Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Haminjon di Tanah Batak, Dulu Melebihi Emas, Sekarang di Ambang Cemas (Bagian II)

Kompas.com - 05/02/2021, 13:09 WIB
Kontributor Medan, Mei Leandha,
Abba Gabrillin

Tim Redaksi

Harri Lumbangaol, warga Desa Matiti, Kecamatan Doloksanggul, Kabupaten Humbahas, mengatakan, haminjon telah membantu dirinya menghidupi keluarganya.

Meski demikian, pendapatannya kini jauh berkurang.

"Kalau dulu, kaya kami dari haminjon ini. Sekarang, cukup makan saja, tapi kami tak mau menebang pohonnya," kata Ayah dua anak itu.

Hal serupa juga dikatakan Opung Solin, warga Desa Karing, Kabupaten Dairi.

Baginya, kemenyan masih memberi harapan untuk membantu ekonomi keluarga.

Walau komoditi lain datang menawarkan kepraktisan dan efesiensi, juga harga jual yang lebih mahal, laki-laki ramah ini masih asyik mengurus tombak haminjon miliknya.

"Ini harta yang harus dipertahankan. Biarlah anak-anak sekarang tak mau lagi berladang kemenyan. Kami yang tua-tua ini masih sanggup mengurusnya. Apalagi, panjang jalan kami mempertahankan kemenyan ini, banyak sudah perjuangan yang kami lakukan," kata Opung Solin sambil mengenang masa lalu.

Minimnya peran pemerintah daerah dalam pemasaran haminjon menyebabkan ketidakstabilan harga, memberi ruang tengkulak menguasai pasar mulai dari kampung sampai ke pembeli terakhir.

Ini juga yang menyebabkan anak-anak muda suku Batak tak tertarik menjadi petani, karena tidak menjanjikan seperti dulu. Mereka lebih memilih pekerjaan lain atau merantau.

Polemik tanah adat

Roganda mengatakan, 11 kampung anggota AMAN Tano Batak menggantungkan hidup sebagai penghasil kemenyan.

Namun, mereka semua sedang berjuang dari konflik kepemilikan tanah adat yang diklaim sebagai kawasan hutan negara.

Pemerintah menerbitkan Hak Penguasaan Hutan/Tanaman Industri (HPH/TI) kepada perusahaan bubur kertas tanpa mempertimbangkan aspek historis, budaya, dan ekonomi masyarakat adat.

"Sebelum Republik ini ada, masyarakat sudah hidup mandiri, berdaulat atas tanah dan hutan adatnya. Tidak tanggung-tanggung izin yang diberikan, puluhan ribu hektar tombak haminjon tiba-tiba masuk konsesi. Disulap jadi hutan eucalyptus yang menjadi bahan baku pulp," kata dia.

Menurut Roganda, ribuan masyarakat adat kehilangan tanah dan mata pencaharian.

"Konflik berkepanjangan terjadi sampai hari ini, di mana masyarakat harus menderita demi perjuangan mempertahankan tanah leluhur," kata dia.

Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Aek Nauli Pratiara mengatakan, keuntungan tidak sepenuhnya dirasakan petani kemenyan.

Pratiara mengatakan, meski harga kemenyan di pasar internasional tidak pernah turun, cenderung tinggi dan stabil, tapi harga di tingkat petani terlalu rendah.

Menurut dia, perlu diatur skema perdagangan supaya selisih harga di level petani dan internasional seimbang.

“Skema ini bertujuan melindungi petani yang memproduksi kemenyan sehingga mendapatkan harga dan nilai ekonomis yang tinggi. Ketika itu terwujud, dampak positif yang diharapkan Presiden Jokowi tentang peningkatan pendapatan per kapita di masyarakat bisa terjadi,” kata Pratiara dalam sebuah diskusi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com