SAMARINDA, KOMPAS.com – Suatu sore pada Mei 2014 suasana di Kampung Long Isun, Kecamatan Long Pahangai, Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur, masih cerah.
Sore itu, Theodorus Tekwan Ajat (44) bersama 26 warga kampung mendatangi lokasi hutan adat mereka yang dirusak salah satu perusahaan kayu.
Keberangkatan mereka atas keputusan rapat adat bersama kepala kampung.
“Kami berangkat 26 orang didampingi oleh hansip kampung,” kenang Tekwan kepada Kompas.com saat dihubungi belum lama ini.
Baca juga: Cerita Warga yang Tergerus Alih Fungsi Lahan, Terpaksa Tanam Sayur di Bot Bekas
Dari kampung mereka menuju lokasi operasi perusahaan kayu ini sekitar empat kilometer.
Rombongan ini berjalan kaki menyusuri hutan adat yang masih primer. Pohon-pohon menjulang tinggi nan hijau. Tutupan hutan masih utuh.
“Sesampai di sana pekerja perusahaan tebang pohon. Saat mereka tahu kami datang. Mereka berhenti kerja, kumpul sama kami,” jelas Tekwan.
Kepada para pekerja, Tekwan menyampaikan tujuan kedatangan mereka meminta agar berhenti menebang kayu-kayu di hutan adat ini.
“Lalu mereka (pekerja) menyerahkan kunci dua unit traktor dan chainsaw secara sukarela ke kami. Kebetulan, operator alat traktor saudara sepupu saya,” terang Tekwan.
Baca juga: Banjir Rusak Ratusan Hektar Sawah di Bengkulu, Disebabkan Alih Fungsi Lahan Jadi Perkebunan Sawit
Pascakejadian itu, perusahaan membuat laporan ke Polres Kutai Barat. Tepat 1 September 2014, Tekwan ditetapkan tersangka.
Dia dijerat Pasal 368 KUHP Jo Pasal 335 Ayat (1) KUHP dan ditahan.
“Saya dituduh melakukan pemerasan disertai kekerasan. Padahal operator perusahaan kayu itu saudara saya sendiri. Tidak mungkin saya lakukan kekerasan,” terang Tekwan.