Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dugaan Penyelundupan Manusia di Balik Gelombang Pengungsi Rohingya di Aceh

Kompas.com - 12/12/2023, 05:45 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Indonesia dinilai terjebak dilema antara melakukan tindakan kemanusiaan dan menjaga keamanan setelah Presiden Joko Widodo menyebut dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dalam gelombang pengungsi Rohingya di Aceh. Apa yang bisa dilakukan saat kebencian masyarakat kian kuat akibat hoaks?

Pengamat hubungan internasional dari UIN Jakarta, Mutiara Pertiwi, mengatakan pemerintah Indonesia harus mencari jalan tengah karena dilema memang akan terus membayangi negara yang menjadi tujuan maupun tempat transit para pengungsi.

“Sebenarnya ini tidak hanya di pengungsi Rohingya. Kecurigaan ada kelindan antara sindikat penyelundupan dan jalur migrasi pencari suaka ini memang menjadi dilema di semua tempat transit maupun destinasi suaka,” ujar Mutiara kepada BBC News Indonesia.

Baca juga: Mahfud MD Ungkap 3 Provinsi Bakal Berembuk Tangani Masalah Pengungsi Rohingya

Pengamat sekaligus anggota Human Rights Resource for ASEAN, Rafendi Djamin, juga menegaskan pemerintah mau tak mau harus menangani pengungsi yang sudah menginjakkan kaki di Aceh karena Indonesia juga terikat dengan norma-norma internasional.

Meski demikian, Indonesia juga harus menjaga keamanan dari sindikat penyelundup manusia. Namun, karena sindikat penyelundup bekerja lintas perbatasan, maka penyelesaiannya pun harus dilakukan dengan kerja sama regional, terutama ASEAN.

Lebih jauh, Mutiara mendesak pemerintah untuk bergerak cepat. Menurutnya, sentimen masyarakat di Aceh dan jagat maya semakin negatif terhadap Rohingya karena pemerintah bak lepas tangan pada masa awal kedatangan para pengungsi.

“Negara tidak hadir ketika para Rohingya ini baru datang sehingga peran yang seharusnya diambil oleh pemerintah justru diserahkan kepada masyarakat,” katanya.

Baca juga: Ditolak Sana-sini, 135 Warga Rohingya Akhirnya Diungsikan ke Aceh Besar

Dilema pemerintah dalam pernyataan Jokowi

Isu penyelundupan manusia ini kembali menjadi sorotan setelah Presiden Jokowi menyebutnya secara spesifik dalam pidato pada Jumat (08/12) - dua hari sebelum sekitar 400 pengungsi Rohingya menambah gelombang kedatangan etnis tersebut di Aceh sebulan terakhir.

“Terdapat dugaan kuat keterlibatan jaringan tindak pidana perdagangan orang TPPO dalam arus pengungsian ini. Pemerintah akan menindak tegas pelaku TPPO dan bantuan kemanusiaan sementara kepada pengungsi akan diberikan dengan mengutamakan kepentingan masyarakat lokal,” ujar Jokowi pada Jumat (08/12).

Dalam pernyataan tersebut, Jokowi menyentuh tiga aspek penting dalam penanganan masalah Rohingya: mementingkan keamanan dengan memberantas tindak pidana perdagangan orang (TPPO), tapi juga memberikan bantuan kemanusiaan terhadap Rohingya di tengah penolakan warga lokal.

Baca juga: Menurut Jokowi, Pemerintah Masih Diskusi dengan UNHCR soal Pengungsi Rohingya di RI

Peyelundup manusia di tengah derita Rohingya

135 warga Rohingya berada di kantor Gubernur Aceh, Banda Aceh, Senin (11/12/2023) KOMPAS.com/RAJA UMAR 135 warga Rohingya berada di kantor Gubernur Aceh, Banda Aceh, Senin (11/12/2023)
Rafendi menganggap masalah pengungsi Rohingya ini sebenarnya lebih tepat dikatakan akibat peran serta penyelundup manusia, bukan lantaran perdagangan orang.

“Ada perbedaan antara TPPO dan people smuggling. Kalau people smuggling, ada keinginan orang itu untuk keluar, untuk melakukan proses membayar kepada jaringan penyelundup ini. Mereka dijanjikan untuk bisa berangkat,” ujar Rafendi kepada BBC News Indonesia.

“TPPO berbeda karena korbannya tidak sukarela untuk ikut. Dia biasanya dijebak dan ditipu, kemudian dieksploitasi. Tidak tepat mengatakan bahwa Rohingya adalah korban TPPO. Lebih banyak people smuggling.”

Dalam pemaparan terakhirnya, kepolisian menyebut sindikat yang membawa pengungsi Rohingya sebagai penyelundup manusia

Baca juga: Diadang Warga, Truk Pengangkut 135 Pengungsi Rohingya Putar Balik ke Kantor Gubernur Aceh

Kepolisian Aceh sendiri sudah beberapa kali mengungkap penangkapan tersangka yang menyelundupkan para pengungsi Rohingya, terakhir kali pada pekan lalu di Pidie, Aceh.

Kapolres Pidie, Imam Asfali, pada 6 Desember lalu mengumumkan bahwa jajarannya membekuk seorang pria asal Bangladesh berinisial HM (70) yang diduga menyelundupkan Rohingya ke Aceh.

Imam mengatakan HM diduga menyediakan dua kapal kayu untuk mengangkut Rohingya dari kamp pengungsian di Bangladesh menuju Aceh.

"Setiap penumpang kapal yang anak dibebankan membayar sebesar 50.000 taka atau kalau di-Rupiah-kan Rp7 juta, sedangkan dewasa sebesar 100.000 taka atau sekitar Rp 14 juta,” kata Imam.

Baca juga: Komnas HAM Klaim Sudah Pantau Kondisi Pengungsi Rohingya di Aceh

Ia kemudian berkata, “Apabila ditotalkan, agen mendapatkan hasil kejahatan tersebut bila dihitung kurs Indonesia sebesar Rp3,3 miliar.”

Saat ini, HM ditahan di Polres Pidie untuk pemeriksaan lebih lanjut. Ia dijerat Pasal 120 Ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian dan Pasal 55 Ayat (1) Ke 1 KUHP.

Rafendi mengatakan bahwa penyelundupan manusia seperti ini seharusnya dicegah sejak awal, di titik keberangkatan Rohingya di Bangladesh.

“Penyelundupan manusia harus di-tackle di awalnya. Sebelum dia berangkat, seharusnya sudah bisa di-intercept. Kerja samanya lebih di luar. Kalau di lokal ini ya kita sudah terima jadi,” ucap Rafendi.

Ia pun menegaskan kerja sama kawasan Asia Tenggara memegang peranan penting dalam penanganan penyelundup manusia. Isu ini sendiri sebenarnya bukan barang baru bagi ASEAN.

Baca juga: Ditolak Warga, 135 Pengungsi Rohingya yang Baru Tiba di Aceh Dipindahkan ke Kantor Gubernur

Pengungsi Rohingya kembali berlabuh di Aceh Besar, dan mendapat penolakan dari warga. Mereka kemudian diantarkan ke kantor Gubernur Aceh, Minggu (10/12/2023).KOMPAS.COM/DASPRIANI Y. ZAMZAMI Pengungsi Rohingya kembali berlabuh di Aceh Besar, dan mendapat penolakan dari warga. Mereka kemudian diantarkan ke kantor Gubernur Aceh, Minggu (10/12/2023).
Sebagai mantan Wakil Indonesia di Komisi HAM Antar-Pemerintah ASEAN pada 2009-2015, Rafendi sudah mengendus peran penyelundup manusia dalam deras arus pengungsi Rohingya sejak 2015 silam, ketika terjadi Krisis Laut Andaman.

Kala itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa memperkirakan 100.000 orang Rohingya kabur dari Myanmar akibat persekusi dan konflik berkepanjangan di negara tersebut.

Dengan kapal, mereka mengarungi Laut Andaman untuk mencari perlindungan di sejumlah negara Asia Tenggara, seperti Thailand, Malaysia, dan Indonesia.

“Respons pertama tahun 2015, dibuat pertemuan antara bareskrim negara-negara Asia Tenggara, sampai pertemuan tingkat menteri. Keluarlah deklarasi untuk merespons itu,” tutur Rafendi.

Baca juga: Soal Pengungsi Rohingya, Menkumham: Mereka Korban Mafia

Dari pertemuan itu, tercapailah action lines atau langkah aksi yang menjadi pedoman dan komitmen ASEAN dalam menangani berbagai kejahatan lintas batas, termasuk penyelundupan dan perdagangan orang.

“Jadi sebenarnya sudah ada mekanismenya, tapi kenapa itu terulang terus? Satu, action line ini tidak terlalu konsisten dijalankan,” kata Rafendi.

Rafendi mengakui bahwa dalam kasus pengungsi Rohingya, ASEAN juga harus menggandeng Bangladesh sebagai negara asal pengungsian.

Ia lantas menyatakan ASEAN sebenarnya bisa bekerja sama dengan Bangladesh melalui mekanisme Bali Process yang diketuai oleh Indonesia dan Australia.

Beranggotakan 48 negara termasuk Bangladesh, Bali Process didirikan untuk mengeratkan kerja sama kawasan dalam menangkal kejahatan lintas batas, termasuk TPPO dan penyelundupan manusia.

Baca juga: 300 Pengungsi Rohingya Mendarat Lagi di Aceh, Ditemukan Tumpukan Kartu Pengungsi PBB

“Dari situ sebenarnya bisa dilakukan upaya kerja sama keamanan untuk bisa menentukan langkah-langkah keamanan, mendeteksi people smuggling, kemudian mencegah dan melakukan intersepsi,” ucap Rafendi.

“Mereka harusnya punya kemampuan itu. Ini yang tidak berjalan. Itu yang menyebabkan masih saja pengungsi Rohingya datang.”

Beberapa hari belakangan, sekitar 400 pengungsi mendarat di Aceh. Total pengungsi Rohingya yang berlindung di Aceh kini sudah mencapai lebih dari 1.500 orang.

Rafendi pun mendesak Indonesia untuk menggulirkan roda kerja sama ASEAN ini agar kejahatan lintas batas seperti penyelundupan orang ini dapat diselesaikan dengan baik.

“Indonesia harus taking lead, karena Indonesia kemarin ketua ASEAN. Indonesia juga merupakan negara besar di ASEAN. Di Bali Process, Indonesia adalah co-chair, yang berarti pimpinan, bersama Australia,” tutur Rafendi.

Baca juga: Setelah Diperiksa, 6 Rohingya Dikembalikan ke Kamp Penampungan Lhokseumawe

Namun ketika sudah tiba di Aceh, Indonesia juga memang harus memperkuat pengawasan terhadap para pengungsi. Kepolisian Aceh sempat mengungkap bahwa Indonesia kerap kali hanya menjadi negara transit.

Para penyelundup manusia biasanya membawa para pengungsi ke Aceh. Dari Aceh, mereka akan dibawa ke Malaysia melalui jalur darat.

“Kalau diperhatikan, para pengungsi yang dari tahun 2015, kan awalnya banyak. Terus tiba-tiba menyusut jumlahnya jadi puluhan yang tersisa. Ke mana mereka? Mereka lari,” kata Rafendi.

“Dibantu siapa? Dibantu juga sama orang-orang lokal yang menjadi bagian dari penyelundupan manusia. Kalau bicara kejahatan penyelundupan manusia, itu bisa melibatkan orang lokal. Dia juga bisa melibatkan oknum-oknum yang ada di dalam pengungsi sendiri.”

Dugaan ini terbukti dari operasi kepolisian di Aceh. Pada pertengahan November lalu, kepolisian Aceh sempat menangkap satu sopir truk yang membawa puluhan pengungsi Rohingya.

Meski demikian, Mutiara Pertiwi menggarisbawahi bahwa dalam kasus ini, Rohingya tak bisa disalahkan karena dalam norma internasional, pengungsi seharusnya dilindungi.

“Dalam prinsip perlindungan pengungsi itu ada yang namanya non-penalisation. Bukan berarti membenarkan praktik-praktik kriminal yang bersinggungan dengan penyelundupan manusia, tapi justru melihat bahwa pengungsi ini dalam kondisi tidak punya pilihan lain, sangat rentan,” ujarnya.

Baca juga: Polisi: Agen Minta Ongkos Dahulu ke Setiap Pengungsi Rohingya Sebelum Kapal Berangkat

Keamanan vs kemanusian

Sejumlah imigran etnis Rohingya beristirahat usai terdampar di Blang Raya, Kecamatan Muara Tiga, Kabupaten Pidie, Aceh, Selasa (14/11/2023). Sebanyak 196 orang imigran etnis Rohingya yang terdiri dari 61 orang laki-laki, 69 orang perempuan dan 59 orang anak-anak menaiki perahu dan terdampar di pantai Desa Blang Raya. 
ANTARA FOTO/Joni Saputra Sejumlah imigran etnis Rohingya beristirahat usai terdampar di Blang Raya, Kecamatan Muara Tiga, Kabupaten Pidie, Aceh, Selasa (14/11/2023). Sebanyak 196 orang imigran etnis Rohingya yang terdiri dari 61 orang laki-laki, 69 orang perempuan dan 59 orang anak-anak menaiki perahu dan terdampar di pantai Desa Blang Raya.
Berangkat dari pemahaman bahwa pengungsi bukan pelaku tindak kriminal, Mutiara miris ketika melihat aparat masih menggunakan paradigma yang mengenyampingkan kemanusiaan.

“Aparat menyamakan para pengungsi itu sebagai kriminal, padahal kita melihatnya mereka memang mencari keselamatan, dan jalur-jalur formalnya sangat minim sehingga mereka mencari jalur-jalur yang informal,” ucap Mutiara.

“Benar, kebanyakan dari mereka undocumented karena memang status mereka di negaranya dalam situasi yang problematik.”

Rohingya memang merupakan minoritas Muslim di Myanmar. Di negara tersebut, Rohingya tak diakui sebagai warga negara, membuat mereka menjadi korban persekusi dan akhirnya kabur ke Bangladesh dan negara-negara lain.

Baca juga: 200 Pengungsi Rohingya Kembali Mendarat di Aceh dengan 2 Kapal

Melihat status Rohingya sebagai pengungsi yang seharusnya dilindungi, Mutiara bingung dengan ketidakselarasan aturan di Indonesia.

Dalam Undang-Undang Hubungan Luar Negeri tahun 1999, tertera penjelasan bahwa manusia berhak mencari suaka. Artinya, Indonesia mengakui ada kelompok manusia yang dalam kondisi terpaksa harus meminta perlindungan ke negara lain.

Di sisi lain, undang-undang keimigrasian di Indonesia, kata Mutiara, tak mencakup aturan mengenai pengungsi dan pencari suaka sehingga orang yang datang tanpa dokumen lengkap bakal dianggap sebagai pelaku kriminal.

“Ada clash antara UU hubungan luar negeri dan perpres dan imigrasi. Kita inginnya ada harmonisasinya dengan mengimbangi paradigma keamanan dan paradigma pengungsi,” katanya.

Baca juga: Kisah Pulau Galang, dari Kamp Vietnam, RSKI Covid-19, hingga Opsi Penampungan Pengungsi Rohingya

Meski demikian, kekosongan aturan ini sebenarnya sudah terisi dengan kehadiran Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 Tentang Penanganan Pengungsi Luar Negeri.

“Perpres 125 Tahun 2016 itu ada di tengah-tengah. Itu mengakui ada pengungsi, dan dia bilang bahwa negara mengambil peran untuk mengelola masalah ini, artinya tidak menelantarkan pengungsi,” ucap Mutiara.

Ketidakjelasan picu amarah warga

Pengungsi Rohingya saat berada di pantai Desa Ie Meulee, Kecamatan Sukajaya, Kota Sabang, Provinsi Aceh, Sabtu (2/12/2023).DOKUMENTASI AULIA Pengungsi Rohingya saat berada di pantai Desa Ie Meulee, Kecamatan Sukajaya, Kota Sabang, Provinsi Aceh, Sabtu (2/12/2023).
Mutiara pun menyayangkan pemerintah tak langsung menjalankan perannya sesuai dengan perpres tersebut ketika gelombang pengungsi Rohingya kembali menerjang Aceh pada pertengahan November lalu.

Menurutnya, ketidakhadiran pemerintah ini menambah rasa frustrasi warga hingga akhirnya memicu penolakan dan kebencian yang berkembang belakangan ini.

“Negara tidak hadir sehingga akhirnya kondisi-kondisi di titik paling darurat, ketika para Rohingya ini baru datang, peran yang seharusnya diambil oleh pemerintah justru diserahkan kepada masyarakat,” ucap Mutiara.

Belakangan, sentimen negatif warga terhadap pengungsi Rohingya memang kian berkembang. Sejumlah warga Aceh menyatakan bahwa awalnya, mereka memang menerima Rohingya dengan tangan terbuka.

Baca juga: Dalam 2 Pekan Terakhir, Ada 30 Pengungsi Rohingya Kabur dari Penampungan di Lhokseumawe Aceh

Namun, mereka jengah dengan kelakuan Rohingya yang sering kabur dan berperilaku tak sesuai nilai-nilai setempat. Sumbu kebencian warga itu semakin berkobar karena dibakar dengan segala hoaks di jagat maya.

Melihat fenomena belakangan ini, Rafendi memandang pemerintah seharusnya menggandeng masyarakat untuk bekerja sama mencegah penyebaran hoaks yang pada akhirnya menimbulkan kebencian terhadap Rohingya.

“Soal kejahatan penyelundupan manusianya ada di kepolisian. Soal kemanusiaannya [termasuk mencegah penyebaran kebencian] ada di tangan Satgas Penanganan Pengungsi Luar Negeri dibantu dengan dinas sosial,” tutur Rafendi.

Senada dengan Rafendi, Mutiara juga menganggap pemerintah harus mencari keseimbangan peran agar unsur kemanusiaan terhadap para pengungsi dapat terpenuhi, tapi juga tetap menjaga keamanan Indonesia.

Baca juga: Jejaring Rohingya Kabur dari Aceh ke Malaysia …

“Kalau jaringan penyelundupnya memang perlu diproses dengan adil dan sesuai hukum yang berlaku di Indonesia. Ke depannya itu bagaimana supaya keamanan negara kita tetap bisa dikelola tanpa mengorbankan orang-orang yang butuh dilindungi,” kata Mutiara.

“Mencari keseimbangannya adalah antara paradigma keamanan dan kemanusiaan. Di situ perlu ada koordinasi yang lebih baik antara pemangku kepentingan.”

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Disdikbud Jateng Larang 'Study Tour' Sejak 2020, Alasannya agar Tak Ada Pungutan di Sekolah

Disdikbud Jateng Larang "Study Tour" Sejak 2020, Alasannya agar Tak Ada Pungutan di Sekolah

Regional
Cemburu, Seorang Pria Tikam Mahasiswa yang Sedang Tidur

Cemburu, Seorang Pria Tikam Mahasiswa yang Sedang Tidur

Regional
Momen Iriana Jokowi dan Selvi Ananda Naik Mobil Hias Rajamala, Tebar Senyum dan Pecahkan Rekor Muri

Momen Iriana Jokowi dan Selvi Ananda Naik Mobil Hias Rajamala, Tebar Senyum dan Pecahkan Rekor Muri

Regional
Pemkab Bangka Tengah Larang Acara Perpisahan di Luar Sekolah

Pemkab Bangka Tengah Larang Acara Perpisahan di Luar Sekolah

Regional
Kenangan Muslim di Sungai Bukik Batabuah yang Kini Porak Poranda

Kenangan Muslim di Sungai Bukik Batabuah yang Kini Porak Poranda

Regional
2 Tahun Buron, Tersangka Perusak Hutan Mangrove Belitung Timur Ditangkap di Palembang

2 Tahun Buron, Tersangka Perusak Hutan Mangrove Belitung Timur Ditangkap di Palembang

Regional
Kasus Korupsi Impor Gula PT SMIP, Mantan Kepala Bea Cukai Riau Jadi Tersangka

Kasus Korupsi Impor Gula PT SMIP, Mantan Kepala Bea Cukai Riau Jadi Tersangka

Regional
Soal Mahasiswa KIP Kuliah Salah Sasaran, Rektor Baru Undip Masih Buka Aduan

Soal Mahasiswa KIP Kuliah Salah Sasaran, Rektor Baru Undip Masih Buka Aduan

Regional
Gubernur Jambi Tuntut Ganti Rugi dari Pemilik Tongkang Batu Bara Penabrak Jembatan

Gubernur Jambi Tuntut Ganti Rugi dari Pemilik Tongkang Batu Bara Penabrak Jembatan

Regional
Dugaan Korupsi Bantuan Korban Konflik, Kantor Badan Reintegrasi Aceh Digeledah

Dugaan Korupsi Bantuan Korban Konflik, Kantor Badan Reintegrasi Aceh Digeledah

Regional
Kepala Dinas Pendidikan Riau Ditahan, Korupsi Perjalanan Dinas Rp 2,3 Miliar

Kepala Dinas Pendidikan Riau Ditahan, Korupsi Perjalanan Dinas Rp 2,3 Miliar

Regional
Keluh Kesah Pedagang Pasar Mardika Baru Ambon: Sepi, Tak Ada yang Datang

Keluh Kesah Pedagang Pasar Mardika Baru Ambon: Sepi, Tak Ada yang Datang

Regional
Pilkada Kota Magelang, Syarat Parpol Usung Calon Minimal Ada 5 Kursi DPRD

Pilkada Kota Magelang, Syarat Parpol Usung Calon Minimal Ada 5 Kursi DPRD

Regional
Update Banjir Bandang Sumbar: 59 Orang Meninggal, 16 Hilang

Update Banjir Bandang Sumbar: 59 Orang Meninggal, 16 Hilang

Regional
Kejagung Dalami Perjanjian Pisah Harta Harvey Moeis dan Sandra Dewi

Kejagung Dalami Perjanjian Pisah Harta Harvey Moeis dan Sandra Dewi

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com