Menurutnya, soal tersebut diterbitkan kali pertama pada tahun 2009 saat Ganjar belum menjadi setenar sekarang.
"Jadi Pak Ganjar itu sekadar contoh sebuah nama di soal saja. Terbitnya tahun 2009. Sementara Pak Ganjar (Gubernur Jateng) mulai 2013. Jadi empat tahun sebelumnya," kata dia.
Dia menyebut buku pelajaran terbitan mereka sudah mengikuti kode etik penyuntingan.
"Di antaranya adalah tidak boleh menyebut SARA, tidak boleh juga bias gender, harus mengakomodir keberagaman, kebinekaan, memupuk nasionalisme. Ini kita laksanakan," ungkap dia.
"Bahkan, kalau kita mencantumkan nama dari luar seperti Mikhael atau apa itu tidak boleh. Nah, nama saya kan komplet. Kebetulan salah satu nama yang tercantum di buku kami adalah Pak Ganjar," sambung dia.
"Sementara buku agama kita itu kurikulumnya itu revisinya kecil-kecil, tidak total, sehingga namanya itu tetap terbawa. Sama sekali kita tidak kepikiran dan tidak mengaitkan bahwa nama Pak Ganjar dalam buku kita adalah Ganjar Pranowo, tidak sama sekali," ungkapnya.
Admuawan menegaskan, pihaknya tidak memiliki tendensi apa pun dalam penerbitan buku itu.
"Padahal kami tidak berpersepsi, tidak ada tendensi sama sekali, apalagi mendiskreditkan," ujar dia.
Baca juga: Mengenal Surga Geopark Belitung yang Akan Segera Diakui UNESCO