Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Kereta Cibatu-Garut, Ditumpangi Charlie Chaplin hingga Kejayaan Belanda

Kompas.com - 03/08/2019, 09:40 WIB
Reni Susanti,
David Oliver Purba

Tim Redaksi

Kejayaan Belanda

Sejumlah stasiun ini berdiri di masa kejayaan Belanda. Kereta yang digunakan campuran dalam satu rangkaian. Ada penumpang, barang, dan bahan bakar.

Untuk orang Belanda, mereka duduk di  kelas VIP, 1, dan 2. Sedangkan pribumi duduk di kelas 3 di kereta yang berkecepatan 40-50 km/jam.

Kereta uap ini masuk hingga pedalaman dan mengangkut hasil bumi seperti teh dan sayur. Hasil bumi itu diangkut dan dikirim ke pelabuhan atau kota besar.

Jalur ini bertahan sampai bermunculannya industri truk diiringi jalan raya yang mulai bagus. Para pengguna kereta api beranggapan, truk lebih ekonomis karena waktunya fleksibel.

“Di sisi lain, sarana prasarana kereta terhitung mahal. Akhirnya jalur kereta rata-rata tutup di tahun 1980an,” ungkapnya.

Charlie Chaplin

Hal menarik lainnya dari kereta Cibatu-Garut adalah Charlie Chaplin. Deden mengatakan, kedatangan Charlie Chaplin ke Garut tidak banyak didokumentasikan.

Dari literasi yang diperolehnya, Charlie Chaplin datang ke Garut dan berfoto dengan masyarakat di Stasiun Garut tahun 1932.

Menurut literatur, Charlie Chaplin menggunakan kereta dari Stasiun Garut ke Cibatu. Dari Cibatu ia melanjutkan perjalanan dengan kereta ke Yogyakarta. Kemudian ke Surabaya menggunakan mobil.

Baca juga: Kisah Jumainah, Buktikan Jika Nominal Bukan Halangan untuk Bersedekah

Diambil Jepang

Rencananya, sambung Deden, Belanda akan melanjutkan pembangunan jalur kereta dari Cikajang ke Pameungpeuk dan jalur selatan.

Begitupun jalur Ciwidey, akan diteruskan ke Rancabuaya dan pantai selatan. Namun, rencana itu gagal karena Belanda mengalami krisis ekonomi yang berimbas pada negara jajahan.

“Sialnya lagi Jepang masuk, beberapa jalur diambil Jepang yakni Dayeuh Kolot-Majalaya, Tasik-Singaparna, Rancaekek-Tanjungsari,” tuturnya.

Jepang kemudian berencana membangun rel dari Cicalengka ke Majalaya dengan membuat trase dan pemadatan tanah. Namun, Jepang kalah dan proyek tidak diteruskan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com