KOMPAS.com - Diskriminasi dan intoleransi diduga kembali dialami oleh penghayat kepercayaan di Indonesia, ketika pembangunan makam masyarakat Adat Karuhun Urang (AKUR) Sunda Wiwitan dilarang oleh pemerintah daerah Kuningan, Jawa Barat, sebab dianggap tak mengantongi IMB dan dikhawatirkan menjadi tempat pemujaan.
SETARA Institute - lembaga yang mengadvokasi demokrasi dan hak asasi manusia - menyebut apa yang dialami AKUR Sunda Wiwitan sebagai "penyangkalan terhadap eksistensi dan hak" kelompok minoritas penghayat kepercayaan.
Pendamping masyarakat adat Sunda Wiwitan, Djuwita Djatikusumah Putri, menyebut apa yang dialami pihaknya sebagai "diskriminasi yang sistematis".
Baca juga: Dedi Mulyadi: Kenapa Masalah Kuburan Sunda Wiwitan Saja Jadi Ribut
"Kami merasa hak kami sebagai warga negara terdiskriminasi secara sistematis, secara terstruktur, dan sistematis," ujar Djuwita kepada BBC News Indonesia, Rabu (22/07).
Namun, Pemda Kuningan menampik tudingan diskriminasi dan berdalih pembangunan bangunan yang dianggap sebagai tugu tersebut tidak memiliki izin mendirikan bangunan (IMB).
Bupati Kuningan, Acep Purnama, menyebut langkah penyegelan dipilih sebagai langkah "persuasif dan paling baik".
Baca juga: Makam Sesepuh Sunda Wiwitan Disegel, Dianggap Tugu dan Akan Dibongkar Jika Tak Berizin
Garis segel berwarna oranye bertuliskan 'DILARANG MELINTAS' dan 'SATPOL PP KAB KUNINGAN' tampak mengelilingi bangunan tersebut, sementara pemberitahuan penyegelan terpampang di batu besar yang menjadi sentral dari bangunan itu.
Satuan Polisi (Satpol PP) menyegel bangunan yang bakal menjadi makam tokoh Sunda Wiwitan, yakni Pangeran Djatikusumah dan istrinya Ratu Emalia Wigarningsih, pada Senin (20/7/2020) lalu.
Baca juga: Dianggap Tugu, Makam Sesepuh Sunda Wiwitan Disegel Pemda Kuningan
Saat penyegelan, ratusan anggota ormas turut datang ke lokasi. Beberapa dari mereka berorasi menyuarakan sentimen SARA tentang pembangunan makam.
Djuwita Djatikusumah Putri, yang juga merupakan putri dari Pangeran Djatikusumah, menyebut apa yang dialami oleh keluarganya sebagai diskriminasi yang sistematis.
Pasalnya pemakaman keluarga itu dibangun di tanah milik pribadi. Menurutnya, pembangunan pemakaman tidak memerlukan izin.
"Itu adalah makam untuk kedua orang tua kami, Pangeran Djatikusumah dan Ratu Emalia, tidak ada maksud untuk apa pun," tutur Djuwita.
Baca juga: Melihat Tradisi Wiwitan Ramah Lingkungan di Bantul
"Kami hanya menjalankan apa yang menjadi harapan dan keinginan terakhir di saat ayah saya ingin ditempatkan di tempat peristirahatan terakhirnya dengan model makam seperti itu," ujarnya.
Akan tetapi, Kepala Satpol PP Kuningan, Indra Purwantono, berkukuh bahwa bangunan itu dikategorikan bangunan bukan gedung berupa tugu.
Dia menjelaskan merujuk pada Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2019 tentang penyelenggaraan izin mendirikan bangunan, bangunan bukan gedung berupa konstruksi monumen, tugu dan patung, harus mengantongi IMB.
"Harus ada izin, bukan makam," tegasnya.
Baca juga: Tak Terdaftar di Kemendikbud, Sunda Wiwitan Berharap Dapat Hak yang Sama
Djuwita mengaku bingung ketika Satpol PP memberi teguran terkait pembangunan yang makam yang dikategorikan tugu oleh mereka. Hingga akhirnya pada Senin silam bakal pemakaman itu disegel.
"Misi kami membuat makam, bukan membuat tugu, kenapa harus dipermasalahkan?" katanya.
Dia menjelaskan pembangunan makam itu baru diperbolehkan dilanjutkan, jika batu besar yang menjulang tinggi di atasnya dipotong.
Baca juga: Sunda Wiwitan Disebut Telah Terdaftar di Pemerintah sejak 1982