Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jeritan Korban Penggusuran di Semarang: Titik Terendah dalam Hidup Kami

Kompas.com - 22/08/2020, 10:17 WIB
Riska Farasonalia,
Khairina

Tim Redaksi

Barang-barang berharga mereka tak bisa diselamatkan lantaran hanyut tersapu oleh rob.

"Sebelum ada tenda darurat, warga tidur di luar bersama perabotan bekas rumah yang digusur. Waktu itu malamnya hujan lebat. Barang elektronik rusak, ada juga yang hanyut karena rob. Kami basah kuyup tak ada tempat berlindung. Anak-anak tidur di bawah jembatan, gelap tak ada listrik dan air bersih," ceritanya seraya menghapus air mata.

Baca juga: Tolak Penggusuran, Warga Tepi Sungai di Samarinda Blokade Jalan

Hampir sebulan, warga terpaksa tinggal di tenda pengungsian dengan keterbatasan sarana dan prasarana yang layak seperti lampu penerangan dan kamar mandi seadanya.

"Saat itu bertepatan bulan puasa, beruntungnya banyak donatur yang membantu, selain itu ada juga beberapa relawan yang mendampingi anak-anak, ibu-ibu dan orang tua. Mereka sukarela bekerja sosial dan gerak cepat. Jadi lebih mudah mencari pertolongan," ujar Fadilah yang juga Ketua RT setempat.

Melihat warga hidup dalam keprihatinan, pemerintah pun akhirnya terketuk hingga memutuskan untuk membangunkan rumah hunian sementara bagi mereka yang tergusur.

Awalnya huntara itu dibangun seadanya dengan dinding triplek dan beratapkan seng galvalum tanpa sekat.

Tampak, beberapa lukisan mural karya sejumlah komunitas seni melekat di dinding-dinding triplek tersebut.

Kendati demikian, tidak semua warga korban penggusuran bersedia tinggal di huntara dengan segala keterbatasannya.

Sejumlah warga memilih tinggal di rumah kontrakan dan menumpang di rumah saudara di kampung lainnya.

Selama enam bulan warga tinggal di huntara tanpa sekat, Fadilah mengaku berbagai permasalahan yang dihadapi kerapkali muncul.

Dampaknya mempengaruhi semua sendi kehidupan warga Tambak Rejo baik sosial, psikologi, kesehatan dan ekonomi serta pendidikan anak.

"Enam bulan kami tidur tanpa sekat. Masalah hampir setiap menit. Kita tidak punya privasi. Ganti baju engga bisa. Cuma ada dua kamar mandi dari MMT bekas. Pas tidur perasaan suami kita, pas meluk ternyata suami orang. Sudah tidur enak-enak kaki nimpali suami orang lain. Tidak bisa berhubungan, tidak bisa ngomong keras karena ganggu yang lain, ngomong pelan juga tidak dengar. Serba salah," katanya.

Karena berbagai permasalahan itu, warga memutuskan membagi beberapa ruangan yang berhimpitan dengan ukuran 2,3 x 3 meter menggunakan papan triplek dengan cara iuran.

"Warga iuran dan gotong royong membuat sekat dari triplek seadanya. Bedeng dibagi rata. Semua mendapatkan ruangan ukuran yang sama. Setelah itu berjalan delapan bulan warga mulai bisa beradaptasi dan ekonomi mulai bangkit. Warga sudah mulai melaut lagi, anak-anak bisa sekolah," ucapnya.

Kini total ada sebanyak 60 keluarga yang bertahan menempati tiga blok huntara tersebut selama lebih dari setahun sembari menunggu pembangunan 97 unit rumah deret yang dijanjikan pemerintah atas ganti rugi akibat penggusuran.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com