Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Kereta Cibatu-Garut, Ditumpangi Charlie Chaplin hingga Kejayaan Belanda

Kompas.com - 03/08/2019, 09:40 WIB
Reni Susanti,
David Oliver Purba

Tim Redaksi

BANDUNG, KOMPAS.com – Jalur kereta api Cibatu-Garut sepanjang 19,5 meter tengah direaktivasi. Seluruh pembongkaran bangunan telah selesai, dan rencananya bisa dioperasikan awal 2020.

Jalur ini dibangun setelah Bogor, Bandung-Cicalengka tahun 1884. Pembangunan kemudian dilanjutkan ke arah selatan. Dari Cibatu, jalur dibagi menjadi dua cabang yakni ke Warung Bandrek dan Garut.

“Keduanya sama-sama diresmikan 14 Agustus 1889,” ujar Korwil Indonesia Railways Preservation Society, Deden Suprayitno kepada Kompas.com, Jumat (2/8/2019).

Baca juga: Kisah Wawan, Kayuh Becak dengan Satu Kaki demi Keluarga

Deden menjelaskan, pembangunan dari Cicalengka menuju Garut membutuhkan waktu sekitar 5 tahun. Sebab di daerah Cicalengka, Nagreg, dan Leles, jalur harus menembus bukit yang kontur tanahnya lumayan tinggi.

Sinyal Krian

Saat ini di sepanjang jalur tersebut masih ada beberapa artefak yang menunjukkan perkeretapian masa lalu. Salah satunya sistem persinyalan yang masih lengkap. Namanya sinyal krian atau tebeng.

Artefak ini menjadi satu-satunya yang masih lengkap di Jawa Barat. Di Indonesia, persinyalan lengkap sisa masa Belanda juga ditemukan di Bondowoso.

Sinyal krian masih berdiri tegak di daerah Ciwalen, Garut. Namun, sinyal tersebut sudah tampak berkarat termakan usia.

Dulu, sinyal itu berfungsi sebagai rambu-rambu untuk meminta izin boleh tidaknya kereta masuk ke stasiun atau cara masinis memberi tahu untuk memasuki daerah stasiun.

“Setelah reaktivasi, persinyalan akan diganti. Namun, sinyal peninggalan Belanda ini akan dimonumenkan,” ucapnya.

Stasiun Garut

Artefak lainnya yang masih berdiri adalah beberapa stasiun di antaranya Stasiun Garut dan Cikajang. Stasiun Garut yang didirikan 1889 pada mulanya dibangun dengan arsitektur Eropa.

Itu bisa dilihat dari beberapa rumah dinas yang kental dengan arsitektur Belanda. Begitupun dengan kantor pos dan telegram yang berada di sekitar Stasiun Garut.

Dalam perkembangannya, stasiun lama yang dianggap sebagai bangunan strategis hancur dalam agresi militer Belanda tahun 1947. Kemudian dibangun kembali dengan desain baru pada 1949.

“Jadi bangunan yang ada sekarang merupakan hasil pembangunan tahun 1949,” tuturnya.

Stasiun Cikajang sendiri merupakan yang tertinggi di Indonesia. Stasiun ini terletak di ketinggian 1.246 mdpl, sama dengan ketinggian Terowongan St Gotthard di Swiss.

Kejayaan Belanda

Sejumlah stasiun ini berdiri di masa kejayaan Belanda. Kereta yang digunakan campuran dalam satu rangkaian. Ada penumpang, barang, dan bahan bakar.

Untuk orang Belanda, mereka duduk di  kelas VIP, 1, dan 2. Sedangkan pribumi duduk di kelas 3 di kereta yang berkecepatan 40-50 km/jam.

Kereta uap ini masuk hingga pedalaman dan mengangkut hasil bumi seperti teh dan sayur. Hasil bumi itu diangkut dan dikirim ke pelabuhan atau kota besar.

Jalur ini bertahan sampai bermunculannya industri truk diiringi jalan raya yang mulai bagus. Para pengguna kereta api beranggapan, truk lebih ekonomis karena waktunya fleksibel.

“Di sisi lain, sarana prasarana kereta terhitung mahal. Akhirnya jalur kereta rata-rata tutup di tahun 1980an,” ungkapnya.

Charlie Chaplin

Hal menarik lainnya dari kereta Cibatu-Garut adalah Charlie Chaplin. Deden mengatakan, kedatangan Charlie Chaplin ke Garut tidak banyak didokumentasikan.

Dari literasi yang diperolehnya, Charlie Chaplin datang ke Garut dan berfoto dengan masyarakat di Stasiun Garut tahun 1932.

Menurut literatur, Charlie Chaplin menggunakan kereta dari Stasiun Garut ke Cibatu. Dari Cibatu ia melanjutkan perjalanan dengan kereta ke Yogyakarta. Kemudian ke Surabaya menggunakan mobil.

Baca juga: Kisah Jumainah, Buktikan Jika Nominal Bukan Halangan untuk Bersedekah

Diambil Jepang

Rencananya, sambung Deden, Belanda akan melanjutkan pembangunan jalur kereta dari Cikajang ke Pameungpeuk dan jalur selatan.

Begitupun jalur Ciwidey, akan diteruskan ke Rancabuaya dan pantai selatan. Namun, rencana itu gagal karena Belanda mengalami krisis ekonomi yang berimbas pada negara jajahan.

“Sialnya lagi Jepang masuk, beberapa jalur diambil Jepang yakni Dayeuh Kolot-Majalaya, Tasik-Singaparna, Rancaekek-Tanjungsari,” tuturnya.

Jepang kemudian berencana membangun rel dari Cicalengka ke Majalaya dengan membuat trase dan pemadatan tanah. Namun, Jepang kalah dan proyek tidak diteruskan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com