Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Diskriminasi di Rumah Sendiri, Menyoal Penyegelan Bakal Makam Tokoh Sunda Wiwitan

Kompas.com - 24/07/2020, 06:26 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Diskriminasi dan intoleransi diduga kembali dialami oleh penghayat kepercayaan di Indonesia, ketika pembangunan makam masyarakat Adat Karuhun Urang (AKUR) Sunda Wiwitan dilarang oleh pemerintah daerah Kuningan, Jawa Barat, sebab dianggap tak mengantongi IMB dan dikhawatirkan menjadi tempat pemujaan.

SETARA Institute - lembaga yang mengadvokasi demokrasi dan hak asasi manusia - menyebut apa yang dialami AKUR Sunda Wiwitan sebagai "penyangkalan terhadap eksistensi dan hak" kelompok minoritas penghayat kepercayaan.

Pendamping masyarakat adat Sunda Wiwitan, Djuwita Djatikusumah Putri, menyebut apa yang dialami pihaknya sebagai "diskriminasi yang sistematis".

Baca juga: Dedi Mulyadi: Kenapa Masalah Kuburan Sunda Wiwitan Saja Jadi Ribut

"Kami merasa hak kami sebagai warga negara terdiskriminasi secara sistematis, secara terstruktur, dan sistematis," ujar Djuwita kepada BBC News Indonesia, Rabu (22/07).

Namun, Pemda Kuningan menampik tudingan diskriminasi dan berdalih pembangunan bangunan yang dianggap sebagai tugu tersebut tidak memiliki izin mendirikan bangunan (IMB).

Bupati Kuningan, Acep Purnama, menyebut langkah penyegelan dipilih sebagai langkah "persuasif dan paling baik".

Baca juga: Makam Sesepuh Sunda Wiwitan Disegel, Dianggap Tugu dan Akan Dibongkar Jika Tak Berizin

Makam yang dikategorikan sebagai tugu

Penampakan apa yang disebut sebagai bakal pemakaman tokoh Sunda Wiwitan setelah disegDokumentasi AKUR Sunda Wiwitan Penampakan apa yang disebut sebagai bakal pemakaman tokoh Sunda Wiwitan setelah diseg
Makam berupa dua liang lahat dan batu berukuran besar yang ditatah seperlunya hingga berbentuk tugu—atau disebut batu satangtung oleh warga lokal—terletak di desa Cisantana, Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Pembangunan makam itu kini terbengkalai.

Garis segel berwarna oranye bertuliskan 'DILARANG MELINTAS' dan 'SATPOL PP KAB KUNINGAN' tampak mengelilingi bangunan tersebut, sementara pemberitahuan penyegelan terpampang di batu besar yang menjadi sentral dari bangunan itu.

Satuan Polisi (Satpol PP) menyegel bangunan yang bakal menjadi makam tokoh Sunda Wiwitan, yakni Pangeran Djatikusumah dan istrinya Ratu Emalia Wigarningsih, pada Senin (20/7/2020) lalu.

Baca juga: Dianggap Tugu, Makam Sesepuh Sunda Wiwitan Disegel Pemda Kuningan

Saat penyegelan, ratusan anggota ormas turut datang ke lokasi. Beberapa dari mereka berorasi menyuarakan sentimen SARA tentang pembangunan makam.

Djuwita Djatikusumah Putri, yang juga merupakan putri dari Pangeran Djatikusumah, menyebut apa yang dialami oleh keluarganya sebagai diskriminasi yang sistematis.

Pasalnya pemakaman keluarga itu dibangun di tanah milik pribadi. Menurutnya, pembangunan pemakaman tidak memerlukan izin.

"Itu adalah makam untuk kedua orang tua kami, Pangeran Djatikusumah dan Ratu Emalia, tidak ada maksud untuk apa pun," tutur Djuwita.

Baca juga: Melihat Tradisi Wiwitan Ramah Lingkungan di Bantul

"Kami hanya menjalankan apa yang menjadi harapan dan keinginan terakhir di saat ayah saya ingin ditempatkan di tempat peristirahatan terakhirnya dengan model makam seperti itu," ujarnya.

Akan tetapi, Kepala Satpol PP Kuningan, Indra Purwantono, berkukuh bahwa bangunan itu dikategorikan bangunan bukan gedung berupa tugu.

Dia menjelaskan merujuk pada Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2019 tentang penyelenggaraan izin mendirikan bangunan, bangunan bukan gedung berupa konstruksi monumen, tugu dan patung, harus mengantongi IMB.

"Harus ada izin, bukan makam," tegasnya.

Baca juga: Tak Terdaftar di Kemendikbud, Sunda Wiwitan Berharap Dapat Hak yang Sama

Djuwita mengaku bingung ketika Satpol PP memberi teguran terkait pembangunan yang makam yang dikategorikan tugu oleh mereka. Hingga akhirnya pada Senin silam bakal pemakaman itu disegel.

"Misi kami membuat makam, bukan membuat tugu, kenapa harus dipermasalahkan?" katanya.

Dia menjelaskan pembangunan makam itu baru diperbolehkan dilanjutkan, jika batu besar yang menjulang tinggi di atasnya dipotong.

Baca juga: Sunda Wiwitan Disebut Telah Terdaftar di Pemerintah sejak 1982

Diduga jadi tempat pemujaan

Penghayat Sunda Wiwitan di Kampung Cigugur, Kuningan Jawa Barat.dok BBC Indonesia Penghayat Sunda Wiwitan di Kampung Cigugur, Kuningan Jawa Barat.
Lebih lanjut, Djuwita menjelaskan pihak keluarga telah mengajukan permohonan IMB pembangunan makam itu pada 1 Juli silam.

Namun dalam surat balasannya pada 14 Juli lalu, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Kuningan menyatakan tidak dapat mengabulkan permohonan tersebut lantaran adanya penolakan dari MUI Desa Cisantana.

Dalam surat tersebut, Kepala DPMPTSP Kuningan, Agus Sadeli, beralasan "untuk proses permohonan IMB salah satu unsur yang harus dipenuhi yaitu "kondusivitas lingkungan warga".

Baca juga: Kelompok Penghayat Sunda Wiwitan Tak Terdaftar di Kemendikbud

Adapun, sebulan sebelumnya, MUI Desa Cisantana telah mengajukan surat penolakan pembangunan situs buatan yang dibangun oleh masyarakat adat Sunda Wiwitan di Curug Goong dan meminta bangunan itu segera dibongkar dan dihentikan.

Dewan Fatwa MUI Desa Cisantana, Cecep Murad, yang juga mantan Kepala Desa Cisantana, beralasan masyarakat Cisantana, khususnya warga Muslim, khawatir bangunan itu akan dijadikan tempat pemujaan.

"Karena pembangunan makam itu berbeda dengan makan kebanyakan, itu yang menjadikan kekhawatiran warga Muslim khususnya, jangan-jangan tempat pemakaman ini, ini kekhawatiran ya, dijadikan sumber dari kemusyrikan, tempat pemujaan," jelasnya.

Baca juga: Warga Adat Sunda Wiwitan Patungan Beli Tanah Leluhur

Akan hal itu ditampik oleh Djuwita, yang menyebut tudingan itu "tak manusiawi". Dia menyebut dalih penolakan warga itu dijadikan alasan pemerintah untuk mengganjal pembangunan makam itu.

"Ketika Perda itu tidak memiliki kekuatan hukum untuk menjerat kami maka dibuatlah isu seolah itu adalah penolakan dari masyarakat," tutur Djuwita

"Seolah ada keresahan untuk merusak akidah. Buat kami itu sangat tidak bisa dipahami," imbuhnya.

Baca juga: Ricuh, Eksekusi Tanah Adat Sunda Wiwitan Gagal

Diskriminasi di 'rumah sendiri'

Penghayat Sunda Wiwitan masih mengalami diskriminasi.dok BBC Indonesia Penghayat Sunda Wiwitan masih mengalami diskriminasi.
Terkait dengan apa yang baru dialami oleh masyarakat adat Sunda Wiwitan di Cigugur, Djuwita menyebutnya sebagai "diskriminasi sistematis di rumah sendiri".

Akan tetapi, Bupati Kuningan, Acep Purnama, menampik tudingan telah bertindak diskriminatif, seraya menambahkan langkah penyegelan itu "sudah tepat dan strategis" dalam rangka mengantisipasi persoalan yang lebih besar dan "menjaga hal-hal yang tidak diharapkan" demi situasi kondusif di Kuningan.

"Jadi sekali lagi kami minta kepada pihak Paseban untuk sama-sama menahan diri, tidak membesar-besarkan masalah. Langkah ini menurut kami semuanya langkah persuasif dan langkah yang paling baik dan benar," katanya.

Baca juga: Perjalanan Warga Adat Sunda Wiwitan Pertahankan Cagar Budaya

"Jangan melaporkan kami seolah-olah kami diskriminatif," tegasnya kemudian.

Dia pula mengklarifikasi tudingan bahwa Pemda Kuningan mengerahkan massa selama proses penyegelan yang dianggapnya "tidak berdasar dan tidak benar".

"Gerakan itu spontanitas atas kepedulian, atas mempertahankan harga diri. Kita hormati. Kita hormati paseban hanya apa yang menjadi anjuran pemerintah, ikuti," ujar Acep.

Baca juga: Saba Budaya Baduy Gantikan Wisata Baduy, Apakah Itu?

Birokratisasi diskriminasi dan intoleransi

IlustrasiKOMPAS/DIDIE SW Ilustrasi
Bagaimanapun, Direktur Riset Setara Institut, Halili Hasan, mengungkapkan apa yang dialami oleh kelompok minoritas Sunda Wiwitan sebagai "birokratisasi diskriminasi dan intoleransi".

"Mindset utamanya memang intoleransi, yang lebih ditegaskan adalah diskriminasi. Tapi agar secara teknis tampak lebih soft, maka digunakanlah instrumen birokrasi, dalam hal ini yang melakukan tentu saja Satpol PP dan Pemkab Kuningan secara umum," jelas Halili.

Menurutnya, penyegelan itu "hanya akal-akalan" untuk mempersulit kebebasan berkeyakinan yang diperjuangan oleh kelompok penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan.

Merujuk riset yang dilakukan SETARA Institute, penghayat kepercayaan mengalami aneka ragam diskriminasi.

Baca juga: Pemerintah Dukung Pembatasan Kunjungan ke Baduy

"Yang paling pokok itu dalam bentuk narasi intoleransi yang memberikan penyangkalan atas eksistensi mereka, juga atas hak-hak mereka," kata dia.

Ekspresi diskriminasi itu, lanjut Halili, berupa restriksi atau pembatasan - seperti yang dialami oleh Sunda Wiwitan - dan gangguan terhadap peribadatan mereka.

Tak sedikit pula penghayat kepercayaan disebut sebagai kelompok menyesatkan.

"Ini juga terjadi di Kuningan, karena narasi yang dilakukan kelompok intoleran yang melakukan penolakan itu menyebut mereka sebagai kelompok yang berpotensi menyesatkan dan membuat syirik," jelas Halili.

Baca juga: Baduy Masih Boleh Dikunjungi, Ini Permintaan Warga

Bahkan, menurutnya, belakangan muncul tudingan bahwa kelompok penghayat ini menjadi bagian dari "kebangkitan komunisme".

"Sejak tahun 1960-an sebenarnya tudingan-tudingan semacam itu sudah muncul, tetapi garis besarnya adalah diskriminasi terhadap mereka akan selalu berulang," kata dia.

Alasannya, negara tidak memiliki ketegasan untuk melembagakan inklusi terhadap mereka dan memberikan pengakuan sepenuhnya terhadap kelompok minoritas penghayat kepercayaan.

"Karena rekognisi yang diberikan terhadap mereka melalui putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2017 masih merupakan rekognisi setengah hati," tegas Halili.

Baca juga: Ketika Warga Baduy Tak Ingin Lagi Terima Wisatawan

Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2017 mengabulkan permohonan uji materi terkait aturan pengosongan kolom agama pada kartu keluarga dan kartu tanda penduduk, yang dianggap sebagai pengakuan negara atas eksistensi penghayat kepercayaan.

Kendati begitu, kata Halili, aksi diskriminasi dan intoleransi masih kerap mereka alami, baik dari pemerintah maupun dari kelompok mayoritas, terutama berkaitan dengan administrasi kependudukan dan kebebasan berkeyakinan.

Sehingga beberapa kelompok penghayat kepercayaan memilih untuk menyelamatkan diri mereka dengan mengaku sebagai bagian dari agama lain yang "mapan".

Baca juga: 3 Oleh-oleh Makanan Khas Baduy, Kualitas Unggul

"Misalnya kelompok Kaharingan di Kalimantan terpaksa mengaku agama lain. Saya kira pola ini terjadi di banyak tempat meski putusan MK itu memberikan hak terhadap mereka," katanya.

Data SETARA Insitute pada 2019, selama 12 belas tahun terakhir Jawa Barat menjadi provinsi dengan tingkat toleransi terburuk di Indonesia, dengan total kasus sebanyak 629 kasus.

Menurut Halili, apa yang baru saja terjadi pada masyarakat adat Sunda Wiwitan "mengafirmasi bahwa Jawa Barat secara umum tidak memberikan ruang yang bagus bagi toleransi dan kebebasan beragama dan berkeyakinan".

Baca juga: Wisatawan Bikin Baduy Tercermar Sampah Plastik, Ini Kata Tur Operator

Djuwita Djatikusumah Putri yang merupakan pendamping kelompok adat Sunda Wiwitan menyebut masalah intoleransi ini tidak hanya akan berimbas pada masalah yang bersifat lokal di Jawa Barat, namun juga berimbas pada keamanan nasional.

"Ini harus menjadi sorotan yang dipantau oleh pemerintah. Intoleransi bukan masalah yang harus dilokalisir, karena ini adalah masalah yang mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Baca juga: Bagaimana Perubahan Baduy Sejak Menjadi Kawasan Wisata?

Nilai historis dan tradisi budaya

Makam sesepuh Sunda Wiwitan yang disegel Pemda Kuningan karena dianggap tugu, Selasa (21/7/2020).KOMPAS.com/ MUHAMAD SYAHRI ROMDHON Makam sesepuh Sunda Wiwitan yang disegel Pemda Kuningan karena dianggap tugu, Selasa (21/7/2020).
Djuwita mengatakan pembangunan makam tersebut tak lepas dari nilai historis bahwa lokasi pemakaman dibangun di Curug Goong, merupakan petilasan Pangeran Madrais, yang disebut sebagai pencetus kepercayaan Sunda Wiwitan.

Dia menuturkan pada 1936, ketika Gunung Ciremai sedang erupsi Pangeran Madrais bersama dengan 200 pengikutnya yang mendaki gunung itu "berhasil meredakan" erupsi.

"Dan setelah meredakan Ciremai itu, beliau tinggal di Curug Goong sampai akhir hayatnya pada 1939. Jadi tanah itu punya ikatan histori dengan kami," katanya.

Djuwita mengatakan pembangunan makam dengan bentuk menhir yang disebut Batu Satangtung oleh masyarakat lokal, bertujuan untuk "meneruskan apa yang sudah menjadi tradisi leluhur".

Baca juga: Komisi IV DPR Setuju Baduy Ditutup dari Peta Wisata, Ini Alasannya...ma

Dia menambahkan, pembangunan makam dengan bentuk batu satangtung oleh masyarakat lokal, bertujuan untuk "meneruskan apa yang sudah menjadi tradisi leluhur".

"Bentuk menhir, dolmen dan lingga yoni itu bukan suatu yang baru dalam peradaban nusantara. Itu sudah ada dari zaman dulu," kata dia.

"Ketika orang-orang melihat batu satangtung sebagai sesuatu yang aneh dan menjadi polemik itu berarti masyarakat atau pemerintah kurang menggali budaya," kata dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pj Gubri Ajak Pemkab Bengkalis Kolaborasi Bangun Jembatan Sungai Pakning-Bengkalis

Pj Gubri Ajak Pemkab Bengkalis Kolaborasi Bangun Jembatan Sungai Pakning-Bengkalis

Regional
Diskominfo Kota Tangerang Raih Penghargaan Perangkat Daerah Paling Inovatif se-Provinsi Banten

Diskominfo Kota Tangerang Raih Penghargaan Perangkat Daerah Paling Inovatif se-Provinsi Banten

Regional
Fakta dan Kronologi Bentrokan Warga 2 Desa di Lombok Tengah, 1 Orang Tewas

Fakta dan Kronologi Bentrokan Warga 2 Desa di Lombok Tengah, 1 Orang Tewas

Regional
Komunikasi Politik 'Anti-Mainstream' Komeng yang Uhuyy!

Komunikasi Politik "Anti-Mainstream" Komeng yang Uhuyy!

Regional
Membedah Strategi Komunikasi Multimodal ala Komeng

Membedah Strategi Komunikasi Multimodal ala Komeng

Regional
Kisah Ibu dan Bayinya Terjebak Banjir Bandang Berjam-jam di Demak

Kisah Ibu dan Bayinya Terjebak Banjir Bandang Berjam-jam di Demak

Regional
Warga Kendal Tewas Tertimbun Longsor Saat di Kamar Mandi, Keluarga Sempat Teriaki Korban

Warga Kendal Tewas Tertimbun Longsor Saat di Kamar Mandi, Keluarga Sempat Teriaki Korban

Regional
Balikpapan Catat 317 Kasus HIV Sepanjang 2023

Balikpapan Catat 317 Kasus HIV Sepanjang 2023

Regional
Kasus Kematian akibat DBD di Balikpapan Turun, Vaksinasi Tembus 60 Persen

Kasus Kematian akibat DBD di Balikpapan Turun, Vaksinasi Tembus 60 Persen

Regional
Puan: Seperti Bung Karno, PDI-P Selalu Berjuang Sejahterakan Wong Cilik

Puan: Seperti Bung Karno, PDI-P Selalu Berjuang Sejahterakan Wong Cilik

Regional
Setelah 25 Tahun Konflik Maluku

Setelah 25 Tahun Konflik Maluku

Regional
BMKG: Sumber Gempa Sumedang Belum Teridentifikasi, Warga di Lereng Bukit Diimbau Waspada Longsor

BMKG: Sumber Gempa Sumedang Belum Teridentifikasi, Warga di Lereng Bukit Diimbau Waspada Longsor

Regional
Gempa Sumedang, 53 Rumah Rusak dan 3 Korban Luka Ringan

Gempa Sumedang, 53 Rumah Rusak dan 3 Korban Luka Ringan

Regional
Malam Tahun Baru 2024, Jokowi Jajan Telur Gulung di 'Night Market Ngarsopuro'

Malam Tahun Baru 2024, Jokowi Jajan Telur Gulung di "Night Market Ngarsopuro"

Regional
Sekolah di Malaysia, Pelajar di Perbatasan Indonesia Berangkat Sebelum Matahari Terbit Tiap Hari

Sekolah di Malaysia, Pelajar di Perbatasan Indonesia Berangkat Sebelum Matahari Terbit Tiap Hari

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com