Sukron Romadhan, pengajar sosiologi di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pamekasan menjelaskan makna dari model pemukiman Tanean Lanjhang di Madura.
Model pemukiman itu menggambarkan bentuk monopoli proteksi seorang laki-laki terhadap perempuan.
Bahkan, proteksi itu belakangan dianggap berlebihan karena rumah tinggal hanya terdiri dari satu pintu rumah dan satu pintu halaman rumah.
"Pemukiman Tanean Lanjhang bisa diartikan model pemukiman Madura tempo dulu yang tertutup. Seorang perempuan dibatasi secara fisik dan secara sosial karena selalu berada dalam pengawasan laki-laki," tutur Sukron Romadhan saat berbincang pada Ahad (5/9/2021).
Dalam pemukiman Tanean Lanjhang, Sukron menjelaskan, penerimaan tamu tidak dilakukan di dalam emper rumah, melainkan di Langgar, oleh anggota keluarga laki-laki.
Langgar, selain menjadi simbol Kabah sebagai kiblat orang islam dalam beribadah, juga sebagai tempat proteksi perilaku negatif yang bernuansa seksual akibat adanya pertemuan antara tamu laki-laki, dengan anggota keluarga perempuan.
"Langgar menjadi tempat ibadah, membicarakan banyak hal dalam keluarga, sekaligus menjadi tempat menerima tamu," imbuh dosen alumni Universitas Airlangga Surabaya ini.
Baca juga: Monumen Bajra Sandhi: Merawat Ingatan Perjuangan Kemerdekaan RI di Bali
Susunan rumah yang memanjang ke timur, menandakan bahwa dalam keluarga tersebut banyak memiliki anak perempuan yang sudah berkeluarga.
Rumah paling barat, disebut rumah induk atau rumah Tongghu.
Rumah ini dibangun bagi anak perempuan paling tua.
Secara berurutan ke timur, disesuaikan dengan urutan usia anak perempuan yang sudah berkeluarga.
"Tradisi orang Madura, wajib membangunkan rumah sebagai pemberian (sangkolan) kepada anak perempuan yang sudah berkeluarga. Karena, anak perempuan di Madura setelah berkeluarga tetap tinggal bersama orangtuanya, dan anak laki-laki ikut ke rumah istrinya tinggal bersama mertuanya," kata Sukron.
Ahli sejarah Madura, Mohammad Ghozi menjelaskan, pemukiman Tanean Lanjhang juga menjadi simbol terhadap penghargaan yang tinggi terhadap perempuan Madura.
Hubungan kekerabatan yang erat dalam rumah Tanean Lanjhang, menimbulkan perlindungan komunal dalam keluarga tersebut.
Sehingga, ketika ada gangguan terhadap perempuan dalam rumah Tanean Lanjhang, dianggap mengganggu seluruh penghuni rumah Tanean Lanjhang.
"Pelecehan terhadap salah satu keluarga, dianggap sebagai pelecehan kepada seluruh anggota keluarga Tanean Lanjhang. Mulai dari bapak, ibu, paman, bibi, saudara, ipar, sepupu, keponakan, dan seterusnya," ujar Ghozi.
Namun, Ghozi melihat, seiring dengan perkembangan zaman, pemukiman Tanean Lanjhang ini sudah tidak begitu diminati oleh generasi muda.
Tanean Lanjhang yang banyak ditemukan di perkampungan, saat ini sudah berganti dengan model rumah baru.
Generasi saat ini sudah sangat terbuka dengan perkembangan zaman.
Proteksi berlebihan terhadap perempuan di Madura, sudah tidak seperti dulu lagi.
Banyak perempuan-perempuan Madura yang beraktivitas di ruang publik, bahkan menjadi pekerja profesional dan pemimpin.
"Cara pandang dan pengaruh dari luar, membuat generasi di Madura saat ini sudah banyak tidak mengenal pemukiman Tanean Lanjhang," ungkap Ghozi.
Baca juga: GNI Gresik, Saksi Bisu Sejarah, Simbol Gotong Royong Masyarakat yang Sempat akan Dibongkar