KOMPAS.com - Sebanyak 15 pekerja bangunan sempat diancam oleh kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Distrik Paro, Kabupaten Nduga, Papua Pegunungan.
Para pekerja tersebut tengah membangun puskesmas di distrik tersebut.
"Minggu (5/2/2023) sore saya mendapat telepon dari pelaksana pekerjaan pembangunan Puskesmas Paro bahwa terjadi pengancaman terhadap 15 karyawan yang membangun puskesmas," ujar Penjabat Bupati Nduga Namia Gwijangge di Timika, Kabupaten Mimika, Papua Tengah, Rabu (8/2/2023).
Usai mendapat informasi itu, Namia langsung berkomunikasi dengan sejumlah pihak.
"Saya mendapat informasi itu dan kami mulai berkomunikasi dengan berbagai pihak, kita harus menyelamatkan 15 orang tukang," ucapnya.
Baca juga: Kronologi Versi Pj Bupati Nduga, 15 Pekerja Bangunan Diancam KKB Sebelum Insiden Susi Air
Zakarias Behuku, salah satu pekerja, menceritakan detik-detik dirinya dan kawan-kawannya mendapat ancaman dari KKB.
Ancaman tersebut didapat pada Sabtu (4/2/2023). Namun, KKB tak menyampaikan langsung ancaman itu kepada para pekerja bangunan. Pekerja mendengarnya dari Edo, kontraktor pembangunan Puskesmas Paro.
"Minggu (5/2/2023), kontraktor kita datang dan kasih tahu harus keluar dalam dua hari. lalu kontraktor bagi uang (honor) habis, Senin (6/2/2023) kita mulai jalan," ucapnya di Timika, Kamis (9/2/2023).
Para pekerja bangunan itu dipandu lima warga setempat lantas berjalan kaki menuju Distrik Kenyam, Nduga.
"Kita jalan sampai harus menyeberang kali yang lebarnya sekitar 100 meter dengan rotan yang dirakit. Lalu kita jalan ikuti sungai lalu sampai di gunung kita istirahat. Itu hari Selasa (7/2/2023) kita lihat dari atas gunung pesawat Susi Air (masuk ke Paro) dan kita bermalam di atas gunung. Kita tidak lihat pesawat itu dibakar," ungkapnya.
Baca juga: Perjalanan Pekerja Bangunan yang Kabur Usai Diancam KKB, Berjalan Kaki Dipandu 5 Warga
Setelah bermalam di lokasi tersebut, para pekerja dan lima warga setempat kembali melanjutkan perjalanan hingga ke kaki Gunung Wea. Mereka menganggap puncak Gunung Wea adalah lokasi paling ideal untuk mencoba melakukan panggilan telepon. Mereka memutuskan bermalam di kaki gunung.
"Paginya kita turun dan jalan lagi, pas sampai di gunung terakhir itu Gunung Wea, itu posisi paling tinggi untuk bisa komunikasi dan kita bermalam di kaki gunung itu. Terus teman naik ke atas gunung untuk telepon, ada utusan dari Pak Edo naik telepon Pak Pale, dari jam 2 (siang) dia balik jam 8 malam," tuturnya.
"Lalu dia bilang sudah telepon Kapolres dan Pak Bupati. Dia bilang besok naik (ke puncak Wea) pagi-pagi untuk chopper (helikopter) jemput kita," jelasnya.
Helikopter tiba menjelang siang. Sebelumnya, saat matahari terbit, para pekerja dan lima warga terlebih dulu mendaki ke puncak gunung.
Namun, helikopter tak bisa langsung mengangkut seluruh pekerja. Zakarias masuk dalam rombongan terakhir yang dievakuasi.
Zakarias mengatakan, evakuasi sempat terkendala karena kabut turun. Helikopter yang membawa rombongan pertama ke Distrik Kenyam tak dapat kembali karena kehilangan jarak pandang di sekitar Gunung Wea.
"Kita naik jam lima subuh, sampai di atas jam 8-9, kita di atas gunung duduk lagi tunggu helikopter. Kita tunggu hampir satu sampai dua jam lalu helikopter datang. Helikopter pertama memuat lima orang lalu dibawa ke Kenyam," terangnya.