Salin Artikel

Kisah Pertobatan WNI Eks Jihadis di Suriah, Abu Faros: Saya Tak Bisa Tidur Selama 2 Bulan (1)

Inilah kisah tiga pria asal Surabaya, Pasuruan dan Malang, Jawa Timur, yang terpapar gerakan ekstremisme yang menghalalkan kekerasan, dengan berangkat ke medan perang di Suriah dan bergabung dengan kelompok militan yang menyebut diri Negara Islam atau ISIS.

Mereka terpikat menjadi 'jihadis radikal' melalui propaganda di internet, persinggungan dengan seorang perekrut ISIS, serta proses panjang dan perlahan yang membuat mereka makin terdorong ke dalam ekstremisme.

Ujungnya, atas nama persaudaraan dan, tentu saja, petulangan adrenalin, Abu Farros (nama sebutan), Wildan Bahriza, dan Syahrul Munif, meninggalkan ayah, ibu, anak dan keluarganya.

Dihadapkan kekejaman perang di Suriah, kekejian ISIS, dan perangai negatif sang perekrut, kesadaran intelektual dan ruhani, juga situasi di Indonesia, mereka akhirnya memutuskan meninggalkan Suriah.

Apa yang terjadi setelah mereka diadili dan mendekam di penjara?

Di titik mana dalam kehidupan para eks jihadis ini sehingga mereka akhirnya berhasil keluar dari ideologi kebencian?

Bagaimana mereka beradaptasi di masyarakat ketika dihadapkan adanya stigma tentang latar belakang mereka sebagai mantan napi teroris?

Berikut kesaksian tiga orang itu dalam wawancara terpisah di Surabaya dan Malang:

Abu Farros, begitu dia minta dipanggil, memiliki sahabat bernama Husni. Persahabatan itu terjalin semenjak mereka belia dan tumbuh dewasa di kawasan Ampel, Surabaya — wilayah yang didiami warga peranakan Arab dan etnis lainnya.

Keduanya kemudian berkongsi dalam bisnis jual-beli baju koko. "Saya percaya sekali dengan Husni," akunya.

Sekitar 2013, ketika Suriah diguncang perang saudara, dua sahabat ini 'terhubung' dengan apa yang terjadi di sana setelah mengonsumsi antara lain berbagai film propaganda yang beredar di media sosial.

Atas nama persaudaraan (ukhuwah) sesama muslim, Husni dan Abu suatu saat saling bertanya "apa kontribusi kita terhadap mereka" — kata 'mereka' ini merujuk kepada orang-orang atau kelompok yang melawan rezim Bashar al-Assad.

Husni, yang usianya lebih tua lima tahun, lantas mengajak Abu — kelahiran 1978 — berangkat ke Suriah untuk "memberikan bantuan khusus".

"Ada teman yang bisa mengajak kita ke sana," ujar Husni, seperti ditirukan Abu.

Lalu mereka yang besar dengan tradisi Sunni ini bertemu 'teman' itu di Kota Malang. "Saya ingat pertemuannya di rumah makan sate."

Keduanya kemudian diminta Salim — "kami memanggilnya Ustaz Salim," akunya — menyediakan paspor dan uang US$500. "Saya juga diminta tidak ngomong [rencana ke Suriah] kepada keluarga."

Akhirnya, pada Maret 2014, Abu Farros berangkat dari Bandara Sukarno-Hatta, Jakarta, menuju Suriah. Mereka berangkat bersama 19 orang Indonesia untuk "berjihad" di Suriah.

"Tidak ada yang saya kenal, kecuali Husni dan Salim," ungkap Abu Farros saat ditemui BBC News Indonesia di rumahnya di Surabaya, pertengahan April 2021 lalu.

Saat itu, Salim meminta Abu dan orang-orang itu menggunakan nama samaran.

"Saya memakai nama Abu Farros. Itu nama anak sulung saya, Muhammad Farros."

Setelah transit di Kuala Lumpur, Malaysia, rombongan tersebut terbang ke Istanbul, Turki dan berlanjut ke Kota Gaziantep, sebelum menyeberang ke Suriah.

Abu, Husni, dan belasan orang Indonesia ditempatkan di sebuah wilayah pedesaan di luar Kota Aleppo — situasinya mirip "desa-desa yang hancur akibat lumpur Lapindo di Sidoarjo," kata Abu Farros.

Ketika rombongan itu tiba di lokasi tujuan, ISIS dan kelompok pemberontak lainnya berusaha dan bersaing satu sama lain untuk menguasai beberapa wilayah di dekat perbatasan dengan Turki.

Faktanya, mereka saat itu mengikuti latihan militer selama dua bulan di sebuah kamp di luar kawasan pedesaan.

Dua orang warga Ampel, Surabaya itu, bersama warga Indonesia lainnya, kemudian ditempatkan di pos penjagaan yang berjarak kira-kira 500 meter dari posisi musuh.

Mereka juga dipersenjatai dan melakukan baiat (bersumpah) mendukung ISIS. "Saya pegang AK-47, tapi saya bukan petempur utama," akunya.

Dalam perjalanannya, Abu Farros menggambarkan, "situasinya mencekam, sesekali kita dihujani mortir, peluru tank."

Ketika itu pesawat-pesawat pemerintah Suriah menjatuhkan bom di berbagai kawasan yang dikuasai kelompok pemberontak.

"Saya tidak bisa tidur selama dua bulan, suara anak saya terus menggaung, bagaimana masa depannya..."

Rupanya kekejaman perang yang dia saksikan sendiri membuatnya "tidak siap".

Setelah empat bulan berada di Suriah, Abu mengaku untuk pertama kalinya mendapat akses internet saat berkunjung ke Kota Al-Bab, kira-kira satu jam perjalanan dari kamp.

"Lewat internet, saya jadi tahu situasinya [aktivitas ISIS dan perang saudara di Suriah] seperti ini," kata bekas mahasiswa Teknik Perkapalan ITS Surabaya ini.

Dia juga menjadi tahu bagaimana sikap pemerintah Indonesia tentang keterlibatan WNI di Suriah.

Dihadapkan situasi seperti itu, dia memutuskan untuk menelpon istri, ibu dan keluarganya di Surabaya.

"'Pulang, pulang'... keluarga saya menangis. Saya pun menangis. Saya menyesal kenapa saya sudah sampai sini [Suriah]."

Dia kemudian bertekad bulat untuk meninggalkan Suriah.

Namun masalahnya, paspornya ditahan Salim Attamimi alias Abu Jandal. Dia ditanya apa alasannya pulang. "Intinya, saya tidak boleh pulang."

Di titik inilah, Abu Farros teringat ibunya. Dia meminta ibunya untuk meyakinkan Abu Jandal — pria yang membujuknya berangkat ke negeri yang luluh-lantak akibat perang saudara itu.

"Salim, Abu Farros itu punya ibu, yang mana jihad itu tidak harus ke Suriah. Bakti ke ke orang tua itu termasuk jihad," Abu menirukan suara ibunya — melalui sambungan telepon — saat membujuk Salim agar mengizinkan anaknya pulang.

Setelah sampai di Surabaya, Abu Farros mengetahui sahabatnya itu meninggal akibat bom.

"Sampai sekarang, saya selalu memikirkan dia." Nada suara Abu Farros terdengar sedikit bergetar.

Di hadapan ibunya, istri, anak-anaknya, dan keluarga besarnya, Abu kemudian menyadari kesalahannya bergabung ISIS ke Suriah.

Kondisi ibunya yang sakit akibat memikirkan tindakannya juga membuat "matanya terbuka".

Di hadapan ibunya dia bersumpah tidak mengulangi perbuatannya. "Saya janji kepada ibu saya."

Dia masih teringat perkataan yang diulang-ulang oleh ibu dan pamannya: "Jangan berlebihan dalam bersikap, jangan aneh-aneh. Ayahmu (yang meninggal saat dia masih kuliah), keluargamu, tidak ada yang aneh-aneh."

Tiga tahun kemudian ayah tiga anak ini ditangkap Densus 88 dan divonis 3,5 tahun penjara pada 2018 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena terbukti bergabung organisasi teroris ISIS.

"Ketika di dalam penjara, saya bertambah sadar bahwa setiap perbuatan, pasti ada pertanggungjawabannya," ungkapnya. Dia kemudian mengikuti program deradikalisasi.

Pada 29 Mei 2020, Abu Farros menghirup udara bebas dan dia mengaku sepenuhnya sudah berubah.

"Islam itu rahmatan lil alamin, tidak meneror. Islam itu memberikan akhlak. Jadi dakwah itu bisa lewat akhlak (berbuat baik), bukan lewat yang lain-lain," ujarnya.

Dia juga menerima Pancasila sebagai dasar negara dan semua aturan hukum yang berlaku di Indonesia. Dan perlahan-lahan dia pun menekuni lagi bisnis baju koko yang dulu digelutinya.

Ketika BBC Indonenesia bertanya apakah statusnya sebagai eks napi teroris menganggu aktivitas bisnisnya, Abu tak memungkiri. "Saya agak minder."

Dan, kebetulan rekanan bisnisnya beragama Kristen. Dia awalnya merasa rekanannya itu "lebih bersikap hati-hati" terhadap dirinya. Namun ketakutannya itu, ternyata, terlalu berlebihan.

Buktinya, "saya tetap dihutangi lagi, karena saya baik dengan dia, dan dia baik dengan saya." Abu Farros tertawa kecil.

"Kalau saya tidak menghormati mereka [rekanannya yang beragama Kristen], ngapain saya harus bayar hutang. Kewajiban saya [untuk bayar hutang] tetap kewajiban saya," katanya, memberikan contoh.

Kepada anak bungsunya yang masih kanak-kanak, dia menutupi 'aktivitasnya' di masa lalu. "Saya bilang abi (ayah) mondok."

Sebaliknya dia menjelaskan lebih terbuka kepada anak sulungnya, Farros dan adiknya, bahwa ayahnya pernah dipenjara. Kebetulan anak pertamanya yang berusia 15 tahun itu pernah membesuknya di penjara.

Saat wawancara, dia lalu mengutarakan rencananya bersama eks napi terorisme lainnya, Syahrul Munif, untuk mendirikan organisasi Fajar Ikhwan Sejahtera.

Mereka menginginkan organisasi itu kelak dapat membantu para eks napi terorisme supaya "memiliki kesibukan dan tidak lagi berpikir aneh-aneh... Juga agar negara peduli kepada mereka."

Belajar dari pengalamannya dulu, dia berujar kepada siapapun agar tidak menelan mentah-mentah informasi yang beredar di media sosial.

"Harus benar-benar dipahami. Jangan sampai setelah berbuat, menyesali."

Termasuk memaknai jihad? Tanya saya. "Jihad itu artinya sungguh-sungguh. Kita berbuat baik dan bersungguh-sungguh itu jihad."

Jadi, apa jihad Anda sekarang? "Mengayomi keluarga sebagai kepala rumah tangga dan bertanggungjawab, itu namanya jihad."

https://regional.kompas.com/read/2021/05/05/050500378/kisah-pertobatan-wni-eks-jihadis-di-suriah-abu-faros-saya-tak-bisa-tidur

Terkini Lainnya

Pj Gubri Ajak Pemkab Bengkalis Kolaborasi Bangun Jembatan Sungai Pakning-Bengkalis

Pj Gubri Ajak Pemkab Bengkalis Kolaborasi Bangun Jembatan Sungai Pakning-Bengkalis

Regional
Diskominfo Kota Tangerang Raih Penghargaan Perangkat Daerah Paling Inovatif se-Provinsi Banten

Diskominfo Kota Tangerang Raih Penghargaan Perangkat Daerah Paling Inovatif se-Provinsi Banten

Regional
Fakta dan Kronologi Bentrokan Warga 2 Desa di Lombok Tengah, 1 Orang Tewas

Fakta dan Kronologi Bentrokan Warga 2 Desa di Lombok Tengah, 1 Orang Tewas

Regional
Komunikasi Politik 'Anti-Mainstream' Komeng yang Uhuyy!

Komunikasi Politik "Anti-Mainstream" Komeng yang Uhuyy!

Regional
Membedah Strategi Komunikasi Multimodal ala Komeng

Membedah Strategi Komunikasi Multimodal ala Komeng

Regional
Kisah Ibu dan Bayinya Terjebak Banjir Bandang Berjam-jam di Demak

Kisah Ibu dan Bayinya Terjebak Banjir Bandang Berjam-jam di Demak

Regional
Warga Kendal Tewas Tertimbun Longsor Saat di Kamar Mandi, Keluarga Sempat Teriaki Korban

Warga Kendal Tewas Tertimbun Longsor Saat di Kamar Mandi, Keluarga Sempat Teriaki Korban

Regional
Balikpapan Catat 317 Kasus HIV Sepanjang 2023

Balikpapan Catat 317 Kasus HIV Sepanjang 2023

Regional
Kasus Kematian akibat DBD di Balikpapan Turun, Vaksinasi Tembus 60 Persen

Kasus Kematian akibat DBD di Balikpapan Turun, Vaksinasi Tembus 60 Persen

Regional
Puan: Seperti Bung Karno, PDI-P Selalu Berjuang Sejahterakan Wong Cilik

Puan: Seperti Bung Karno, PDI-P Selalu Berjuang Sejahterakan Wong Cilik

Regional
Setelah 25 Tahun Konflik Maluku

Setelah 25 Tahun Konflik Maluku

Regional
BMKG: Sumber Gempa Sumedang Belum Teridentifikasi, Warga di Lereng Bukit Diimbau Waspada Longsor

BMKG: Sumber Gempa Sumedang Belum Teridentifikasi, Warga di Lereng Bukit Diimbau Waspada Longsor

Regional
Gempa Sumedang, 53 Rumah Rusak dan 3 Korban Luka Ringan

Gempa Sumedang, 53 Rumah Rusak dan 3 Korban Luka Ringan

Regional
Malam Tahun Baru 2024, Jokowi Jajan Telur Gulung di 'Night Market Ngarsopuro'

Malam Tahun Baru 2024, Jokowi Jajan Telur Gulung di "Night Market Ngarsopuro"

Regional
Sekolah di Malaysia, Pelajar di Perbatasan Indonesia Berangkat Sebelum Matahari Terbit Tiap Hari

Sekolah di Malaysia, Pelajar di Perbatasan Indonesia Berangkat Sebelum Matahari Terbit Tiap Hari

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke