Abu, Husni, dan belasan orang Indonesia ditempatkan di sebuah wilayah pedesaan di luar Kota Aleppo — situasinya mirip "desa-desa yang hancur akibat lumpur Lapindo di Sidoarjo," kata Abu Farros.
Ketika rombongan itu tiba di lokasi tujuan, ISIS dan kelompok pemberontak lainnya berusaha dan bersaing satu sama lain untuk menguasai beberapa wilayah di dekat perbatasan dengan Turki.
Baca juga: Densus 88 Kembali Tangkap 7 Terduga Teroris di Makassar
Tujuh tahun kemudian, Abu Farros mengeklaim kehadirannya di Suriah semata untuk menolong anak-anak yang terlantar akibat perang saudara dan berharap ditempatkan di bagian logistik atau perbaikan bangunan.
Faktanya, mereka saat itu mengikuti latihan militer selama dua bulan di sebuah kamp di luar kawasan pedesaan.
Dua orang warga Ampel, Surabaya itu, bersama warga Indonesia lainnya, kemudian ditempatkan di pos penjagaan yang berjarak kira-kira 500 meter dari posisi musuh.
Mereka juga dipersenjatai dan melakukan baiat (bersumpah) mendukung ISIS. "Saya pegang AK-47, tapi saya bukan petempur utama," akunya.
Baca juga: Setelah Bom Gereja Katedral Makassar, Densus 88 Sudah Tangkap 36 Terduga Teroris di Sulsel
Dalam perjalanannya, Abu Farros menggambarkan, "situasinya mencekam, sesekali kita dihujani mortir, peluru tank."
Ketika itu pesawat-pesawat pemerintah Suriah menjatuhkan bom di berbagai kawasan yang dikuasai kelompok pemberontak.
"Saya tidak bisa tidur selama dua bulan, suara anak saya terus menggaung, bagaimana masa depannya..."
Rupanya kekejaman perang yang dia saksikan sendiri membuatnya "tidak siap".
Baca juga: Densus 88 Kembali Tangkap Terduga Teroris di Makassar, Kali Ini 3 Orang
Setelah empat bulan berada di Suriah, Abu mengaku untuk pertama kalinya mendapat akses internet saat berkunjung ke Kota Al-Bab, kira-kira satu jam perjalanan dari kamp.
"Lewat internet, saya jadi tahu situasinya [aktivitas ISIS dan perang saudara di Suriah] seperti ini," kata bekas mahasiswa Teknik Perkapalan ITS Surabaya ini.
Dia juga menjadi tahu bagaimana sikap pemerintah Indonesia tentang keterlibatan WNI di Suriah.
Dihadapkan situasi seperti itu, dia memutuskan untuk menelpon istri, ibu dan keluarganya di Surabaya.
Baca juga: Bebas dari Penjara, Mantan Teroris Aceh Ini Rintis Kebun Tanaman Porang, Ini Kisahnya
"'Pulang, pulang'... keluarga saya menangis. Saya pun menangis. Saya menyesal kenapa saya sudah sampai sini [Suriah]."
Dia kemudian bertekad bulat untuk meninggalkan Suriah.
Namun masalahnya, paspornya ditahan Salim Attamimi alias Abu Jandal. Dia ditanya apa alasannya pulang. "Intinya, saya tidak boleh pulang."
Di titik inilah, Abu Farros teringat ibunya. Dia meminta ibunya untuk meyakinkan Abu Jandal — pria yang membujuknya berangkat ke negeri yang luluh-lantak akibat perang saudara itu.
"Salim, Abu Farros itu punya ibu, yang mana jihad itu tidak harus ke Suriah. Bakti ke ke orang tua itu termasuk jihad," Abu menirukan suara ibunya — melalui sambungan telepon — saat membujuk Salim agar mengizinkan anaknya pulang.
Baca juga: Cerita Mukhtar, Mantan Teroris yang Kini Jadi Petani, Tanam Porang dan 900 Pohon Pepaya
Setelah sampai di Surabaya, Abu Farros mengetahui sahabatnya itu meninggal akibat bom.
"Sampai sekarang, saya selalu memikirkan dia." Nada suara Abu Farros terdengar sedikit bergetar.
Di hadapan ibunya, istri, anak-anaknya, dan keluarga besarnya, Abu kemudian menyadari kesalahannya bergabung ISIS ke Suriah.
Baca juga: Densus 88 Tangkap Satu Terduga Teroris di Bone, Terkait Bom Gereja Katedral Makassar