Dikutip dari batukota.go.id, sejak abad ke-10, wilayah Batu dan sekitarnya telah dikenal sebagai tempat peristirahatan bagi kalangan keluarga kerajaan.
Batu dipilih karena masuk kawasan pegunungan dengan udara yang sejuk dan memiliki keindahan pemandangan alam khas daerah pegunungan.
Kala itu saat Raja Sindok memimpin , seorang petinggi Kerajaan bernama Mpu Supo diperintah Sang Raja untuk membangun tempat peristirahatan keluarga kerajaan di pegunungan yang di dekatnya terdapat mata air.
Baca juga: Rute, Harga Tiket, dan Aktivitas Wisata di Tempat Wisata Sekitar Songgoriti
Dengan upaya yang keras, akhirnya Mpu Supo menemukan suatu kawasan yang sekarang lebih dikenal sebagai kawasan Wisata Songgoriti.
Atas persetujuan Sang Raja, Mpu Supo yang konon kabarnya juga sakti mandraguna itu mulai membangun kawasan Songgoriti sebagai tempat peristirahatan keluarga kerajaan.
Di lokasi tersebut juga dibangun sebuah candi yang diberi nama Candi Supo.
Seperti permintaan Sang Raja, tempat peristirahatan itu dilengkapi dengan sumber mata air yang sejuk.
Baca juga: 8 Tempat Wisata Sekitar Songgoriti di Kota Batu, Candi sampai Onsen
Mata air dingin tersebut sering digunakan mencuci keris-keris yang bertuah sebagai benda pusaka dari Kerajaan Sendok.
Karena sering digunakan untuk mencuci benda-benda kerajaan yang bertuah dan mempunyai kekuatan supranatural yang maha dasyat, maka sumber mata air yang semula terasa dingin dan sejuk akhirnya berubah menjadi sumber air panas.
Sumber air panas itu pun sampai saat ini menjadi sumber abadi di kawasan Wisata Songgoriti.
Baca juga: Wisata ke Sekitar Songgoriti, Wisata Budaya sampai Mandi Air Panas
Namun dari cerita tutur masayarakat sekitar, sebuta Batu berasal dari seorang ulama pengikut Pangeran Diponegoro. Ia bernama Abu Ghonaim atau dikenal dengan nama Kyai Gubuk Angin.
Dikutip darii buku Asal-usul Kota-kota di Indonesia Tempo Doeloe yang ditulis Zaenuddin HM, Sang Kyai berasal dari Jawa Tengah.
Ia meninggalkan tanah kelahirannya dan pindah ke kaki Gunung Panderman untuk menghindari pengejaran serdadu Belanda.
Baca juga: Kota Batu Dilanda Banjir, Ini Penjelasan Ahli mengenai Penyebabnya
Oleh masyarakat setempat, Sang Kyai akrab dipanggil Mbah Wastu. Ia membaur dengan masyarakat sekitar dan memulai kehidupan baru.
Ia juga menyampaikan ajaran yang diperoleh selama mengikuti Pangeran Diponegoro.
Akhirnya banyak warga yang berdatangan dan menetap untuk menuntut ilmu serta belajar agama ke Mbah Wastu.
Kultur Jawa sering memperpendek dan mempersingkat mengenai sebutan nama seseorang yang dirasa terlalu panjang.
Baca juga: 4 Tempat Makan Ketan di Kota Batu, Tidak Hanya Pos Ketan Legenda 1967
Penyingkatan penyebutannya dilakukan agar lebih cepat bila jika memanggil seseorang. Hal tersebut juga dilajukan saat memanggil Mbah Wastu.
Lambat laun sebutan Mbah Wastu dipanggil Mbah Tu menjadi Mbatu atau Batu yang kemudian digunakan untuk nama sebuah kota dingin di Jawa Timur.
Mereka membangun tempat peristirahatan bahkan bermukim di wilayah Batu. Hingga saat ini masih banyak ditemukan situs dan bangunan peninggalan pemerintahan Hindia Belanda.
Begitu kagumnya Belanda pada Kota Batu hingga mereka mensejajarkan Kota Batu dengan sebuah negara di Eropa yakni Switzerland dan memberikan predikat sebagai De Klein Switzerland atau "Swis Kecil di Pulau Jawa".
Keindahan panorama di Kota Batu bahkan memikat The Father Foundation of Indonesia. Setelah perang kemerdekaan, Bung Karno dan Bung Hatta berkunjung dan beristirahat di kawasan Selecta, Batu.
Ada beberapa tempat wisata di Batu seperti wisata gua di Cangar dan Tlekung, air terjun Coban Rais dan Coban Talun, Songgoriti dan Selecta, Kusuma Agrowisata, Taman Hutan Rakyat R Soerjo dan Gunung Panderman.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.