Dua bulan pengembangan, hasil dari penjualan larva cukup baik. Penghasilan yang didapatkan mencapai Rp 1.600.000 perbulan.
Hal ini cukup baik dan bisa menutupi kekurangan biaya pengolahan sampah.
Ke depan pihaknya mengajak masyarakat sekitar untuk ikut mengembangkan maggot di rumah masing-masing, sampahnya disuplai oleh BUMDes.
“Sudah ada permintaan dari pelanggan untuk dikirim 600 kilogram per minggu, tetapi karena jumlah sampah kami terbatas, dan kedepan kami juga mengajak masyarakat untuk bergabung ada sekitar 22 orang yang siap,” ucap Nasrudin.
Baca juga: Serangan Lebah, Pendakian Gunung Api Purba Nglanggeran Ditutup Sementara
Salah satu petugas di pengelolaan sampah Nglanggeran, Wantirah mengatakan sampah yang berasal dari 130 KK di Kalurahan Nglanggeran masuk ke TPAS. Sampah organik dan non-organik dipisahkan.
Untuk sampah non organik seperti plastik dan besi sudah ada pengepul yang datang.
Sementara untuk sampah organik digunakan untuk pengembangan larva (maggot) dari lalat BSF.
Untuk pengembangan larva pun menurut dia cukup mudah, karena lalat indukan dibiarkan menghasilkan telur.
Telur akan dipisahkan dari indukan, dan nantinya setelah berusia 10 hari akan diletakkan dalam sampah organik untuk pakannya.
Baca juga: Tumpukan Sampah Kayu dan Bambu di Kali Bekasi Disebut Tak Pernah Dibersihkan
Sebagian larva digunakan untuk dikembangkan menjadi lalat, dan sebagian lainnya dijual untuk pakan ternak.
“Untuk sampah organik yang dihasilkan sampai kekurangan, kami sampai membeli limbah susu untuk pengembangan maggot,” ucap Wantirah.