Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Melihat Tradisi Wiwitan Ramah Lingkungan di Bantul

Kompas.com - 19/02/2019, 19:50 WIB
Markus Yuwono,
Khairina

Tim Redaksi

YOGYAKARTA,KOMPAS.com- Mengunjungi Desa Mangunan, Kabupaten Dlingo, Bantul, Yogyakarta, paling terkenal dengan wisata hutan pinusnya.

Salah satu yang menarik upacara tradisi masih dipegang teguh oleh masyarakat setempat hingga kini. Salah satunya tradisi wiwitan.

Salah satunya, di wilayah Dusun Sukorame, Desa Mangunan, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul yang menggelar tradisi wiwitan, Selasa (19/2/2019).

Upacara diawali dengan masyarakat datang ke lokasi upacara dengan membawa belasan makanan mulai dari nasi, Ingkung, hingga jagung yang merupakan hasil bumi masyarakat setempat.

Makanan kemudian ditata di pojokan sawah. Salah seorang sesepuh memanjatkan doa.

Baca juga: Tak Terdaftar di Kemendikbud, Sunda Wiwitan Berharap Dapat Hak yang Sama

Setelah prosesi itu, makanan dibawa ke balai, kemudian didoakan secara agama Islam. Selesai didoakan, seluruh makanan dibagikan menggunakan sarang atau wadah yang terbuat dari anyaman daun kelapa.

Masyarakat setempat sengaja tidak menggunakan kardus karena ingin kembali ke masa lalu, dan sampah yang dihasilkan pun lebih ramah lingkungan.

Selain itu, pengunjung juga dibagikan nasi wiwitan yang berisi nasi uduk, sambal gepeng, ikan asin, suwiran daging ayam, ditambah urap yang berasal dari daun dadap serep dan daun turi.

Setelah makan, pengunjung dipersilakan membawa pulang makanan yang diperoleh dari acara kenduri tersebut.

"Makanan dibawa pulang, lalu dimakan bersama keluarga agar berkahnya sampai rumah,"kata salah seorang panitia, Lagimin Budi Ismanto ditemui di sela acara, Selasa.

"Tradisi wiwitan ini untuk menghaturkan rasa syukur kepada Tuhan, karena para petani diberi hasil panen yang melimpah, dan semoga diberikan kelancaran saat mulai menanam. Tradisinya hanya lantaran, untuk doa tetap kami panjatkan kepada Tuhan," katanya.

Menurut dia, tradisi wiwitan ini dilakukan sudah secara turun temurun oleh masyarakat setempat yang digelar saat pasaran Kliwon dan saat panen raya.

Baca juga: Sunda Wiwitan Disebut Telah Terdaftar di Pemerintah sejak 1982

"Biasanya kalau tidak Selasa Kliwon ya Jumat Kliwon. Tapi karena sudah panen ya dipilih hari Selasa Kliwon ini,"ucapnya.

Menurut dia, tradisi ini tak lepas dari ucapan syukur masyarakat karena hasil panen yang melimpah setiap tahunnya.

Sebab, meski sawah hanya mengandalkan tadah hujan, namun bisa dipanen sebanyak dua kali dalam setahun.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com