Masing-masing jenis ini digunakan sesuai dengan keperluan atau upacara adat yang diselenggarakan.
Baca juga: Filosofi Nasi Tumpeng yang Begitu Indah
3. Sega Rogoh
Sega rogoh dapat diartikan sebagai nasi yang diraih (dirogoh). Dalam penyajiannya, nasi akan diletakkan di cuwo atau cobek yang dialasi daun pisang.
Di atas nasi itu akan diletakkan telur ayam mentah. Nasi ini diambil dengan cara dirogoh, sehingga disebut dengan sega rogoh.
Saat upacara dilangsungan, sega rogoh akan dipasangkan dengan sega guyeng. Penataannya sega rogoh di kanan, dan sega guyeng di kiri, dan diletakkan masuk-keluar-masuk-keluar pintu rumah.
Nantinya sega rogoh akan dibanting dan menimbulkan suara “pyoh”. Di sinilah letak makna filosofisnya.
Masyarakat Jawa percaya, saat sega rogoh dibanting dan menimbulkan suara “pyoh”, maka akan muncul harapan “pecahing kawah”, atau pecahnya air ketuban wanita yang sedang hamil.
Ya, sega rogoh dibuat untuk upacara tingkeban, atau tujuh bulanan kehamilan.
Baca juga: 7 Upacara Adat di Bali, dari Ngaben hingga Galungan
Jenang bermakna bubur. Sengkolo berasal dari kata murwakala, yang artinya menolak balak.
Jenang sengkolo lebih dikenal sebagai bubur merah dan putih. Jenang ini bisa dijumpai di banyak upacara adat masyarakat Jawa. Upacara tanpa jenang sengkolo dianggap tidak sempurna.
Jenang sengkolo dibuat dari beras biasa dengan campuran santan. Untuk jenang merahnya akan ditambahkan gula merah.
Jenang sengkolo dimaknai sebagai satu kesatuan. Ia melambangkan kehidupan manusia yang berasal dari kedua orang tua sebagai perantara kelahiran di dunia.
Bubur merah pada jenang sengkolo memiliki nama lain jenang retha. Warnanya yang merah merupakan manifestasi dari sosok ibu.
Sementara bubur putih bernama lain jenang setha. Perpaduan antara beras dan santan yang menghasilkan warna putih menjadi simbol penghormatan kepada ayah.
Baca juga: 5 Upacara Adat Jawa Timur, dari Ungkapan Syukur hingga Kalender Jawa