Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Haminjon di Tanah Batak, Dulu Melebihi Emas, Sekarang di Ambang Cemas (Bagian II)

Kompas.com - 05/02/2021, 13:09 WIB
Kontributor Medan, Mei Leandha,
Abba Gabrillin

Tim Redaksi

 

Adalah istilah para tauke untuk klasifikasi kemenyan, yaitu arit bakat, samsam dan jurur.

Roganda menjelaskan, arit bakat atau diarit maksudnya getah kemenyan dipisahkan dari kulit pohon.

Samsam artinya percampuran getah yang kecil dan besar, yang harganya paling mahal Rp 200.000 per kilogram.

Paling murah adalah jurur, bentuknya seperti serpihan atau sisa-sisa kikisan.

"Sebelum pandemi, harga sudah anjlok. Mungkin permainan tengkulak yang melakukan penimbunan," ucap dia.

Menurut Roganda, komitmen pemerintah membangun wisata Danau Toba bertaraf internasional seharusnya menjadi peluang untuk melestarikan tombak haminjon, karena sebaran hutannya merupakan sumber air untuk danau.

Hutan kemenyan juga bisa dijadikan tujuan wisata ekologi.

Pemerintah seharusnya mengevaluasi semua izin yang dikeluarkan, terutama wilayah hidupnya haminjon dan mengakui hutan milik masyarakat adat.

"Pemerintah harus menciptakan pasar yang adil bagi petani. Memfasilitasi mesin produksi untuk mengolah kemenyan, supaya petani tidak lagi hanya menjual getah. Ini akan memutus mata rantai tengkulak yang panjang," ucap Roganda.

Roganda mengatakan, tengkulak ada di setiap kampung. Mereka mengutip langsung dari petani, lalu menjualnya kembali ke tauke di Doloksanggul.

Kemudian, dari Doloksanggul dikirim ke Jakarta atau Semarang, lalu ke Singapura, dan berbagai daerah lain.

Roganda mengatakan, petani seharusnya bisa terhubung langsung dengan pabrik atau penampung di Jakarta, Semarang dan daerah lainnya.

Bersama para petani, AMAN Tano Batak pernah menghitung pendapatan langsung dan tidak langsung dari kemenyan.

Satu kabupaten diasumsikan sampai ratusan miliar penjualannya dalam setahun.

Menurut Roganda, hal ini yang belum ditangkap pemerintah daerah sebagai peluang.

"Misalnya pemkab membentuk perusahaan daerah yang yang menampung getah kemenyan dengan harga sedikit lebih mahal dari tengkulak, pasti akan ke situ semua, walau hanya beda seribu. Tapi belum ada yang serius, kita sering aksi dan audensi dengan Pemkab, seolah-olah malah ada anggapan bertani kemenyan sudah ketinggalan zaman, enggak modern lagi," ucap dia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com