Setelah memeriksa tiga warga Aceh yang terdapat dalam rombongan pengungsi Rohingya, pihak kepolisian mendapatkan informasi tentang keberadaan HS yang diduga otak dari operasi penyelundupan pengungsi Rohingya.
Kemudian pada Senin (25/03) pukul 01.12 WIB, tim gabungan Sat Reskrim Polres Aceh Barat dan personil Ditreskrimsus Polda Aceh menangkap HS di Gerbang Tol Seulimuem saat hendak melarikan diri.
Berdasarkan keterangan dari HS, ia dijanjikan uang sejumlah Rp5 juta per pengungsi Rohingya dari seorang agen di Malaysia jika berhasil membawa para pengungsi ke Aceh untuk transit sebelum kemudian ke negara tujuan Malaysia.
Nasruddin, koordinator kemanusiaan dari Yayasan Geutanyoe, mengatakan bahwa ini bukan pertama kalinya warga lokal dilibatkan dalam tindakan penyelundupan pengungsi Rohingya lewat perairan Aceh.
Pada 2020, tiga nelayan Aceh ditetapkan sebagai tersangka akibat penyelundupan pengungsi Rohingya ke Indonesia. Dua tahun kemudian, pada 2022, hal yang sama kembali terjadi di Kuala Simpang Ulum ketika 81 pengungsi Rohingya ditemukan di perairan Aceh.
Kemudian pada November 2023, Kapolres Aceh Timur AKBP Andy Rahmansyah, menetapkan sopir truk sebagai tersangka dalam tindak pidana perdagangan orang (TPPO) terhadap 36 orang Rohingya yang mendarat di Ule Ateng, Aceh Timur.
“Semua di-iming-iming pakai uang, mereka tidak tahu bahwa orang yang menerima uang itu jadi tersangka," jelas Nasruddin, yang tengah melakukan penelitian tentang perjalanan pengungsi dari Bangladesh hingga sampai ke Aceh.
Baca juga: Pengungsi Rohingya di Aceh: Anak Saya Hilang, Saya Tak Mampu Menolongnya
"Artinya, penyuluhan juga bisa disampaikan ke masyarakat. Kalau masyarakat ingin mengambil uang mereka [pengungsi] artinya itu risiko. Dan risiko buat masyarakat, jangan nanti akibat perbuatan itu akan menambah konflik lagi di tengah masyarakat,” ujarnya kemudian.
Ia mengatakan keterlibatan orang lokal dalam operasi penyelundupan pengungsi Rohingya merupakan “modus operandi” yang terjadi berulang. Hanya saja modus yang sering digunakan saat ini adalah dengan kapal yang dikirim ke perairan.
Tak hanya itu, Nasruddin mengatakan skema penyelundupan manusia memiliki jejaring yang luas di antara tiga negara. Sehingga sulit untuk mencari dalang yang sebenarnya mengatur semua operasi.
“Kalau kita lihat, itu ada orang Bangladesh, Rohingya, dan orang kita yang terakhirnya. Karena tidak bisa juga kalau kita lakukan investigasi lebih dalam, sebenarnya berbeda tahun akan berbeda modusnya,” ungkapnya.
Pada Desember 2023 lalu, kepolisian Banda Aceh menetapkan dua tersangka, yang merupakan warga negara Bangladesh, atas dugaan tindak pidana penyelundupan orang (TPPO) terhadap 137 etnis Rohingya yang mendarat di pesisir pantai Aceh Besar.
Mereka merupakan nahkoda kapal yang membawa kapal yang berangkat dari Bangladesh menuju Indonesia dengan alat bantu kompas.
Nasruddin menduga bahwa agen-agen yang terlibat dalam penyelundupan pengungsi Rohingya posisinya “terputus dan tidak saling kenal".
"Hanya mungkin bisa jadi tahu atas nama, karena memang beberapa hal yang telah diungkap oleh polisi.”