Jadi Tersangka

Regional
Viral Video 4 Wanita dan Satu Polisi Merokok Sambil Konsumsi Miras, Diduga di Mapolres Sikka

Viral Video 4 Wanita dan Satu Polisi Merokok Sambil Konsumsi Miras, Diduga di Mapolres Sikka

Regional
Pilkada Demak, PPP Bakal Usung 3 Nama, Baru Satu yang Ambil Formulir

Pilkada Demak, PPP Bakal Usung 3 Nama, Baru Satu yang Ambil Formulir

Regional
Selundupkan Benih Lobster Senilai Rp 15,9 Miliar, 2 Pelaku Ditangkap

Selundupkan Benih Lobster Senilai Rp 15,9 Miliar, 2 Pelaku Ditangkap

Regional
Pemprov Jateng Buka Magang Jepang Tanpa Kuota Pendaftar, Ini Perinciannya

Pemprov Jateng Buka Magang Jepang Tanpa Kuota Pendaftar, Ini Perinciannya

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com