Ia pun menegaskan kerja sama kawasan Asia Tenggara memegang peranan penting dalam penanganan penyelundup manusia. Isu ini sendiri sebenarnya bukan barang baru bagi ASEAN.
Baca juga: Ditolak Warga, 135 Pengungsi Rohingya yang Baru Tiba di Aceh Dipindahkan ke Kantor Gubernur
Sebagai mantan Wakil Indonesia di Komisi HAM Antar-Pemerintah ASEAN pada 2009-2015, Rafendi sudah mengendus peran penyelundup manusia dalam deras arus pengungsi Rohingya sejak 2015 silam, ketika terjadi Krisis Laut Andaman.
Kala itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa memperkirakan 100.000 orang Rohingya kabur dari Myanmar akibat persekusi dan konflik berkepanjangan di negara tersebut.
Dengan kapal, mereka mengarungi Laut Andaman untuk mencari perlindungan di sejumlah negara Asia Tenggara, seperti Thailand, Malaysia, dan Indonesia.
“Respons pertama tahun 2015, dibuat pertemuan antara bareskrim negara-negara Asia Tenggara, sampai pertemuan tingkat menteri. Keluarlah deklarasi untuk merespons itu,” tutur Rafendi.
Baca juga: Soal Pengungsi Rohingya, Menkumham: Mereka Korban Mafia
Dari pertemuan itu, tercapailah action lines atau langkah aksi yang menjadi pedoman dan komitmen ASEAN dalam menangani berbagai kejahatan lintas batas, termasuk penyelundupan dan perdagangan orang.
“Jadi sebenarnya sudah ada mekanismenya, tapi kenapa itu terulang terus? Satu, action line ini tidak terlalu konsisten dijalankan,” kata Rafendi.
Rafendi mengakui bahwa dalam kasus pengungsi Rohingya, ASEAN juga harus menggandeng Bangladesh sebagai negara asal pengungsian.
Ia lantas menyatakan ASEAN sebenarnya bisa bekerja sama dengan Bangladesh melalui mekanisme Bali Process yang diketuai oleh Indonesia dan Australia.
Beranggotakan 48 negara termasuk Bangladesh, Bali Process didirikan untuk mengeratkan kerja sama kawasan dalam menangkal kejahatan lintas batas, termasuk TPPO dan penyelundupan manusia.
Baca juga: 300 Pengungsi Rohingya Mendarat Lagi di Aceh, Ditemukan Tumpukan Kartu Pengungsi PBB
“Dari situ sebenarnya bisa dilakukan upaya kerja sama keamanan untuk bisa menentukan langkah-langkah keamanan, mendeteksi people smuggling, kemudian mencegah dan melakukan intersepsi,” ucap Rafendi.
“Mereka harusnya punya kemampuan itu. Ini yang tidak berjalan. Itu yang menyebabkan masih saja pengungsi Rohingya datang.”
Beberapa hari belakangan, sekitar 400 pengungsi mendarat di Aceh. Total pengungsi Rohingya yang berlindung di Aceh kini sudah mencapai lebih dari 1.500 orang.
Rafendi pun mendesak Indonesia untuk menggulirkan roda kerja sama ASEAN ini agar kejahatan lintas batas seperti penyelundupan orang ini dapat diselesaikan dengan baik.
“Indonesia harus taking lead, karena Indonesia kemarin ketua ASEAN. Indonesia juga merupakan negara besar di ASEAN. Di Bali Process, Indonesia adalah co-chair, yang berarti pimpinan, bersama Australia,” tutur Rafendi.
Baca juga: Setelah Diperiksa, 6 Rohingya Dikembalikan ke Kamp Penampungan Lhokseumawe
Namun ketika sudah tiba di Aceh, Indonesia juga memang harus memperkuat pengawasan terhadap para pengungsi. Kepolisian Aceh sempat mengungkap bahwa Indonesia kerap kali hanya menjadi negara transit.
Para penyelundup manusia biasanya membawa para pengungsi ke Aceh. Dari Aceh, mereka akan dibawa ke Malaysia melalui jalur darat.
“Kalau diperhatikan, para pengungsi yang dari tahun 2015, kan awalnya banyak. Terus tiba-tiba menyusut jumlahnya jadi puluhan yang tersisa. Ke mana mereka? Mereka lari,” kata Rafendi.
“Dibantu siapa? Dibantu juga sama orang-orang lokal yang menjadi bagian dari penyelundupan manusia. Kalau bicara kejahatan penyelundupan manusia, itu bisa melibatkan orang lokal. Dia juga bisa melibatkan oknum-oknum yang ada di dalam pengungsi sendiri.”
Dugaan ini terbukti dari operasi kepolisian di Aceh. Pada pertengahan November lalu, kepolisian Aceh sempat menangkap satu sopir truk yang membawa puluhan pengungsi Rohingya.
Meski demikian, Mutiara Pertiwi menggarisbawahi bahwa dalam kasus ini, Rohingya tak bisa disalahkan karena dalam norma internasional, pengungsi seharusnya dilindungi.
“Dalam prinsip perlindungan pengungsi itu ada yang namanya non-penalisation. Bukan berarti membenarkan praktik-praktik kriminal yang bersinggungan dengan penyelundupan manusia, tapi justru melihat bahwa pengungsi ini dalam kondisi tidak punya pilihan lain, sangat rentan,” ujarnya.
Baca juga: Polisi: Agen Minta Ongkos Dahulu ke Setiap Pengungsi Rohingya Sebelum Kapal Berangkat