Salin Artikel

Kisah Haminjon di Tanah Batak, Dulu Melebihi Emas, Sekarang di Ambang Cemas (Bagian II)

Haminjon seharga emas

Kemenyan awalnya menjadi hasil bumi yang mahal. Pada 1960-an di Humbahas, harganya sama dengan emas.

Para petani haminjon bahkan mampu menyekolahkan anak-anaknya sampai perguruan tinggi.

Surat kabar Imanuel yang diterbitkan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) edisi 24 Oktober 1920, menampilkan grafik hasil bumi yang dikeluarkan dari Tapanuli Utara pada 1919, yang didominasi oleh karet, kopi, kopra dan kemenyan.

Produksi kemenyan sebanyak 1,8 ton lebih dengan nilai jual 1,5 juta gulden.

Masih di surat kabar yang sama edisi 14 November 1920, dilaporkan bahwa pedagang besar meraup untung besar dari kemenyan. Harga belinya 70 sen per kilogram dan dijual 2,22 gulden.

Melalui Pelabuhan Barus, haminjon dibawa menjejak tanah Eropa hingga Timur Tengah.

Bangsa Eropa sejak dulu mengenal Tano Batak sebagai penghasil kemenyan terbaik.

Namun, meski perdagangan ini sudah berjalan ratusan tahun, petani tak bisa menentukan harga dan tak mengetahui harga di perdagangan dunia.

"Sejak dulu, mereka pasrah dengan harga yang ditentukan tauke (pengepul). Mungkin mereka berpikir, dengan harga di tauke saja sudah kaya," ujar Roganda sambil tertawa.

Harganya anjlok

Kemenyan biasa tumbuh di daerah perbukitan dengan ketinggian 900-1.200 meter di atas permukaan laut, bersuhu antara 28-30 derajat celsius.

Berbeda dengan karet, penyadapan getah tak perlu wadah. Setelah dicungkil, getah akan keluar dari batang pohon, meleleh seperti lilin dan lengket di kulit pohon.

Cukilan pertama akan menghasilkan getah putih (sidukabi) yang baru bisa diambil sekitar tiga bulan kemudian. Getah menempel di kulit pohon sehingga harus mencongkel kulit pohon untuk memanennya.

Getah ini dihargai paling tinggi, sekitar Rp 300.000-an per kilogram.

Bekas cukilan akan menghasilkan tetesan getah kedua yang disebut jurur, bisa dipanen dua sampai tiga bulan setelah memanen sidukabi.

Setelah itu muncul getah ketiga yang disebut tahir, harganya lebih murah.

Haminjon paling banyak tumbuh di Kabupaten Tapanuli Utara, Humbahas, Pakpak Bharat, Toba dan Samosir.

Juga dikembangkan di Dairi, Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah, meski tidak terlalu banyak.

Namun, tetap daerah penghasil terbesar masih dirajai Tapanuli Utara dan Humbahas.

"Lagi rendah harga kemenyan, di tingkat petani mereka jual ke tauke Rp 230.000 sampai 250.000 per kilogram yang kualitas nomor satu," kata Roganda.


Adalah istilah para tauke untuk klasifikasi kemenyan, yaitu arit bakat, samsam dan jurur.

Roganda menjelaskan, arit bakat atau diarit maksudnya getah kemenyan dipisahkan dari kulit pohon.

Samsam artinya percampuran getah yang kecil dan besar, yang harganya paling mahal Rp 200.000 per kilogram.

Paling murah adalah jurur, bentuknya seperti serpihan atau sisa-sisa kikisan.

"Sebelum pandemi, harga sudah anjlok. Mungkin permainan tengkulak yang melakukan penimbunan," ucap dia.

Menurut Roganda, komitmen pemerintah membangun wisata Danau Toba bertaraf internasional seharusnya menjadi peluang untuk melestarikan tombak haminjon, karena sebaran hutannya merupakan sumber air untuk danau.

Hutan kemenyan juga bisa dijadikan tujuan wisata ekologi.

Pemerintah seharusnya mengevaluasi semua izin yang dikeluarkan, terutama wilayah hidupnya haminjon dan mengakui hutan milik masyarakat adat.

"Pemerintah harus menciptakan pasar yang adil bagi petani. Memfasilitasi mesin produksi untuk mengolah kemenyan, supaya petani tidak lagi hanya menjual getah. Ini akan memutus mata rantai tengkulak yang panjang," ucap Roganda.

Roganda mengatakan, tengkulak ada di setiap kampung. Mereka mengutip langsung dari petani, lalu menjualnya kembali ke tauke di Doloksanggul.

Kemudian, dari Doloksanggul dikirim ke Jakarta atau Semarang, lalu ke Singapura, dan berbagai daerah lain.

Roganda mengatakan, petani seharusnya bisa terhubung langsung dengan pabrik atau penampung di Jakarta, Semarang dan daerah lainnya.

Bersama para petani, AMAN Tano Batak pernah menghitung pendapatan langsung dan tidak langsung dari kemenyan.

Satu kabupaten diasumsikan sampai ratusan miliar penjualannya dalam setahun.

Menurut Roganda, hal ini yang belum ditangkap pemerintah daerah sebagai peluang.

"Misalnya pemkab membentuk perusahaan daerah yang yang menampung getah kemenyan dengan harga sedikit lebih mahal dari tengkulak, pasti akan ke situ semua, walau hanya beda seribu. Tapi belum ada yang serius, kita sering aksi dan audensi dengan Pemkab, seolah-olah malah ada anggapan bertani kemenyan sudah ketinggalan zaman, enggak modern lagi," ucap dia.


Harri Lumbangaol, warga Desa Matiti, Kecamatan Doloksanggul, Kabupaten Humbahas, mengatakan, haminjon telah membantu dirinya menghidupi keluarganya.

Meski demikian, pendapatannya kini jauh berkurang.

"Kalau dulu, kaya kami dari haminjon ini. Sekarang, cukup makan saja, tapi kami tak mau menebang pohonnya," kata Ayah dua anak itu.

Hal serupa juga dikatakan Opung Solin, warga Desa Karing, Kabupaten Dairi.

Baginya, kemenyan masih memberi harapan untuk membantu ekonomi keluarga.

Walau komoditi lain datang menawarkan kepraktisan dan efesiensi, juga harga jual yang lebih mahal, laki-laki ramah ini masih asyik mengurus tombak haminjon miliknya.

"Ini harta yang harus dipertahankan. Biarlah anak-anak sekarang tak mau lagi berladang kemenyan. Kami yang tua-tua ini masih sanggup mengurusnya. Apalagi, panjang jalan kami mempertahankan kemenyan ini, banyak sudah perjuangan yang kami lakukan," kata Opung Solin sambil mengenang masa lalu.

Minimnya peran pemerintah daerah dalam pemasaran haminjon menyebabkan ketidakstabilan harga, memberi ruang tengkulak menguasai pasar mulai dari kampung sampai ke pembeli terakhir.

Ini juga yang menyebabkan anak-anak muda suku Batak tak tertarik menjadi petani, karena tidak menjanjikan seperti dulu. Mereka lebih memilih pekerjaan lain atau merantau.

Polemik tanah adat

Roganda mengatakan, 11 kampung anggota AMAN Tano Batak menggantungkan hidup sebagai penghasil kemenyan.

Namun, mereka semua sedang berjuang dari konflik kepemilikan tanah adat yang diklaim sebagai kawasan hutan negara.

Pemerintah menerbitkan Hak Penguasaan Hutan/Tanaman Industri (HPH/TI) kepada perusahaan bubur kertas tanpa mempertimbangkan aspek historis, budaya, dan ekonomi masyarakat adat.

"Sebelum Republik ini ada, masyarakat sudah hidup mandiri, berdaulat atas tanah dan hutan adatnya. Tidak tanggung-tanggung izin yang diberikan, puluhan ribu hektar tombak haminjon tiba-tiba masuk konsesi. Disulap jadi hutan eucalyptus yang menjadi bahan baku pulp," kata dia.

Menurut Roganda, ribuan masyarakat adat kehilangan tanah dan mata pencaharian.

"Konflik berkepanjangan terjadi sampai hari ini, di mana masyarakat harus menderita demi perjuangan mempertahankan tanah leluhur," kata dia.

Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Aek Nauli Pratiara mengatakan, keuntungan tidak sepenuhnya dirasakan petani kemenyan.

Pratiara mengatakan, meski harga kemenyan di pasar internasional tidak pernah turun, cenderung tinggi dan stabil, tapi harga di tingkat petani terlalu rendah.

Menurut dia, perlu diatur skema perdagangan supaya selisih harga di level petani dan internasional seimbang.

“Skema ini bertujuan melindungi petani yang memproduksi kemenyan sehingga mendapatkan harga dan nilai ekonomis yang tinggi. Ketika itu terwujud, dampak positif yang diharapkan Presiden Jokowi tentang peningkatan pendapatan per kapita di masyarakat bisa terjadi,” kata Pratiara dalam sebuah diskusi.


Bupati Humbahas Dosmar Banjarnahor mengakui selisih harga yang sangat jomplang.

Menurut dia, jauhnya selisih harga disebabkan lemahnya tata niaga dan rendahnya produktivitas kemenyan. Selain itu, disebabkan terbatasnya akses informasi pasar maupun teknologi.

"Kelembagaan petani dengan jalinan kemitraan sangat lemah dan mata rantai perdagangan terlalu panjang,” kata Dosmar.

Menanggapi semua itu, Ketua Komisi VI DPR RI Martin Manurung mengatakan, perlu kerja sama antar instansi dan pemerintah mulai daerah sampai pusat.

Apabila tidak, maka 10 atau 20 tahun ke depan, wilayah Toba tidak punya lagi komoditas haminjon.

https://regional.kompas.com/read/2021/02/05/13090331/kisah-haminjon-di-tanah-batak-dulu-melebihi-emas-sekarang-di-ambang-cemas

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke