Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jeritan Korban Penggusuran di Semarang: Titik Terendah dalam Hidup Kami

Kompas.com - 22/08/2020, 10:17 WIB
Riska Farasonalia,
Khairina

Tim Redaksi

SEMARANG, KOMPAS.com - Air mata Fadilah (50) tak terbendung tatkala bercerita soal peristiwa pahit yang menimpanya pada 9 Mei tahun lalu.

Saat berbincang dengan Kompas.com, sorot mata wanita paruh baya itu tampak memantulkan kesedihan yang mendalam.

Dia mengenang rumah yang dihuni bersama keluarganya selama sembilan tahun di bawah jembatan layang Jalan arteri Yos Sudarso hancur berkeping-keping dihantam alat-alat berat.

Baca juga: Tak Pakai Masker, Puluhan Warga Semarang Dihukum Sapu Taman dan KTP Disita

Ibu yang tinggal di RT 05 RW 16 Kampung Tambak Rejo, Kelurahan Tanjung Mas, Kecamatan Semarang Utara ini mengingat kala itu ratusan petugas Satpol PP Pemerintah Kota Semarang bersikeras merobohkan permukiman warga pinggiran bantaran Sungai Banjir Kanal Timur.

Kala itu, jeritan dan tangis warga baik ibu-ibu, nenek-nenek, dan anak kecil yang melihat ekskavator menggaruk habis puluhan rumah masih terngiang di telinga Fadilah.

Sejumlah warga saat itu berusaha melakukan pengadangan terhadap penggusuran paksa.

Namun, upaya warga itu tak digubris oleh petugas sehingga menyebabkan bentrokan.

"Momen itu adalah titik terendah dalam kehidupan kami yakni saat kami benar-benar tidak punya apa-apa. Saya tidak kuat melihat penderitaan warga. Sampai sekarang kalau ingat peristiwa itu masih nangis. Kami saling menguatkan, berusaha untuk bangkit," ungkap Fadilah kepada Kompas.com.

Dari 168 keluarga yang menempati lahan atas kewenangan BBWS tersebut, 97 keluarga diantaranya memilih bertahan dan menolak untuk direlokasi ke Rusunawa Kudu yang disediakan oleh pemerintah.

Alasannya, mayoritas warga berprofesi sebagai nelayan dan tak mau hidup jauh dari laut.

Mereka menuntut ganti rugi atas bangunan mereka yang sudah lama didirikan, seperti rumah, tambak, mushola dan TPQ karena terdampak pembangunan proyek normalisasi BKT.

Selang beberapa hari selepas penggusuran itu, 97 keluarga yang terdampak hidupnya terkatung-katung dan semakin sengsara.

Mereka tidak lagi memiliki tempat tinggal untuk berteduh lantaran rumah mereka telah hancur tak tersisa rata dengan tanah.

Sebelum datang bantuan tenda darurat, warga harus tidur di antara puing-puing sisa reruntuhan bangunan rumah mereka selama sepekan.

Belum lagi pada malam hari saat hujan lebat, semua perabotan milik warga basah kuyup.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com