“Ketika kita tanya kepada pengungsi, mereka hanya bilang ini tekong (pemilik kapal) boat yang menerima uang. Jadi yang ditetapkan [tersangka] kemarin orang Rohingya dan Bangladesh itu hanya tekong dan pengumpul orang yang di sana, yang di Cox Bazaar,” jelas Nasruddin.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri, Brigjen Pol. Trunoyudo Wisnu Andiko mengatakan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) merupakan tindak pidana lintas negara.
Baca juga: 10 Jenazah Diduga Pengungsi Rohingya yang Tenggelam di Aceh Ditemukan
Oleh karena itu, ia mengatakan Divisi Hubungan Internasional Kepolisian Negara Republik Indonesia (Divhubinter Polri) terus berkoordinasi dengan Bareskrim dalam menangani tindak pidana tersebut.
“Karena ini transnational crime yang lintas negara, tentu membutuhkan langkah-langkah yang komprehensif antarnegara. Walaupun secara nasional, Polri dengan negara sudah membentuk direktorat khusus,” ujar Trunoyudo.
Juru bicara UNHCR Indonesia, Mitra Salima Suryono, menjelaskan bahwa pengungsi terpaksa meninggalkan Myanmar karena konflik yang berkecamuk di negara itu. Sehingga, kerap mereka tidak mengantongi dokumen resmi yang dibutuhkan untuk keluar dari negara.
“Mereka terpaksa menggunakan jalur-jalur yang menggunakan penyelundupan, karena mereka enggak punya dokumen travel yang legal yang bisa memungkinkan mereka travel lewat airport atau cara-cara yang sah lainnya,” kata Mitra.
Meski begitu, ia mengatakan bahwa UNHCR memiliki komitmen untuk memberantas jaringan penyelundup manusia dengan berkoordinasi dengan pihak otoritas terkait.
Sebab, jaringan penyelundup alias smuggling ring itu memanfaatkan keadaan pengungsi yang tidak memiliki pilihan lain untuk meraup keuntungan lebih.
Baca juga: Tim SAR Temukan Jenazah di Perairan Aceh, Diduga Pengungsi Rohingya
“Dari sisi pengungsinya, mereka banyak yang diperas. Uang mereka tidak punya banyak, hanya sedikit, diminta semuanya. Dan kalau misalnya tidak diberikan, mereka bisa menggunakan ancaman,” ujarnya.
Mitra mengatakan jaringan penyelundupan memiliki risiko besar membahayakan jiwa pengungsi, baik dari sisi eksploitasi maupun keamanan yang tidak selalu terjamin.
Kecelakaan kapal di perairan Meulaboh, yang diperkirakan menewaskan lebih dari 70 pengungsi dari 151 orang Rohingya yang berada di kapal tersebut, menjadi peringatan keras akan hal itu.
“Jadi sebenarnya bahayanya banyak sekali, tapi bahwa mereka sudah mengetahui bahayanya [namun] tetap memutuskan untuk berangkat. Itu artinya mereka sungguh terpaksa. Karena tidak mempunyai pilihan lain,” ungkap Mitra.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.