Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Warga Gunung Api Purba Nglanggeran Kembangkan Lalat untuk Urai sampah

Kompas.com - 30/11/2020, 15:56 WIB
Markus Yuwono,
Teuku Muhammad Valdy Arief

Tim Redaksi

YOGYAKARTA,KOMPAS.com- Gunung Api Purba Nglanggeran, di Kapanewon Patuk, Gunungkidul, Yogyakarta, menyimpan banyak potensi yang mulai dikembangkan.

Namun pandemi melanda, sejumlah unit usaha yang dikelola oleh Kalurahan menurun drastis.

Warga berinisiatif budidaya lalat jenis black soldier fly (BSF) atau lalat tentara hitam, larva dari lalat ini bisa mengurai sampah organik yang dihasilkan oleh ratusan warga.

Baca juga: Budidaya Maggot dan Bank Sampah, Solusi Atasi Sampah Rumah Tangga DKI

Sebagian larva dikembangkan untuk indukan, sebagian lainnya dijual untuk pakan ternak.

Tumpukan sampah di Tempat Pembuangan Akhir sampah( TPAS) di Kalurahan Nglanggeran, diletakkan di dalam sebuah bangunan di Padukuhan Gunung Butak.

Ruangan cukup besar ini menampung sebagian besar sampah yang diambil setiap Senin, dan Kamis dari ratusan keluarga di Kalurahan Nglanggeran.

Di sisi kiri bangunan terdapat rak, dibawahnya ada kotak berisi sampah organik.
Setelah dikeruk muncul larva berwarna coklat atau magot.

Di sisi luar, ada bangunan kecil berisi ribuan BSF yang sebagian sudah bertelur.

Baca juga: Sarang Lebah di Gunung Api Purba Nglanggeran Berhasil Dipindahkan, Ini Kisahnya

Usaha yang dilakukan sejak dua bulan terakhir ini mampu menghasilkan keuntungan jutaan rupiah per bulannya, dan bisa untuk mengembangkan usaha yang dikelola kalurahan.

“Sudah dua bulan ini dikembangkan oleh kami, latar belakangnya pandemi unit usaha kita penghasilannya berkurang cukup drastis,” kata Ketua BUMDes Tunas Mandiri Ahmad Nasrudin saat ditemui di TPAS Nglanggeran Senin (30/11/2020).

“Budidaya magot ini untuk alternatif ketahanan ekonomi ditengah pandemi, karena kalau kami mengembangkan pertanian terkendala air, dan budidaya maggot ini potensi ke depannya cukup baik,” ucap Nasrudin.

Dua bulan pengembangan, hasil dari penjualan larva cukup baik. Penghasilan yang didapatkan mencapai Rp 1.600.000 perbulan.

Hal ini cukup baik dan bisa menutupi kekurangan biaya pengolahan sampah.

Ke depan pihaknya mengajak masyarakat sekitar untuk ikut mengembangkan maggot di rumah masing-masing, sampahnya disuplai oleh BUMDes.

“Sudah ada permintaan dari pelanggan untuk dikirim 600 kilogram per minggu, tetapi karena jumlah sampah kami terbatas, dan kedepan kami juga mengajak masyarakat untuk bergabung ada sekitar 22 orang yang siap,” ucap Nasrudin.

Baca juga: Serangan Lebah, Pendakian Gunung Api Purba Nglanggeran Ditutup Sementara

Salah satu petugas di pengelolaan sampah Nglanggeran, Wantirah mengatakan sampah yang berasal dari 130 KK di Kalurahan Nglanggeran masuk ke TPAS. Sampah organik dan non-organik dipisahkan.

Untuk sampah non organik seperti plastik dan besi sudah ada pengepul yang datang.

Sementara untuk sampah organik digunakan untuk pengembangan larva (maggot) dari lalat BSF.

Untuk pengembangan larva pun menurut dia cukup mudah, karena lalat indukan dibiarkan menghasilkan telur.

Telur akan dipisahkan dari indukan, dan nantinya setelah berusia 10 hari akan diletakkan dalam sampah organik untuk pakannya.

Baca juga: Tumpukan Sampah Kayu dan Bambu di Kali Bekasi Disebut Tak Pernah Dibersihkan

Sebagian larva digunakan untuk dikembangkan menjadi lalat, dan sebagian lainnya dijual untuk pakan ternak.

“Untuk sampah organik yang dihasilkan sampai kekurangan, kami sampai membeli limbah susu untuk pengembangan maggot,” ucap Wantirah.

Sisa makanan larva ini digunakan sebagai pupuk organik yang digunakan oleh masyarakat sekitar.

Sementara untuk telur per 5 gram dijual Rp 5.000, maggot kering per kilogramnya dijual Rp 70.000, dan maggot basah dijual Rp 6.000 per kilogramnya.

Bendahara BUMDes Tunas Mandiri Heru Purwanto mengatakan sudah ada tiga warga yang mulai ikut mengembangkan maggot dari lalat tentara hitam.

Baca juga: Lebah Beracun Serang Kawasan Gunung Api Purba Nglanggeran, Belasan Pendaki Tersengat

Ke depan pihaknya akan mengajak masyarakat untuk ikut membangun kemitraan bersama.

“Permintaan tinggi (maggot) tetapi kami belum mampu mencukupi, untuk itu jika ke depan semakin banyak warga yang budidaya maka akan semakin mudah dalam memenuhi permintaan konsumen,” kata Heru.

“Sementara ini kami hanya bisa mencakup wilayah Patuk, untuk wilayah lain semoga segera menyusul,” ucap Heru.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com