"Mereka masuk Sebatik dengan sepeda motor. Kalau musim hujan, tantangannya jalan licin dan sulit dilewati. Tapi Alhamdulillah, kondisi jalan bukan masalah untuk mereka yang tetap memenuhi undangan kami," kata Mardin.
Ketua Bawaslu Nunukan, Mochammad Yusran, mengatakan, kebijakan mendatangkan para WNI yang merupakan pekerja perkebunan kelapa sawit di Malaysia, menjadi pilihan bijak.
"Ada beberapa Kecamatan di Pulau Sebatik Indonesia, Yaitu Kecamatan Sebatik Tengah, Sebatik Barat dan Sebatik Utara, yang memang sebagian pemilihnya didatangkan untuk coklit di perbatasan. Secara de jure, mereka terdata sebagai penduduk Pulau Sebatik. Tapi secara de facto, mereka tinggal di Malaysia, diluar teritorial Indonesia," ujarnya.
Yusran belum bisa memastikan, berapa jumlah WNI yang berdomisili di sempadan Malaysia.
Pengawasan coklit di perbatasan masih terus berlangsung. Coklit bagi warga perbatasan yang bermukim di Malaysia, bahkan dibuka hingga malam hari.
Ia menambahkan, meski tidak bisa memastikan semua WNI di Malaysia yang memiliki hak pilih datang untuk melakukan coklit, setidaknya, para penyelenggara Pemilu bisa meminimalisir resiko pelanggaran batas Negara.
"Kami punya pengalaman diamankan aparat Malaysia pada Pilkada Nunukan 2015 lalu. Kami saat itu masuknya izin, untuk memastikan WNI kita disana telah dicoklit. Namun pulangnya, kami digeledah dan diperiksa semua barang bawaan kami. Ada sekitar dua jam diperiksa, dan kami tidak ingin pengalaman itu terulang," ujarnya lagi.
Baca juga: Tokoh Masyarakat di Solo Jadi Sasaran Coklit Pilkada 2024, Berikut Namanya
Yusran menegaskan, sangat wajar apabila aparat keamanan di perbatasan memiliki kewaspadaan tinggi terhadap WNA.
Di samping itu, KPU dan Bawaslu juga berkewajiban menjamin hak pilih WNI, meski ada beberapa hal teknis tak bisa diterapkan, karena kekhususan wilayah dan masalah, seperti para pemilih yang berdomisili di Malaysia.
"Dalam rangka menyelamatkan hak pilih, jangan sampai yang procedural tekhnis mengalahkan substansi hak politiknya. Jadi pendataan itu penting, karena kalau tidak didata akan berbahaya. Dia tidak bisa menyalurkan hak pilihnya, dan beresiko kamtibmas yang pasti jadi problem besar," kata Yusran.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.